41.01 | Arti Hadirmu

4.8K 64 1
                                    

POV - Hari Suprianto
  
   
"Ayo buka mulutnya yang lebar, aaaaaaaaa...."
   
"Ihhh...apaan sih? Emangnya aku anak-anak apah," ujar Vania sambil cemberut, tapi bibirnya masih menyunggingkan senyuman kecil.
   
"Hehehe...duh...biar cemberut, tapi tetep aja cantik deh." ujarku menggodanya.
   
"Huh...dasar cowok gombal. Pasti ada maunya kan?" rajuk Vania sambil berpangku tangan dan memalingkan wajahnya. Hahaha...makin manja ajah nih anak, pikirku geli.
   
"Hehehe...Kok tau sih? Aku maunya kamu buka mulut kamu Vania. Tanggung nih tinggal 1 suap lagi." ujarku kemudian.
   
"Tapi aku uda kenyang mas." jawabnya dengan wajah memelas. Sudah dari kemarin, Vania sudah kembali memanggilku dengan sebutan 'mas', seperti waktu dulu saat kami masih pacaran.
   
Memang sejak menikah, Vania kembali memanggilku dengan hanya menyebut nama saja. Seperti saat kami baru pertama kali kenal. Dan saat kami dulu mulai berpacaran, Vania langsung memanggilku dengan sebutan 'mas'.
   
Kata dia, rasanya gimana gitu kalo manggil orang yang dia sayang, atau suaminya dengan sebutan mas. Pernah aku iseng menanyakan apakah dia memanggil suaminya dengan sebutan mas juga. Namun Vania hanya tersenyum lembut saja tanpa menjawab pertanyaanku itu.
   
"Ya udah kalo kamu uda kenyang, Van. Paling tar nasi nya nangis nih kalo gak mao kamu habisin." ujarku lagi sambil melirik nakal kearahnya, yang membuatnya langsung tertawa.
   
"Hahahaha...ihhh...kann...dasar. Aku beneran dianggep anak kecil kan ama kamu, pake di takut-takutin gitu." ujarnya merajuk manja sambil memukul bahuku pelan.
   
"Eh...uda berani mukul-mukul yah. Iki mulai genit yo. Awas lho nek mulai njawil-njawil ki mengko tresno karo aku. Hahahaha. (Uda mulai genit nih ya. Awas lho mukul-mukul aku. Tar jadi jatuh cinta lho ama aku)." aku terus saja menggoda Vania. Vania pun sekarang terlihat lebih cerah dan ceria, dibanding saat aku pertama kali menjenguknya.
  
"Ihhh...geeerrrr-nyaaa. Hehehehe. Yo nek seneng opo tresno karo kowe yo ora po po toh? (Yah...kalo jatuh cinta lagi...yah gak papa juga toh?)." balas Vania sebelum dia dengan mata melirik-lirik gitu saat mengucapkan kalimat terakhirnya, yang justru membuatku terkejut mendengarnya.
   
"Walah...iso mumet sirahku nek podo seneng karo aku. Hahaha. (Walah...bisa pusing kepala aku nih kalo banyak yang jatuh cinta ama aku)." jawabku kembali narsis.
   
"Halahh...sombongnya." ujar Vania lagi dengan wajah cemberut sambil manyun mulutnya.
   
"Hehehe...tapi...biar banyak yang jatuh cinta, tetep aja cuma satu orang yang selalu ada di hati kok." jawabku sambil tersenyum sambil menatap wajahnya. Dan membuat wajah Vania langsung memerah, dan menunduk malu-malu.
   
"Oh yah? Siapa tuh...wanita yang kurang beruntung itu? Hihihi." ujar Vania tersenyum geli sendiri.
   
"Hehehe...hmm...ada deh. Rahasia dong. Abis dia nya masih jadi istri orang sih. Jadi kan gak baik kalo disebutin namanya kan. Iya toh?" jawabku memberi jawaban tersirat kepadanya, yang membuat wajahnya langsung tersenyum malu-malu, tapi sangat terlihat begitu senang mendengar jawabanku. Hehehe. Kok aku jadi kayak bocah gini sih. Ser-seran banget kalo bercandan ama Vania gini.
   
"Hmm...kalo wanitanya itu udah lagi dalam proses pisah, gimana tuh mas? Masih gak boleh disebutin juga?" tanya Vania yang juga memberi pertanyaan tersirat. Hahaha.
   
"Oh ya? Masa sih? Perasaan setau aku, dia lagi hamil anak ke tiga deh. Kamu kata siapa Van, dia lagi dalam proses pisah?" aku berpura-pura terkejut dengan mendeskripsikan wanita yang berbeda darinya. Dan malah membuat Vania menjadi gelagapan dan salah tingkah.
   
"Eh? Oh...hmm...itu...anu...iya ya? Ohh gitu toh...y-yaa gak tau juga sih mas." wajah Vania terlihat sangat kecewa rupanya, membuatku begitu menyesal telah menggodanya seperti itu.
   
"Tapi minimal kalo baru tahap proses pisah, cuma ini yang bisa aku lakukan." ujarku sambil menarik lengan kanannya untuk aku cium lembut tangannya, lalu mengelusi pipiku dengan tangannya itu.
   
"Lalu, kalo uda ada keputusan pisah dari pengadilan, aku baru bisa melakukan ini...." aku lalu sedikit maju untuk mengecup lembut keningnya.
   
"Baru setelah dia melewati masa idah 3 bulan, aku bisa melakukan ini..." aku kemudian berlutut sambil menarik tangannya, mengecup lembut tangannya lagi. "Sambil bertanya, apakah kamu mao menikah dengan aku, dan menjadi istriku sepanjang sisa hidupku?"
   
Vania terlihat bergetar bibirnya, sambil menggigit bibir bawahnya. Sepertinya dia sedang menahan tangis. Apa aku telah menyakitnya? Apa aku salah ngomong yah? Aduuhhh...Hari...Hari. Gimana sih lo. Aku jadi merasa bersalah sekali.
   
"Eh...emm...maaf Van, maaf kalo aku nyinggung perasaan kamu." ujarku langsung berdiri dan meminta maaf kepadanya.
   
Vania hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, dan terdengar sedikit isakan kecil di telingaku. "Gak mas. Aku...aku cuma berandai-andai aja. Alangkah indahnya kalau pria yang selalu melekat dihati aku benar-benar melakukan itu ke aku, persis seperti yang kamu peragain tadi mas. Aku pasti akan menjawab 'aku akan terus berusaha menjadi istri yang selalu mencintainya sampai kita tua. Selalu bersama dan tidak terpisahkan sampai ajal menjelang'. Hikk...hikk...aku pasti akan seneng banget mas, kalo ampe beneran terjadi ama aku." ujar Vania begitu terharu sampai terisak.
   
"Hmm...trus...siapa pria yang kurang beruntung itu, Van?" tanyaku membalas pertanyaannya tadi, membuat dia langsung tergelak tertawa.
   
"Hahaha...hmm...ada deh. Rahasia juga dong. Kan dia nya juga masih dalam proses pisah gitu. Jadi gak baik kan kalo disebutin namanya, kamu bilang toh?" Vania malah menjawab seperti jawabanku tadi. Hahaha. Rese.
   
"Hahaha...dasar. Pake ngebalikin juga lagi omongan aku." ujarku. Vania pun tersenyum geli sendiri.
   
"Trus gimana proses itu kamu, mas?" tanya Vania kemudian.
   
"Hmm...kemaren sih uda sidang. Tapi aku gak hadir lah. Diwakilkan saja. Si Indah juga pasti gak dateng. Males juga aku ngeliat mukanya lagi." jawabku sambil duduk disamping kakinya di tempat tidur.
   
"Trus kamu sendiri gimana? Mas mu gak jenguk kamu ke sini?" tanyaku balik.
   
"Hmm...tiap hari kok dia jengukin aku. Dia selalu jagain aku terus kok tiap malem." jawabannya membuatku tertegun kaget.
   
"Oh ya? Hmm...gitu yah. Jadi...kamu mau balikan lagi ama mas mu itu, Van?" tanyaku sedikit sedih sih, mengetahui kalau suaminya itu ternyata selalu dateng ke sini buat jagain Vania kalau malem. Heran, padahal kemaren Vania dipukulin abis-abisan gitu. Tapi kok sekarang malah perhatian banget tuh orang. Sialan lah.
   
"Yah...aku sih maunya begitu. Abis aku sayang banget sih ama mas ku itu." ujar Vania semakin membuat dadaku sakit rasanya.
   
"Hmm...iya juga sih. Ya bagus kalo kamu emang mau balikan lagi ama mas mu itu." ujarku sambil manggut-manggut tanpa menatap ataupun melihat kearahnya.
   
"Ya udah deh, uda malem nih. Aku pamit dulu yah Van. Lagian aku juga gak enak ama mas mu. Yah moga-moga mas mu itu gak mukulin ato ngasarin kamu lagi deh ya." ujarku sambil berdiri dan bersiap untuk pergi. Aku sudah malas sekali mendengarnya. Hatiku perih sekali rasanya.
   
Tapi Vania tiba-tiba menahan tangan ku. "Mas ku gak pernah ngasarin apalagi mukulin aku kok." ujar Vania sambil tersenyum kearahku.
   
"Ha? Kamu uda bonyok kayak gitu, kamu masih bilang gak pernah ngasarin kamu?" tanyaku heran kepadanya, yang masih saja terus melindungi pria brengsek macam dia itu.
   
"Loh...ini kan ulahnya suami aku, yang lagi aku ajuin proses cere. Bukan ulah mas ku lho." jawab Vania membuatku bingung sesaat.
   
"He? Kok aku jadi gak mudeng yo?" ujarku bingung.
   
"Sopo iki mas mu itu sih?" tanyaku lagi.
   
"Yah mas ku itu ya yang tiap malem jenguk aku, tiap malam waktu dia pulang kerja, yang selalu menghibur aku tiap aku sedih, yang selalu suapin aku makan walau makanan rumah sakit itu gak enak, yang selalu bikin aku ketawa dan nyaman saat berada didekatnya. Mas ku itu adalah orang yang namanya selalu melekat di hati aku, walau pernah aku sakitin saat aku terpaksa menerima lamaran suami ku sekarang, atas desakan ayah." ujar Vania langsung membuatku sumringah sekali.
   
"Mas ku itu, satu-satunya pria selain keluarga ku, yang pernah aku panggil mas dengan sepenuh kasih sayang aku." lanjutnya sambil menatap mataku dengan senyuman paling manis yang pernah aku lihat.
   
"Mas ku itu...dan satu-satunya mas ku itu...adalah pria yang saat ini sedang aku genggam tangannya. Sebagai tanda bahwa aku gak akan pernah ngelepasin dia lagi sampai aku mati, apapun yang terjadi. Mas ku itu, adalah pria yang saat ini sedang aku tatap dengan penuh kerinduan dan kasih sayang yang begitu meluap-luap." lanjut Vania, membuatku terharu sekali mendengar segala ucapannya itu.
   
Aku pun membalas tatapan matanya sambil melangkah mendekatinya. Aku pun mendekatkan wajahku ke wajahnya. Semakin dekat, dan semakin dekat hingga bibir kami berdua hampir bertemu.
   
Dan pertemuan yang dinantikan itu pun akhirnya tiba, saat bibirku menempel dengan bibirnya. Aku melumat-lumat pelan bibir Vania dengan penuh kasih sayang dan kerinduan yang teramat sangat.
   
Bibir kami berdua pun saling melumat dengan pelan dan lembut. Tidak ada nafsu dalam ciuman kami berdua. Yang ada hanyalah tumpahan rasa rindu setelah sekian tahun berpisah, dan rasa sayang yang meluap-luap, yang tertahan akibat perpisahan sementara kami, selama kami berdua menikah dengan pasangan kami masing-masing.
   
Takdir memang telah memisahkan kami berdua saat dulu itu. Namun, takdir jua lah yang mempertemukan kami kembali seperti ini.
   
Hingga beberapa lama kami terus bericuman dengan lembut dan penuh perasaan. Ciuman kami begitu pelan dan saling menghayati makna di balik ciuman kami berdua ini. Perasaan kami begitu tertumpah dalam ciuman yang hangat ini.
   
"Malem bu, maaf yah, jam besuknya uda habis yah bu." ujar security yang terdengar di tempat lain, yang akhirnya memisahkan bibir kami dari tautannya.
   
"Kita seharusnya belum boleh melakukan ini mas. Ini masih zinah jatuhnya. Tapi aku uda gak tahan pengen nyium kamu mas. Aku kangen ama ciuman kamu." ujar Vania sambil menatapku dengan lembut.
   
"Aku juga kangen banget sayang. 4 bulan lagi Van. Paling lama 6 bulan lagi. Tungguin aku yah kali ini. Jangan pergi lagi ninggalin aku." ujarku penuh keharuan dan kasih sayang.
   
"Awas aja kalo mas ku itu gak ampe berlutut kayak tadi buat ngelamar aku, pas masa idah aku uda selesai." ujarnya dengan bibir cemberut manja.
   
"Hahaha...gak akan lewat Van. Mas mu itu aku jamin pasti akan langsung ngelamar kamu walau baru lewat masa idah kamu hanya 1 menit." jawabku sambil mencium tangannya.
   
"Aku pulang dulu yah Van." ujarku.
   
"Makasih yah mas. Ati-ati yah dijalan." jawab Vania sambil menarik tubuhku dan memeluknya.
   
"Pokoknya aku tunggu terus ampe kapanpun, lamaran mas ku itu." ujarnya lagi. Aku pun mengecup keningnya sebelum aku pergi meninggalkannya.
   
Rasanya berat sekali meninggalkannya seperti ini. Dan aku yakin Vania pun pasti berat melihat aku pergi. Ini terlihat saat Vania terus menggenggam erat tanganku hingga terlepas saat aku terpaksa menjauh.
   
Saat aku sedang berjalan hendak menuju ke lift, aku melihat ayah dan ibu Vania, serta dua orang pria dan wanita, berjalan menghampiriku.
   
Ibunya Vania bahkan langsung memeluk tubuhku.

4 Hearts & A FoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang