2. Penglihatan Mama

398 38 24
                                    

Raya menatap bangunan di depannya. Bangunan tua yang sudah hampir sepuluh tahun menjadi tempatnya berteduh. Sebuah pohon besar tumbuh tepat di depannya, dengan daun yang begitu rindang. Raya mengembuskan napas sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam bangunan yang tidak lain adalah rumahnya itu.

"Kamu kok cuekin dia?" Suara seorang wanita menyapa gendang telinga begitu dia masuk. Raya meletakkan kantung kresek yang dibawanya ke atas meja makan.

"Terus aku harus gimana? Sok kenal?"

"Ra, tapi—"

"Dia nggak berbeda sama orang-orang, Ma. Dia natap aku aneh. Lagi pula ini pertama kali kami ketemu langsung." Raya mengeluarkan satu per satu cup mie instan yang dibelinya.

"Mama lihat lho, kamu bakalan akrab sama dia."

"Maaf, Ma. Tapi kayaknya penglihatan Mama kali ini salah," ucap Raya. Dia menatap mamanya sejenak sebelum berlalu ke kamarnya.

"Dia bahkan ngira gue setan," gumam Raya. Dia benci mengakuinya, tapi penglihatan mamanya selama ini memang tidak pernah salah.

Raya melemparkan tubuhnya ke kasur dan memandang langit-langit. Gadis itu meringis ketika punggung tangannya tidak sengaja bergesekan dengan permukaan sprei. Dia lalu bangkit dari posisinya dan  berjalan mengambil kotak P3K.

Berkelahi memang bukan keahliannya. Apalagi dia seorang perempuan. Meskipun Tuhan memberinya kelebihan, tapi bukan berarti tidak ada yang bisa melukai dirinya.

Sepulang sekolah tadi, Raya membantu seorang wanita yang berusaha mengambil tasnya kembali dari seorang preman. Meskipun ragu, Raya berusaha membantu wanita itu. Dia membuat kedua kaki preman itu tersandung karena sebuah batu yang dilemparkannya secara diam-diam.

Kesempatan itu dia gunakan untuk mengambil tas. Namun ketika dia berhasil merebutnya, preman itu mengeluarkan sebuah pisau lipat tapa bisa dia duga. Alhasil benda tajam itu menggores punggung tangannya. Seketika orang-orang di sekitar berlarian menghampiri saat mendengar jeritan wanita.

"Awww!" Raya meringis saat mengoleskan anti septik. "Gue tuh bukan superhero, ngapain juga nolongin orang."

Raya memasukkan kembali kotak P3K ke dalam laci dan kembali berbaring. Gadis itu menolehkan kepalanya pada jendela kamar, dan tirai tertutup seketika. Hal itu membuat kamarnya menjadi sedikit lebih gelap.

Kedua matanya terpejam.

"Penyihir!"

"Dia pembawa sial!"

"Pembawa kutukan!"

Raya membuka kedua matanya. Lagi-lagi ingatan itu. Dia membencinya. Raya memegang salah satu pelipisnya yang tertutup oleh poni. Terasa guratan bekas jarum di sana. Sepuluh tahun yang lalu, orang-orang di tempat asalnya melemparinya dengan batu. Mereka menganggap Raya dan mamanya adalah penyihir, pembawa sial, dan semacamnya.

Bahkan papanya sendiri juga melakukan hal yang sama. Lelaki itu dengan tega mengusir istri dan anaknya dari rumah. Menyuruh mereka pergi sejauh mungkin dan tidak kembali lagi.

Tirai terbuka begitu Raya kembali menoleh pada jendela. Gadis itu terkekeh tanpa alasan. Dalam hatinya, dia ingin sekali memecahkan kaca jendela kamar itu dan menusuk setiap sisi lehernya dengan pecahan kaca. Namun sisi lain dirinya menahan sekuat tenaga, mengingat masih ada orang yang butuh kehadirannya.

Mamanya.

Raya tidak mungkin meninggalkan mamanya begitu saja. Gadis itu menatap sebuah foto yang terpajang di dinding kamarnya. Foto dua orang anak kecil, yang satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Mereka terlihat mengenakan pakaian berwarna putih. Yang perempuan mengenakan rok bermotif bunga dan bando putih di atas kepala. Sementara yang laki-laki mengenakan jumpsuit dan topi yang berwarna senada. Senyum keduanya terlihat sama, serta garis wajah yang serupa.

Raya : The Girl Who Hides a Thousand Secrets ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang