Suasana kelas mulai sepi saat satu per satu murid meninggalkan kelas. Raya memakai tasnya dan segera pulang. Hari sudah sore, dia tidak ingin pulang telat lagi dan membuat mamanya khawatir. Hampir setiap hari dia pulang telat karena terlalu asyik menghabiskan waktu di taman belakang sekolah. Meskipun yang dia lakukan di sana hanya diam. Namun hanya itu yang selalu bisa membuatnya tenang.
Tiba-tiba sekumpulan murid perempuan menghalangi jalannya. Mereka menatap Raya tajam, seolah ingin melahap gadis itu hidup-hidup.
"Lo pasti yang udah bikin kita malu di kantin! Iya kan? Lo kasih mantra biar mejanya ambruk! Ngaku lo!" Salah satu dari mereka mendorong bahu Raya kencang hingga tubuhnya mundur ke belakang.
"Jawab! Gue tahu lo gak bisu!"
Raya bergeming. Dia benar-benar tidak ingin berdebat dengan mereka. Hal itu hanya akan membuat waktunya terbuang dengan percuma.
"Bisa kalian minggir? Gue mau lewat," ujar Raya dengan wajah datarnya.
"Heh! Gue nanya sama lo! Gue tahu lo dendam sama kita. Iya kan? Jawab!"
Raya mengangkat wajah dan menatap gadis di hadapannya. Entah kenapa nyali gadis itu mendadak ciut, padahal beberapa detik yang lalu dia masih memasang tampang garang. Tangannya yang tadi mencekal lengan Raya kini terlepas. Hal itu lantas digunakan Raya untuk segera pergi dari sana.
Gadis-gadis itu masih memerhatikannya tanpa berniat mengejar.
"Sial, tangan gue mendadak lemes."
Raya yang masih dongkol dengan tingkah gadis tadi hanya bisa mengepalkan tangannya. Secepat mungkin dia menjauh, dia tidak ingin menyakiti mereka dan berbuat lebih jauh lagi.
Mengingatnya saja membuat kepalanya terasa pening. Dia hanya ingin segera sampai rumah dan berbaring di ranjangnya.
Langkah Raya terhenti saat melihat sebuah mobil hitam yang baru saja melintasinya. Raya terdiam. Kepalan tangannya menguat seketika. Samar-samar dia bisa melihat seorang pria dewasa di dalamnya. Jantungnya seakan ditikam oleh benda tajam.
Dengan langkah berat gadis itu pergi menuju gerbang. Untung saja ada sebuah taksi yang lewat, jadi dia tidak perlu berlama-lama di sana.
Kedua matanya seakan memanas. Bayangan pria tadi masih membekas di ingatannya. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama. Kecuali ada beberapa kerutan di wajah itu. Namun kebencian di hati Raya masih sama.
"Mbak gak apa-apa?" tanya sopir yang memerhatikannya dari kaca spion.
Raya buru-buru menghapus air matanya yang jatuh. "Enggak apa-apa kok. Fokus aja, Pak."
Sopir itu mengangguk. Dia kembali terfokus pada jalanan, sesekali melirik gadis yang duduk di belakang.
Raya memerhatikan setiap objek yang dilewatinya. Mencoba mengalihkan fokus, walaupun percuma.
"Papa gak pernah sayang sama aku."
"Itu gak bener. Papa sayang sama kita berdua."
"Papa cuma sayang sama kamu. Aku selalu bikin Papa marah."
Kedua tangan Raya meremas ujung rok kuat. Air mata terus membanjiri pipinya. Sepanjang perjalanan hanya dihabiskan untuk memerhatikan pemandangan di luar tanpa minat sama sekali. Sesekali Raya menyeka air matanya yang kembali jatuh tanpa persetujuannya.
"Sudah sampai, Mbak." Ucapan sang sopir membuat Raya tersadar dari lamunannya. Gadis itu menggumamkan terima kasih dan segera turun. Dia menatap bangunan di depannya. Raya menghela napas sejenak, sebelum akhirnya berjalan menuju pintu rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raya : The Girl Who Hides a Thousand Secrets ✔
Teen FictionSuatu hari, ibuku berkata kalau aku akan bertemu dengan seseorang yang akan mengubah jalan cerita hidupku. Sampai akhirnya takdir yang dia katakan benar-benar terjadi. Aku bertemu dengan orang itu. Namun, ada hal lain yang tidak dia ketahui, tidak j...