50 | Unfinished Bussiness

5.2K 61 2
                                    


POV - Anggoro Satrio Purnomo


"Kariinn! Buka pintunya dong, sayang." mama terus berusaha untuk membujuk Karin, agar membukakan pintunya, supaya mama bisa mengantarkan makanan untuknya. Sejak pulang dari rumah sakit, dan kembali ke rumah, Karin langsung masuk ke dalam kamar, menguncinya, dan menolak untuk menemui siapapun yang ingin menemani maupun menemuinya, bahkan menolak untuk makan. Dan hanya mengurung diri di kamar.

Segala usaha dan bujuk rayu telah kami lakukan. Aku sudah mencobanya, mama apa lagi. Para sahabatnya, Tanty, Ike, Livia, semuanya telah mencoba, dan satupun tidak ada yang membuahkan hasil.

Terutama Gara. Karin sama sekali tidak mau berbicara, maupun menemuinya. Aku bisa mengerti alasan Karin bersikap seperti itu. Dan karena itulah, aku berbicara kepada Gara. Agar Gara tidak salah paham atas sikap Karin yang terlihat antipati.

Untungnya Gara sangat mengerti akan sikap Karin, dan memakluminya. Gara bahkan akan terus menemani Karin, walaupun hanya dari jarak jauh. Gara, adalah anak yang baik dan setia. Aku suka dengannya. Dengan bersamanya, aku merasa bisa mempercayai Gara untuk bisa mewakiliku dalam menjaga Karin.

Aku ini ayah macam apa. Aku tidak bisa melindungi kedua anakku dari mara bahaya yang mengincar mereka berdua. Aku hanya bisa melihat dan mengamati mereka dari jarak jauh, tanpa benar-benar mampu untuk melindunginya. Aku tidak berdaya untuk melindungi kedua anakku. Dan ini membuatku merasa... tidak berguna sebagai seorang ayah.

Saat ini para sahabat Karin sudah aku minta untuk pulang dulu ke rumah masing-masing. Karena mereka butuh istirahat. Mereka semua sudah menunggui Karin dari semalam. Terutama Tanty dan Ike yang seolah tanpa henti terus mengkuatirkan Karin. Aku sangat bangga, Karin memiliki sahabat seperti mereka berdua. Mereka adalah sahabat terbaik bagi Karin.

"Kita mesti gimana lagi dong, pa? Karin belum makan, pa." ujar mama yang sedang sesenggukan, menangis sambil memelukku.

"Papa...juga gak tau lagi mesti gimana buat ngebujuk Karin, ma. Kita hanya bisa berharap, Rangga bisa membujuk Karin nanti saat dia pulang." jawabku. Semalam Rangga meneleponku. Dia berkata akan kembali ke Jakarta pagi ini. Tadinya, Rangga ingin kembali kemarin malam juga, karena kuatir ama Karin. Tapi, seorang sahabat, telah mengingatkan Rangga, bahwa Rangga juga harus memikirkan kondisi tubuhnya yang lemah, selama tersesat di gunung. Juga kondisi Oli, Rani, Cherllyne dan Liana yang kelelahan, karena mereka sama sekali belum istirahat, sejak pulang kerja kemarin sore.

Sebuah keputusan yang bijaksana. Dengan begitu, kondisi mereka semua akan tetap terjaga. Sama seperti Karin, Rangga juga memiliki seorang sahabat yang baik.

"Sekarang lebih baik mama sarapan dulu deh." ujarku.

"Mama gak laper, pa. Gimana mama bisa makan, sementara anak mama aja gak mau makan." jawab mama.

"Yah gimana caranya, yang penting makan dulu. Yang bisa ngejagain Karin cuma kita berdua, ma. Untuk itu, kita gak boleh sakit. Harus jaga kondisi badan kita. Dan untuk menjaga kondisi tetap fit, ya harus makan, ma. Mama pikirin Karin. Bukan masalah Karin gak mau makan, tapi mama harus tetap sehat buat ngerawat Karin dalam keadaan sulit seperti sekarang, ma." aku berusaha menjelaskan ke mama. Terkadang keras kepalanya wanita itu melebihi batu karang.

"Nafsu gak nafsu, harus makan. Kenyang gak kenyang, harus makan pokoknya. Yang penting perut ke isi, badan sehat, baru kita bisa ngerawat Karin." lanjutku.

"Haahhh. Iya, iya, mama sarapan. Papa temenin mama lah." ujar mama sambil bangun dan berdiri, dan kemudian menarik tanganku.

"Uda mao punya mantu bentar lagi, masih manja aja nih mama." ujarku menggodanya.

4 Hearts & A FoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang