21. Razia

166 21 3
                                    

Katanya, masa SMA adalah masa paling indah. Momen-momen yang dilewati akan terasa begitu berharga. Semua itu tidak akan dengan mudah dilupakan, dan akan terus dikenang.

Namun bagi sebagian lainnya, masa SMA adalah masa yang sulit. Tak ada kenangan manis, yang ada hanya kenangan pahit.

Raya menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit yang tampak berwarna biru tanpa adanya awan yang menghiasi. Tidak ada senyum pada wajahnya, bibirnya seakan seperti benar-benar melupakan bagaimana caranya tersenyum.

Dia tidak bisa berbohong, namun dia juga tidak pandai jujur. Baginya, semua terasa sama saja. Ketika dia mengutarakan kebohongan, dia terluka sendiri. Ketika dia jujur, dunia seperti menuduhnya berbohong.

Bahkan ayahnya sendiri.

"Eh? Besok pergi nonton, yuk! Gue denger katanya ada film baru."

"Serius? Jam berapa? Gue bosen di rumah terus. Besok samper gue ya!"

Raya memperhatikan dua siswi yang baru saja berjalan melewatinya. Salah satu sudut bibirnya tertarik. Dia bahkan tidak memiliki satu pun teman di sekolahnya. Di mana masa SMA yang katanya menyenangkan itu?

Payah.

Raya membuang napasnya. Ketika dia hendak berjalan melewati tangga, terlihat banyak murid laki-laki yang berkumpul di sana. Mereka sibuk menggoda para siswi yang lewat, namun ketika melihat dirinya, mereka langsung terdiam. Raya tidak menghiraukannya dan tetap melangkahkan kaki.

"Kok lo lewat sini?" Salah satu dari mereka menghadang Raya.

"Gue pikir lo ... Terbang," lanjutnya. Teman-temannya tertawa.

"Minggir," ujar Raya pelan tanpa menatap mereka. Mendadak tawa mereka berhenti.

"Punya nyali juga lo." Salah satu dari mereka menatap Raya.

"Heh, jangan main-main lo. Emangnya lo gak inget kejadian pas di perpustakaan itu? Nih cewek bisa celakain orang." Temannya tampak berkata pelan, namun Raya masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Justru itu. Gue pengen lihat secara langsung. Ayo lawan gue!"

Raya membuang napas. Dia lalu menatap mereka semua. Namun bukannya semakin menantang semua siswa laki-laki itu langsung tampak ciut dan membuang muka.

Kaki Raya kembali bergerak dan menaiki satu per satu anak tangga.

"Heh! Mau ke mana lo?!"

Raya sama sekali tidak menghiraukannya dan terus melangkah menuju kelas. Namun sesampainya di sana, semua mata langsung menatap tidak suka padanya.

"Yah, gue pikir dia gak berangkat."

"Bisa gak sih dia gak masuk sehari? Sebel gue liat mukanya."

Raya mendudukkan dirinya di bangku dan mencoba menenangkan diri.

"Gue denger katanya pagi ini OSIS bakal ngadain razia. Mampus gue. Gue baru aja beli lipstik baru."

Murid-murid perempuan mendadak panik. Mereka berbondong-bondong mengeluarkan beberapa alat rias dari dalam tas dan mencoba menyembunyikannya. Namun Raya tampak tenang, toh selama ini dia tidak pernah membawa benda-benda aneh ke sekolah jadi hal itu tidaklah masalah baginya. Biasanya OSIS akan mengadakan razia pada jam pertama. Mereka akan menyita semua alat make up juga benda-benda yang sekiranya tidak layak dibawa oleh pelajar.

"Eh, gue nitip ini dong!" Tiba-tiba seorang siswi menyodorkan bedak dan sisir pada Raya. Mau tidak mau gadis itu mendongak.

"Gue baru pake seminggu. Awas kalo ketahuan sama OSIS! Lo harus sembunyiin—"

Raya : The Girl Who Hides a Thousand Secrets ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang