24. Sandaran

157 25 5
                                    

Raya mengangkat wajah ketika sebuah tangan menyodorkan sebungkus roti padanya.

"Nih," ucap orang itu lalu membuang muka— menghindari tatapannya. "B-buat lo."

Ditatapnya bungkusan roti itu tanpa minat sama sekali. Menyadari tak ada reaksi, Angkasa kembali menatap Raya.

"Woi! Pegel nih. Yaelah." Angkasa langsung  menaruh roti itu ke tangan Raya tanpa persetujuan cewek itu. Dia lalu duduk di sebelah Raya dengan mulut yang sibuk mengunyah roti miliknya sendiri.

"Kenapa sih? Masih soal hukuman tadi? Kan gue udah minta maaf," ucap Angkasa seraya menatap daun-daun beringin yang berserakan di sekitarnya. Dia lalu menoleh ke arah Raya yang masih saja bungkam, menatap roti yang dia berikan.

"Kenapa? Rotinya aneh? Lo takut gue racun? Tenang, rotinya belom kadaluarsa kok." Angkasa berucap dan kembali memakan roti miliknya.

"Gue alergi kacang."

Kunyahan Angkasa terhenti. Dia sontak menatap roti milik Raya.

"Eh? Yah ... Gimana dong?" Angkasa menatap roti di tangannya. "Punya gue rasa blueberry sih. Tapi kan udah gue gigit. Ntar lo alergi juga. Mau gue beliin lagi?"

"Nggak usah."

"Beneran? Emangnya lo gak laper?" tanya cowok itu. "Lo pasti capek. Tadi pagi kan kena hukum Pak Agung, abis itu balik ke kelas, terus sekarang istirahat—"

Angkasa menggantungkan kalimatnya lalu menatap Raya. Cewek itu menunduk. Benar juga, di saat murid-murid yang lain beramai-ramai datang ke kantin, makan bersama sembari sesekali bercanda, Raya justru sebaliknya. Ketika dia datang, berbagai tatapan seolah menghunusnya saat itu juga. Bisikan-bisikan kecil itu sudah pasti melukai telinganya.

"Lo gak perlu mikirin soal gue. Lo habisin aja makanan lo," ucap Raya tanpa mengalihkan pandangannya. Cewek itu kemudian beranjak dari posisinya dan pergi meninggalkan Angkasa.

"Eh, woi!" Angkasa berusaha mengejar Raya namun dia urungkan. Cowok itu menoleh pada sebungkus roti yang juga ditinggalkan oleh Raya.

"Kayaknya gue salah mulu di mata dia." Angkasa menggaruk lehernya yang tidak gatal. Dia lalu berbalik, menatap pohon besar di belakangnya.

"Di saat orang-orang jauhin tempat ini karena takut, dia malah pake tempat ini buat menyendiri." Dia ingat saat pertama kali dirinya bertemu dengan Raya di sana.

"Sesepi itukah hidup lo?"

Angkasa membuang napas. Cowok itu menatap sejenak roti yang tadi diberikannya pada Raya sebelum kembali mengambilnya.

"Gue alergi kacang."

Angkasa tertawa pelan. "Kacang? Lo tuh alergi sama manusia, bukan cuma sama kacang."

💫

"Jangan sampai ada yang terlewat. Pastikan semuanya sudah disalin dan diganti."

Sambungan telepon ditutup dan Anthony memasukkan ponselnya ke dalam kantung jas. Pria itu keluar dari ruangannya dan berjalan menuju parkiran khusus guru, tepatnya menuju mobilnya. Diambilnya sebuah map berwarna cokelat dari kursi belakang. Dia menyeringai tipis.

"Sebentar lagi," gumamnya. Dia bergegas kembali ke ruangannya namun nahasnya pria itu harus berpapasan dengan orang yang paling tidak ingin dia lihat ketika dirinya melewati koridor.

Langkah Anthony sempat terhenti selama beberapa saat, sebelum akhirnya pria itu berdehem dan melanjutkan langkahnya. Dia membuang pandangannya ke arah lain. Namun sebelum dia benar-benar pergi, sebuah tangan menahannya hingga kakinya kembali berhenti.

Raya : The Girl Who Hides a Thousand Secrets ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang