19. Ayah

186 26 12
                                    

Pintu ditutup ketika Raya baru saja hendak turun dari ranjang. Gadis itu mengumpat dalam hati, antara menyesal karena mengusir Angkasa dan dirinya malah berdiam diri di sana. Alhasil dia memilih untuk menyandarkan punggungnya pada headboard dan membuang pandangannya ke jendela yang sebelumnya telah dia buka kembali.

"Akting kamu tadi cukup bagus. Pura-pura pingsan di hadapan semua orang agar ada yang bersimpati tapi ternyata?"

Kekehan terdengar setelah kalimat itu dijeda. Rahang Raya mengeras seketika. Akting katanya? Untuk apa Raya melakukannya?

Anthony memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan berjalan mendekati Raya yang masih enggan menatapnya.

"Tapi gak seburuk itu kok. Buktinya ada pangeran yang menyelamatkan kamu. Iya kan?"

"Sebaiknya Anda pergi."

Salah satu sudut bibir Anthony naik. "Kamu beruntung karena masih aku beri kesempatan untuk bersekolah di sini. Lihat saja, suatu saat nanti kamu akan aku depak dari sini. Murid seperti kamu itu bisa mencemarkan nama baik sekolah!"

Tangan Raya mengepal. "Lalu bagaimana dengan Anda? Apakah Anda sudah menjadi Kepala Sekolah yang pantas dihormati dengan sikap yang seperti ini? Jika pun saya tahu Anda berada di sini, saya tidak akan pernah sudi bersekolah di Cakrawala."

"Berani sekali kamu berkata begitu! Lantas kenapa tidak pindah saja dari sini? Kamu harus sadar diri kalau kamu tidak pantas berada di sini! Harusnya kamu pergi! Kenapa? Mama kamu tidak punya uang? Mama tercinta kamu gak mampu pindahin kamu?"

Kini Raya menatap Anthony nyalang. Segelas air yang berada di atas nakas terlihat bergetar pelan, bersamaan dengan kedua matanya yang memanas.

"Kenapa? Marah karena aku mengejek mama kesayanganmu? Kalian itu sama! Kalian penyihir! Hidup Rama waktu itu menderita bersama kalian dan anak malang itu justru kehilangan nyawanya. Jika saja kamu waktu itu tidak ikut, kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi."

"Tapi waktu itu Papa justru lupain Rama! Papa sibuk menyelamatkan diri sementara Rama masih ada di mobil! Harusnya Papa—"

"Jangan pernah memanggilku dengan sebutan Papa! Aku sudah tidak sudi lagi mendengarnya dari mulut kamu!" tunjuk Anthony tepat di depan Raya. Rahangnya terlihat mengeras.

"Dan satu lagi. Jangan pernah mengganggu putriku! Kamu tidak akan pernah pantas bersanding dengan Kayla!"

Setetes cairan bening berhasil lolos dari salah satu pelupuk mata Raya bersamaan dengan kalimat itu. Gelas yang tadi bergetar di atas nakas kini berhenti. Raya menahan napasnya.

P-putriku?

"Berhentilah menangis karena aku tidak akan pernah iba. Dan harus kamu ingat, jangan sampai ada yang tahu kalau aku ayahmu. Atau kamu akan benar-benar aku lenyapkan dari sini." Anthony pergi dari sana. Dia bahkan menutup pintu UKS dengan kasar hingga terdengar bunyi nyaring.

Raya masih menatap kepergian Anthony. Kedua pipinya kini telah basah, hatinya terasa begitu sakit ketika Anthony dengan terang-terangan menghina dirinya dan juga mamanya. Dia bahkan berkata tidak sudi lagi dipanggil papa olehnya.

Tapi aku juga putrimu. Aku anakmu.

Bahu Raya bergetar. Sebenci apa pun dia kepada Anthony, namun jauh di dalam hatinya masih tersimpan kerinduan yang teramat pada pria itu. Bagaimana pun, Anthony akan tetap menjadi sosok ayah baginya. Namun kini kebencian semakin mengurung Raya. Gadis itu menutup hatinya. Bagaimana tidak, sosok ayah yang seharusnya menjadi cinta pertama putrinya, justru berubah menjadi sosok pertama yang menyakitinya. Luka itu akan terus ada, tanpa bisa dengan mudah hilang begitu saja.

Raya : The Girl Who Hides a Thousand Secrets ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang