(38)

3.4K 377 30
                                    

Apa boleh gue menyerah sekarang? Gue ngerasa kalau gue sama Juna udah nggak punya kesempatan sama sekali, berusaha untuk mempertahankan Juna juga udah tapi nyatanya memang bukan gue yang Juna mau jadi, gue mau berhenti sekarang.

"Ikut aku pulang." Juna narik lengan gue paksa tapi gue tepis cepat, nggak ada yang mau gue bicarain lagi.

"Juna? Kamu lebih mentingin dia dari pada aku?" Dewi yang nggak mau kalah Juna langsung menggandeng lengan Juna erat.

"Dia memang lebih penting." Juna melepaskan tangan Dewi paksa, kebanyakan drama kayanya dan kalau diterusin nggak akan kelar.

"Aku pulang sendiri." Dari pada berdebat tanpa hujung, berebut untuk pengakuan siapa yang lebih dipentingkan, gue nggak punya waktu untuk itu.

"Gue ikut sama lo, Ran." Fara pamit ke Abang Jaz dan langsung menggandeng lengan gue cepat meninggalkan keadaan yang udahlah, gue sendiri pusing mikirinnya.

"Ran, lo nggak marahkan gue ngomong kaya tadi sama Juna, gue beneran kesal sama tu orang, udah diperjuangkan tapi kelakuannya makin nggak kira-kira." Fara jelas lagi minta maaf tapi raut wajah penyesalan sama sekali nggak terlihat di wajahnya, dia minta maaf karena nggak enak sama gue tapi tetap ngerasa kalau sikapnya tadi itu bener.

"Ya gue mau bilang apa? Yang lo omongin juga nggak salah, gue cuma nggak nyangka aja bakalan ketemu Juna kaya gini." Awalnya gue masih berharap kalau Juna akan bener-bener mempertimbangkan kesempatan yang gue kasih tapi ternyata pilihan Juna tetap bukan gue.

Masalah rumahtangga memang nggak harus dibahas sama orang luar tapi kalau gue nggak cerita sama siapapun, nasib gue bakalan gimana? Walaupun terkadang nggak mendapatkan solusi tapi setidaknya ada yang mendengarkan keluh kesah gue.

"Terus sekarang lo mau gimana? Lo dengerkan Juna ngomong apa tadi, lo lebih penting." Gue tersenyum miris mengingat ucapan Juna tadi, gue penting tapi Dewi yang selalu didahulukan, jadi mau sepenting apapun kalau dikenyataannya Juna selalu milih orang lain ya sama aja.

"Penting yang Juna maksud sekarang itu gimana? Penting tapi gue selalu dikecewakan? Penting tapi gue selalu dikalahkan? Penting yang kaya apa maksud Juna sekarang? Gue nggak ngerti sama sekali." Gue bahkan tertawa menanyakan hal ini ke Fara.

Apa gue harus bahagia karena omongan Juna tapi sikapnya bertolak belakang sampai sebegininya? Apa gue harus merasa lega setidaknya Juna mengakui gue lebih penting tapi perasaan gue selalu diabaikan? Apa harus bahagia dan terima semua sikap Juna hanya karena alasan ingin mempertahankan dan memperjuangkan?

"Tapi Juna udah ngomong kalau bagi dia lo jauh lebih penting dan itu artinya lo jauh lebih berharga dari pada Dewi, gue kesal tapi gue juga nggak mau lo ngambil keputusan dalam keadaan marah kaya gini."

"Gue nggak marah Fa, gue juga nggak butuh kata-kata." Juna bisa ngomong apapun tapi tetap sikapnya yang jadi penilaian, sikapnya Juna sekarang sama sekali nggak mementingkan gue jadi apa yang bisa gue jadikan alasan untuk bertahan sekarang? Nggak adakan?

"Ya Allah, gue jadi nggak tega gini ngeliat lo, awalnya gue pikir Juna bukan pilihan buruk, gue malah sempat mikir kalau Juna adalah pilihan terbaik." Kali ini raut wajah menyesal terlihat jelas dari wajah Fara, gue paham dengan perasaan Fara, gimanapun dia berharap banyak ke Juna ketika gue terpaksa menikah waktu itu.

"Lo nggak harus ngerasa bersalah, yang salah bukan lo, ini keputusan gue sendiri jadi memang gue yang harus nanggung akibatnya, mungkin ini juga hukuman karena gue udah ngerebut Juna dari Dewi, awalnya aja udah salah jadi gimana bisa akhirnya bener." Gue terlalu banyak berharap.

Gue memulai hubungan ini aja udah diatas penderitaan orang lain jadi gimana bisa gue berharap akhir bahagia setelah nyakitin perasaan perempuan lain, satu-satu cara untuk memperbaiki ini semua ya mengembalikan apa yang udah gue rebut, Dewi lebih berhak dan ini yang gue pikirkan sekarang.

"Dimata kita Dewi mungkin kurang baik tapi gue tetap bersalah, nggak akan ada akhir baik untuk awal yang salah, gue akan melepaskan Juna kembali untuk Dewinya." Gue sangat yakin dengan apa yang gue ucapkan sekarang.

Menatap gue nanar, Fara menghembuskan nafas berat dan mengusap kepala gue dengan tatapan penuh kekhawatiran, sebelum semuanya makin salah, sebelum semakin banyak luka yang kita semua terima, lebih baik gue mengakhiri semuanya segera.

"Yaudah apapun itu, gue akan tetap dukung, sekarang gue anterin lo_"

"Rana pulang bareng gue." Potong Juna menggandeng lengan gue erat, melihat Juna, tatapan Fara kembali kesal dan gue juga sama, kapan Juna akan berhenti berdebat?

"Juna, kamu lihatkan kita dimana? Aku malu dan harusnya kamu juga_"

"Kamu mau ikut secara baik-baik atau aku gendong paksa? Sekarang pilih." Bukan kata-kata Juna yang gue pertimbangkan tapi tatapannya yang terlihat sangat marah membuat gue memilih diam, gue menatap Fara meyakinkan.

Lagian udah jelas tempatnya nggak mendukung jadi gue nggak perlu ikut berdebat dan meladeni Juna, gue udah punya keputusan gue jadi mau pulang bareng siapapun udah nggak ada bedanya, nggak akan memberikan pengaruh apapun lagi.

"Gue ikut sama Juna, lo hati-hati pulangnya." Berjalan lebih dulu mendahului Juna, gue masuk ke mobil dan duduk diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun, gue udah ngomong kalau gue capek tapi kalau Juna memaksa gue untuk ikut dia, yaudah, gue iyain, ikut doang tapi.

"Kamu marah sama aku?" Gue tersenyum sinis mendengarkan pertanyaan Juna, pertanyaan bodoh macam apa itu?

"Ran, aku tanya kamu, nggak ada orang lain disini, kita berdua bisa bicara baik-baik, nggak akan ada yang berkomentar buruk lagi, nggak akan ada yang akan memperburuk hubungan kita berdua." Juna ngomong dengan begitu percaya dirinya.

"Kamu pikir hubungan kita memburuk karena orang lain? Capek ya." Selalu aja menyalahkan orang lain tapi nggak pernah instropeksi diri, bisanya cuma ngajak ngomong tapi yang lagi diomongin malah hal nggak penting sama sekali.

"Capek? Kamu pikir cuma kamu yang capek, aku juga capek Ran." Balas Juna terdengar kesal.

"Yaudah kalau gitu pisah, kan udah aku kasih solusinya lama, apalagi yang perlu diomongin?" Ngapain bertahan kalau sama-sama udah capek? Buang-buang waktu dan tenaga.

Capek, capek dan capek, gue nggak pernah bilang jadi Juna mudah jadi posisi gue juga nggak gampang, gue mencoba yang terbaik untuk mendapatkan solusi tapi lagi-lagi Juna juga mencari solusinya sendiri, gue sama Juna udah nggak sejalan, nggak ada alurnya untuk gue sama Juna bisa berakhir bahagia berdua.

"Ayo pisah Juna, gue mohon, gue capek dan gue tahu lo juga capek, akhir untuk kita berdua memang bukan bersama." Pada akhirnya gue menitikan air mata gue di depan Juna.

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang