" Brengsek! Dasar laki-laki otak selangkangan! Laki-laki nggak tahu malu. ..."
Air mataku jatuh untuk kesekian kalinya. Rasanya sakit sekali jika ingat kejadian satu jam yang lalu. Aku melihat dengan mata kepala sendiri kalau Radit- pacarku- sedang selingkuh di kamar hotel bersama Rere, sahabatku. Dalam dunia percintaan, apa nggak ada yang lebih menyakitkan daripada pacar selingkuh dengan sahabat? Pacarku selingkuh dengan orang lain, aku masih oke. Tapi kenapa harus dengan sahabatku? Itu yang paling membuatku sakit hati bukan main.
Radit memang laki-laki dengan otak selangkangan. Mentang-mentang aku tidak pernah mau dia ajak tidur, bukan berarti dia boleh selingkuh. Kalau dia keberatan denganku yang selalu menolak ajakannya, harusnya dia minta putus bukannya malah ngeyel minta hubungan kami tetap dijaga. Ketika aku minta putuspun, dia tidak mau. Dan bodohnya aku selalu luluh dengan tatapan matanya yang terkadang terlihat sangat teduh. Dia selalu bilang kalau dia mencintaiku.
Cinta? Haha, Bullshit!
Kurasa selama ini dia hanya mengincar selangkanganku, tidak lebih. Sialan!
Aku mengusap air mataku lalu naik menuju pembatas atap hotel. Saat ini aku memang sedang berada di atap hotel tempat tadi aku memergoki pacarku selingkuh. Eh ralat, sekarang Radit bukan pacarku lagi. Dia hanya mantan tak berguna yang harus segera kumusnahkan dari otakku.
Aku menatap lurus ke depan melihat pemandangan malam kota Jogja. Melihat bagaimana indahnya kerlap-kerlip lampu di bawah sana membuat hatiku sedikit tenang. Andai saja tadi aku tak bisa mengontrol emosiku, sudah pasti kugorok leher mereka berdua sampai putus.
" Kenapa nggak lompat?"
Sebuah suara menginterupsiku. Aku menoleh dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersandar di tembok yang terletak tidak jauh dariku. Aku tidak bisa melihat jelas wajahnya karena cahaya di atap agak temaram.
" Siapa juga yang mau lompat?"
" Bukannya kalau perempuan patah hati rawan bunuh diri?"
" Sorry ya, bunuh diri tidak pernah ada dalam kamusku" Tandasku kembali menatap depan dan membelakangi laki-laki yang entah sejak kapan berada disitu. Mungkin dia datang lebih dulu sebelum tadi aku mencak-mencak seperti orang gila. Persetan dia dengar semua umpatanku. Toh kami nggak kenal, jadi kami tidak akan bertemu lagi. Aku yakin.
Suasana kembali hening. Untuk beberapa menit lamanya aku hanya diam sambil menatap lurus kedepan. Angin malam semakin menusuk tulang. Aku merapatkan jaketku sebelum akhirnya balik badan lalu berusaha turun dari pembatas.
" Loh kok jadi tinggi sih? Tadi kayaknya gampang-gampang aja aku naiknya." Gumamku sambil bersiap-siap turun tapi ragu. Asli, tadi waktu aku naik pembatasnya keliatan pendek. Buktinya gampang-gampang aja aku naiknya. Tapi kalau mau turun kok rasanya keliatan tinggi juga ya?
" Tadi waktu naik udah kaya maling yang biasa manjat pagar. Giliran turun, nggak berani." Itu suara laki-laki tadi. Sialan, aku dikatain kaya maling.
" Diem. Nggak usah banyak komentar." Balasku kesal. Ya iyalah kesal, siapa juga yang nggak kesal kalau dikatain maling?
' laki-laki itu berdiri lalu berjalan mendekat kearahku. Wajahnya kini terlihat jelas karena terkena sinar lampu.
Anjir, ternyata dia ganteng banget!
" Bisa turun nggak?" Tanyanya kalem.
" Tadi waktu naik kayaknya nggak setinggi ini loh," Balasku dengan suara pelan. Laki-laki itu kini sudah berdiri tepat di bawahku.
" Pegang." Dia mengulurkan tangannya. Aku ragu, masa iya baru kenal udah pegangan tangan? Eh malah belum kenal ding. Aku tahu nama dia aja enggak.
" Kalau nggak mau saya bantu ya sudah, saya pergi."
" Eh jangan pergi dulu. Iya-iya, bentar." Aku meraih tangan laki-laki itu lalu melompat turun. Namun gara-gara kehilangan keseimbangan, aku hampir terjatuh dan praktis tangan laki-laki itu ketarik. Dia berhasil menahanku dan sebelah tanganku reflek meraih lehernya.
Satu detik
Dua detik
.
.
Mataku mengerjap beberapa kali. "Aaaa, bibirmu!"
Plak!
Aku reflek menampar pipi laki-laki itu ketika sadar bibirnya sudah dengan sembrono menempel di bibirku untuk beberapa detik. Dia langsung melepas tangannya dan aku dibiarkan jatuh begitu saja.
" Apa-apaan kamu?" Laki-laki itu memegang pipi kirinya yang tadi kutampar.
" Kamu menciumku!" Aku menutup mulutku dengan tangan.
" Siapa yang lebih dulu menarik tangan saya tadi?" Laki-laki itu mengusap bibirnya dengan punggung tangan.
" Tapi kamu menahan punggungku."
" Siapa yang menarik leher saya berikutnya?"
Aku diam. Dia benar, andai aku tak reflek meraih lehernya untuk pegangan, pasti bibir kami tidak pernah bertemu.
" Sudah lupakan. Anggap kita tidak pernah bertemu." Laki-laki itu balik badan lalu pergi meninggalkanku sendirian.
Tanganku terangkat untuk menyentuh bibir.
Ibukkk, bibir anakmu sudah nggak perawan lagi !
***
Warning : Semua tulisanku hanya fiktif belaka yaaa :)
Ini adalah tulisan lama, jadi mohon maaf apabila terdapat banyak typo, kesalahan penulisan, dll.
Saya menerima masukan, tp tolong dg bahasa y santun ya. 😘Happy reading!
![](https://img.wattpad.com/cover/200763715-288-k375664.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Entire Love (END)
General FictionArdella Ayuning Putri (Della) dikhianati pacar sekaligus sahabatnya. Radit dan Rere, dua orang yang sangat dia sayangi, justru menghancurkan kepercayaannya hingga berkeping-keping. Di saat Della melampiaskan kekesalannya di atap hotel, dia bertemu...