64.01 | Collateral Damage

2.4K 46 1
                                    

POV - Fadli Rangga Putra


Entah apa yang terjadi di atas sana. Irina yang pergi ke atas, tidak kunjung turun lagi. Sementara kami semua semakin kuatir, karena waktu yang terpasang di dada ke-empat bidadari gue ini, semakin berkurang, dan semakin mendekati angka nol.

Saat ini angka sudah menunjukan 00:05:45. Tinggal 5 menit lagi dan Irina tidak kunjung turun. Gue terus berusaha menenangkan Oli, ataupun Rani yang terlihat paling ketakutan, dibandingkan Cherllyne dan Liana.

Pengalaman hidup memang membuat Liana dan Cherllyne terlihat lebih tangguh dibandingkan dengan Oli dan Rani.

Walau begitu, ketakutan juga nampak jelas di mata dan wajah mereka berdua. Sifat dasar semua manusia itu selalu sama. Di saat kita sedang menghadapai bahaya, hal yang paling kita inginkan adalah bersama dengan orang yang kita sayangi, atau seseorang yang bisa memberikan kita ketenangan batin. Dan itulah yang sedang berusaha gue jalani saat ini. Dengan berusaha memberikan ketenangan kepada mereka ber-empat.

"Ya Allaahhh, sayang, tinggal 5 menit lagi. Gimana dong nih? Huuuuuuu." ujar Oli semakin resah dan gelisah. Gue langsung berusaha memeluk dan menenangkannya.

Gue sudah mencoba menghubungi Irina berkali-kali tadi. Namun Irina tidak menjawab panggilan telepon gue. Entah apa sebenarnya yang sedang terjadi di atas sana.

"Iya tenang, sayang. Aku percaya Irina pasti mampu membawa Hawk ke sini untuk membantu kita." ujar gue.

"Kamu kok percaya banget sih ama dia? Hmm...apa karena kamu pernah ML ama dia gitu, jadinya kamu bisa sok percaya ama dia gitu?" cetus Cherllyne.

"He? Gak gitu Cherry sayang. Dia itu sebenernya baik kok orangnya. Bukan karena masalah ML itu lah, aku ngomong kayak gitu. Tapi aku emang percaya dia berniat tulus mao bantu kita." jawab gue sambil mengusap kepala Cherllyne, lalu gue kecup bibirnya dengan lembut. Membuat bibirnya menjadi makin cemberut, namun juga tersenyum merajuk.

"Trus kalo dia ternyata kabur ato gagal, gimana sayang? Kamu gak punya rencana lain, selain harus bergantung ama dia?" tanya Rani.

"Untuk saat ini, satu-satunya rencana cuma bisa bergantung ama dia, Rani sayang. Aku gak paham soal bom gini kan. Salah-salah malah jadi fatal nantinya. Mao minta bantuan tim Gegana juga uda gak mungkin keburu. Irina ama Kapten Prakoso cuma satu-satunya kesempatan buat matiin bom ini, sayang." jawab gue.

"Kalo emang dia nanti ternyata gagal dan kita...........yah, setidaknya kalo pun kita harus mati disini, paling gak aku mati dikelilingin ama 4 orang wanita paling cantik dalam hidup aku, kan? Gak ada hal yang lebih indah lagi dibanding ini kan?" lanjut gue, membuat mereka ber-empat jadi tersenyum.

"Huh...gombal." cetus Liana, tapi sambil tersenyum malu-malu.

"Bukannya kamu paling suka kalo aku gombalin Liayang cantik?" ujar gue sambil mengulum pelan bibirnya.

"Hmm...sshhh....suka banget." jawab Liana dengan pandangan mata sayu.

"Sayang...kalau emang... aku... harus mati disini, aku seneng kamu terus nemenin kita disini. Aku bener-bener sayang ama kamu." ujar Oli dengan wajah sayu seperti pasrah dengan keadaan.

"Aku juga Olican. Aku sayang banget ama kamu, ama Rani, ama Cherllyne, ama Liana. Kamu ber-empat itu adalah hal terindah yang pernah aku dapet dalam hidup aku." jawab gue.

Waktu terus berjalan, detik demi detik. Debar jantung kemi berlima pun semakin tidak karuan. Kami pun semakin pasrah dengan keadaan yang akan terjadi ini. Mungkin memang inilah waktunya bagi kami berlima.

"RANGGA!" gue tiba-tiba mendengar seruan Liana, yang membuat kami berlima segera menoleh kearah datangnya suara.

Mata gue sampai terbelalak melihat kedatangan Irina, Kapten Prakoso, diiringi oleh Hawk, dan satu orang yang gak gue kenali. Dan gue pun langsung bersiaga saat melihat kedatangan Hawk.

4 Hearts & A FoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang