Raya meletakkan nampan yang berisi makanan ke atas nakas yang berada di sebelah ranjang milik Yuli.
"Mama yakin baik-baik aja? Aku gak bisa ninggalin Mama setelah kejadian kemarin," ucap Raya mendudukkan tubuhnya di pinggiran ranjang.
"Mama gak apa-apa. Jangan sampai kondisi Mama saat ini menghambat sekolah kamu." Yuli mengusap puncak kepala Raya. Wanita itu menatap beberapa goresan luka di wajah putrinya. "Tapi Mama juga khawatir sama kamu. Kamu benar-benar kuat ke sekolah dengan keadaan seperti ini?"
Kepala Raya mengangguk dan menggenggam tangan mamanya. "Mama tahu sendiri kalau Raya kuat, kan?"
Yuli tersenyum getir. Putrinya harus mengalami banyak kejadian yang kurang menyenangkan. Mungkin jika Rama masih ada, Raya tidak akan seperti sekarang. Betapa Yuli sangat merindukan sosok Raya yang begitu ceria.
"Ra ... " panggilnya saat Raya hendak bangkit. Gadis itu kini menatapnya.
"Apa yang sebenarnya sudah kamu ambil, Nak?"
Raya menundukkan kepalanya. "Aku belum bisa jelasin ke Mama. Maaf. Kalau begitu Raya pergi dulu."
Setelah menyalami tangan Yuli, Raya segera pergi keluar dengan langkah sedikit pincang. Kakinya tidak sengaja tergores pecahan kaca yang berserakan di rumahnya. Lemari kaca besar yang berisi koleksi piala-piala milik Rama, medali, dan beberapa frame foto itu dalam sekejap berubah menjadi ratusan bahkan ribuan serpihan berukuran kecil.
Wajah Raya bahkan ikut tergores saat benda besar itu runtuh. Beruntung dia bisa menjauhkan Yuli tepat waktu. Jika tidak, maka mereka dan kedua pria itu akan langsung terbunuh di detik itu juga. Kedua pria itu berhasil pergi dengan tangan kosong. Kedua kaki mereka terluka dan mereka bersusah payah melarikan diri karena ketakutan.
Sembari menunggu angkot yang lewat, Raya menatap kedua telapak tangannya yang pucat.
Hampir aja. Hampir aja kemarin gue bunuh Mama.
Dia lalu menengadahkan kepalanya dan menatap langit yang tampak begitu indah.
Maafin aku, Rama. Aku bahkan gak yakin akan keselamatan Mama selama masih ada aku di sini. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh orang-orang itu. Aku hanyalah ancaman buat mereka, termasuk Mama.
Tidak ada ekspresi di wajah Raya. Dia seperti sebuah manekin hidup yang tidak pernah tersenyum. Orang-orang menilainya begitu dingin, namun mereka tidak pernah tahu apa yang sebenarnya Raya rasakan.
💫
Tatapan-tatapan itu tertuju pada Raya bahkan saat dirinya baru sampai di gerbang. Merasa sudah terlalu terbiasa, Raya mengabaikan mereka semua dan tetap meneruskan langkah.
"Eh, dia kenapa? Mukanya kok luka-luka begitu?"
"Jalannya juga pincang."
"Gue yakin dia pasti habis celakain orang lagi."
"Ih, serem. Kenapa sih, kepala sekolah harus terima murid kayak dia?"
Gue bisa lempar tubuh kalian semua dari atas sini sampai remuk.
Raya memasuki kelasnya dan semua orang langsung menatapnya.
"Eh, lo disuruh ngambil buku paket di ruang guru tuh. Gue sibuk nih, masih ngerjain PR."
Raya yang baru saja hendak duduk di bangkunya langsung menatap ketua kelasnya yang sudah pergi. Tidak ingin berdebat, mau tidak mau akhirnya cewek itu memilih menurut saja. Dengan rasa sakit yang menyelimuti kakinya, dia perlahan-lahan menuruni satu per satu anak tangga. Tepat di anak tangga yang paling bawah, kedua matanya sempat bertemu dengan mata elang milik Angkasa. Cowok itu terlihat terdiam menatap wajahnya yang terluka. Antara tekejut, dan bingung dari mana Raya mendapatkan luka itu. Terlebih lagi cewek itu berjalan agak pincang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raya : The Girl Who Hides a Thousand Secrets ✔
Teen FictionSuatu hari, ibuku berkata kalau aku akan bertemu dengan seseorang yang akan mengubah jalan cerita hidupku. Sampai akhirnya takdir yang dia katakan benar-benar terjadi. Aku bertemu dengan orang itu. Namun, ada hal lain yang tidak dia ketahui, tidak j...