27. Senja, Bintang Jatuh, dan Harapan

181 24 0
                                    

Gavin membiarkan semilir angin menerpa rambutnya hingga tampak menari seirama dengan arah angin. Sedari tadi kepalanya menunduk, jemarinya bertaut satu sama lain.

Sementara seseorang yang duduk di sebelahnya belum mengatakan sepatah kata pun, bahkan dia tidak menanyakan tujuan Gavin mengajaknya ke taman sekolah.

"Gue denger obrolan lo sama Pak Anthony," ujar Gavin pelan. "Gue gak tahu kalo ternyata masalah kalian separah itu. Dan gue minta maaf."

Raya menoleh pada Gavin yang masih menunduk. "Kenapa?"

"Gue yakin lo ngerti apa yang gue maksud. Waktu itu, gue cuma disuruh sama Pak Anthony buat ngawasin lo selama MOS."

"Gak perlu minta maaf. Gue gak pernah mikirin itu."

"Jujur waktu itu Pak Anthony sering nyuruh gue buat nyari kesalahan lo dan ngehukum lo di lapangan."

"Nyatanya lo gak pernah ngelakuin itu karena ngerasa kalo gue gak pernah bikin kesalahan apa pun. Sampai akhirnya lo penasaran." Raya melanjutkan ucapan Gavin. Sedikit demi sedikit isi kepala Gavin mulai terbaca olehnya.

"Iya. Gue nyari tahu tentang lo dan gue kaget pas tahu kalo ternyata lo adalah anak kandung dari Pak Anthony. Orang tua lo cerai gara-gara masalah kecelakaan saudara lo yang bernama Rama. Terlebih waktu Pak Anthony tahu kalo lo—"

"Sejak saat itu gue bukanlah anaknya lagi. Dia ngejauh, bener-bener ngejauh dari gue sama mama. Dia selalu menganggap gue sumber kesialan di kehidupannya," ucap Raya sebelum Gavin menyelesaikan kalimatnya.

Gavin menolehkan kepalanya dan menatap Raya yang tengah menatap kosong sebuah tanaman bunga matahari yang berada di dekatnya.

"Jika gue bisa milih, gue rela tukar posisi sama Rama. Gue cuma pengin lihat Mama bahagia. Mungkin jika gue yang pergi, mama sama papa gak bakalan pisah dengan cara kayak gini. Mereka bisa hidup bahagia.

Sedangkan gue, gue cuma ancaman buat mama. Kenyataannya mama gak aman sama gue karena gue bisa kehilangan kendali kapan aja."

"Tapi ini udah takdir, Ra. Mungkin ini rencana Tuhan yang udah jauh-jauh hari disiapin buat lo. Agar lo bisa lebih kuat lagi. Jika lo sama saudara lo bisa tukar posisi, itu gak bakalan ngejamin kebahagiaan keluarga lo."

Tanaman bunga matahari di dekat Raya mendadak tumbang tak berdaya. Tergeletak di atas permukaan tanah, diabaikan oleh semesta. Raya tersenyum getir.

"Lagi lagi soal takdir. Gue udah terlalu capek sama takdir gue. Kenapa harus gue? Di antara sekian juta manusia di muka bumi ini, kenapa harus gue?"

"Setiap manusia punya jalannya masing-masing."

"Lo gak akan pernah ngerti bagaimana perasaan gue selama ini. Gue dibenci sama ayah sendiri, dijauhi semua orang di sekolah,dan gue cuma jadi sumber ancaman buat mama. Gue bahkan hampir aja bunuh mama kemarin."

Kedua mata Gavin membulat. Raya menundukkan tubuhnya dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Lalu pandangannya teralih pada kaki Raya yang dibalut perban dan luka-luka seperti goresan di beberapa bagian, termasuk wajahnya yang kini ditutupi tangan. Samar, Gavin melihat sebuah garis di dahi Raya. Dia melihatnya.

Lo udah berjuang keras sampai sejauh ini, Raya.

Pandangan Gavin lalu teralih pada bunga matahari malang yang tergeletak tadi. Daun-daunnya mulai tampak layu. Sesekali angin menyapanya, namun dia hanya terdiam tak berdaya. Begitu menyedihkan.

"Gue cuma minta supaya lo jangan nyerah. Lo bisa hadapin semua ini."

💫

Raya : The Girl Who Hides a Thousand Secrets ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang