🌦Hello
Seandainya ada sebuah mesin waktu dengan nyata, mungkin orang-orang yang mengalami luka yang cukup berat, bisa memutar waktu dimana mereka akan memohon pada Tuhan untuk tidak di beri nyawa. Namun, itu hanya sebuah harapan kosong semata.
Luna ingin baik-baik saja, menjalani hidup seperti orang lain disekitarnya. Entahlah, mereka benar-benar tersenyum karena mereka senang atau sebenarnya mereka tersenyum karena terluka? Sungguh, seharusnya Luna juga menyadari bahwa sebuah kehidupan tidak mampu dinilai hanya dari apa yang kita pandangi, apa yang kita dengar, apa yang kita pikirkan. Oh, tapi sungguh juga, Luna memang mengharapkan sesuatu yang baik-baik saja.
"Luna! Luna!"
Gadis itu terkesiap, tubuhnya sedikit bergetar ketika seruan—terkesan berbisik membuatnya tersadar dari lamunan tidur di pagi hari itu.
Kedua pandangannya mengerjap, membukanya perlahan, mempersilahkan silau yang terpantul dari jendela bis melewati pupilnya. Ia menemukan Hoseok sedang menatapnya, tetap sibuk dengan kacamatanya yang longgar. Luna menjelajah disekitarnya, menelisik setiap ujung dan sisi bis yang tiba-tiba menjadi asing.
"Luna, kau baik-baik saja?"
Kembali memutar rotasi pandangannya pada Hoseok. Melihat jauh ke dalam matanya yang berbicara bahwa pemuda itu sedang khawatir terhadapnya. Luna sedikit menjauhkan tubuhnya, bergeser walau ia tahu bahwa bokongnya sudah terlanjur sampai ujung kursi.
Luna menatap Hoseok marah, "Sedang apa kau disini? Bukankah aku—"
"Kau tertidur lagi? Berimajinasi lagi?"
Hoseok menyela suara Luna. Ia menghela nafas melihat Luna yang tiba-tiba seperti sedang mengintimidasi dirinya. Terkesan seperti Hoseok telah melakukan sesuatu yang jahat dan membuatnya ketakutan setengah mati seperti itu.
"Aku—"
"Obatmu habis lagi?"
Luna bertingkah kebingungan. Lantas, secara terpaksa ia mengeluarkan kotak obat di dalam tasnya dan menunjukkan kotak kosong tersebut pada Hoseok. "Sudah habis." Bisik Luna yang tersenyum hingga menampakkan deretan giginya.
Walaupun awalnya Luna tidak mau memberitahu apapun yang menyangkut tentang penyakitnya, seperti obat atau apapun pada Hoseok, itu sepertinya sebuah kesalahan. Lagipula Hoseok memang benar, Luna terlalu sering berimajinasi gila karena penyakitnya yang semakin lama semakin parah. Ya, sesungguhnya memang Luna tidak mau lagi untuk meminum obat sialan itu, rasanya bagai menelan pasir laut, itu menyebalkan.
Hoseok tersenyum, ia mengusap pucuk kepala Luna, "Aku akan membelinya untukmu." Ucapnya.
Luna merasakan bahwa ia sudah melakukan kesalahan, memberi tahu Hoseok. Tapi jika tidak diberi tahu maka itu juga kesalahan, astaga Luna menjadi serba salah seperti ini. Ia menjadi bingung dan entah harus berbuat apa.
"Hoseok, kau tidak perlu membelinya, aku sudah sangat banyak menghabisikan uangmu hanya karena satu kotak kecil ini." Luna bergumam menunduk, sembari memainkan kotak obat yang kini hanya berisi angin saja.
Ia sedikit menaikan pandangannya, mengigit bibir bawahnya dengan perasaan harap cemasnya. Tersenyum tipis setengah ragu, hingga membuat Hoseok hanya terkekeh lucu melihat Luna seperti itu.
"Astaga Luna! Lalu aku akan membiarkanmu tertidur terus menerus? Membiarkanmu selalu berimajinasi? Tidak, aku tidak bisa." Tegas Hoseok, menatap serius pada lawannya. Hoseok kembali melanjutkan, "Aku tetap akan membelinya untukmu. Kau adikku, aku harus melindungimu. Kau mengerti?"
Hoseok menjulurkan jari kelingkingnya. Berusaha memberikan keyakinan pada Luna tentang apa yang ia ucapkan. Senyum fajar itu terlihat begitu indah melebihi silau pagi hari. Senyum fajar yang seperti berusaha memaksa Luna untuk mengingat apa yang sebelumnya terjadi pada isi kepalanya. Entah itu mimpi atau imajinasi, Luna tidak tahu apa itu. Ia hanya ingat jika memang dirinya sempat tertidur di bahu Hoseok, ya sebatas itu. Astaga, rasanya kepala Luna mau meledak saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔
Fanfiction(END) Sempoyong hembusan angin sejuk, dimana sahutan perkenalan akan sebuah nama terlontar, menjadi pemicu pertama sebuah rasa yang tiba-tiba muncul di dalam benak kecilnya. Sederhana, "Aku mulai menyukainya." Lalu kemudian, perasaan itu semakin mem...