18. Menjauh

194 22 5
                                    

Yuli menatap Raya yang tengah meminum segelas susu buatannya dengan pandangan khawatir. Sejak kemarin, Raya tidak banyak bicara dan memilih untuk berdiam diri di kamarnya. Gadis itu bahkan belum makan sama sekali.

"Kamu yakin mau sekolah? Wajah kamu pucat, Ra. Atau nggak sarapan dulu," ucap Yuli pada akhirnya. Namun wanita itu tahu kalau Raya tidak akan menghiraukan ucapannya.

"Aku baik-baik aja, Ma. Berangkat dulu, ya." Raya menyalami tangan Yuli dan segera pergi. Gadis itu sempat melirik motor miliknya yang berada di garasi. Dia menghela napasnya. Satu-satunya kendaraan yang ada di rumahnya adalah motor miliknya. Dulu Raya sering menggunakannya untuk pergi ke sekolah. Namun semenjak dia pindah rumah, dia terpaksa memberikan itu untuk keperluan mamanya selama berada di rumah. Dia tidak ingin mamanya berdesak-desakan dengan orang lain di angkutan umum.

Cukup lama Raya berdiri menunggu angkot lewat. Sudah hampir sepuluh menit dan dia belum juga menemukan angkot yang masih kosong. Semuanya penuh, padahal jam bel jam pertama masih setengah jam lagi.

Karena tidak ingin terlambat, akhirnya gadis itu memutuskan untuk berjalan kaki sembari dirinya mencari angkot atau taksi. Namun di tengah perjalanannya, tiba-tiba sebuah motor mengikutinya dari belakang secara diam-diam. Raya yang menyadari itu pun segera mengambil tindakan.

Pletak!

Sebuah batu melayang ke arah helm si pengendara motor. Orang itu terkekeh dari balik helm full face yang dia kenakan.

"Dari pada kaki lo patah, mending lo ikut gue," ucapnya.

Pletak!

Lagi-lagi batu melayang yang menjadi responnya. Orang itu lagi-lagi terkekeh. Dalam hatinya dia bersyukur karena memakai helm.

"Ra—"

"Mendingan lo pergi," ucap Raya saat motor itu melaju sejajar dengannya. Tidak lama setelah itu, sebuah angkot berhenti tepat di depannya. Namun ketika Raya hendak pergi, orang itu langsung mencekal tangannya.

"Lo ikut gue."

Raya menatap orang itu tajam. "Lepas."

"Jadi naik nggak, Neng?" Sang sopir angkot tampak melirik ke arah dua remaja di belakang mobilnya.

"Ja—"

"Nggak, Pak. Dia pergi sama saya."

Kedua mata Raya membulat. Kini angkot itu sudah melaju kembali. Raya membuang napas kasar melihat itu dan kembali menatap orang yang masih mencekal tangannya.

"Lo—"

"Naik, atau ketemu Pak Agung di gerbang."

Mau tidak mau, Raya segera naik ke atas motor milik Gavin. Dia tidak ingin memperumit paginya jika benar-benar bertemu dengan salah satu guru BK sekolahnya itu apalagi jika sampai dihukum.

"Lo sakit?" Pertanyaan Gavin memecah keheningan di antara mereka berdua. Sesekali lelaki itu melirik wajah Raya yang terlihat lebih pucat dari biasanya.

"Nggak."

"Mau gue anterin pulang?"

"Gue baik-baik aja."

Gavin menghela napas. "Ini bukan gara-gara ulah anak PMR kemarin, kan?"

"Lo gak perlu tahu. Dan itu bukan urusan lo."

"Kalo iya, biar nanti gue bilang sama Sena—"

"Gak usah sok peduli. Lo gak berhak ikut campur urusan gue."

Helaan napas kembali terdengar dari mulut Gavin. "Lo tahu? Lo itu gak banyak berubah. Gue masih inget waktu pertama kali lihat lo di barisan paling depan di hari pertama MOS. Lo jarang ngomong, dan gue gak pernah lihat lo ngobrol sama murid lain atau sekadar senyum. Dan gue—"

Raya : The Girl Who Hides a Thousand Secrets ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang