Pt.20

340 58 1
                                    

🌦 Colors

Emang dasarnya saja hidup. Sehari menjadi tenang itu bohong semata saja. Selalu dan akan selalu ada yang berusaha merusak bahkan menghancurkan kehidupannya. Luna hanya berpikir, mati itu lebih baik.

"Maaf, tapi sepertinya aku mengejutkanmu."

Bibirnya hanya menarik kedua sudut untuk tersenyum tipis ketika mendengar ungkapan biasa dari pemuda yang kini sedang duduk di sampingnya.

Degupan jantungnya yang memompa kuat hingga membuat nafasnya naik turun tidak seirama masih menjadi masalahnya sampai detik ini. Sialan memang, entah siapa yang akan membunuhnya sampai-sampai bersembunyi dan hanya melemparkan sembarangan pisau itu.

Yoongi sekilas melirik Luna yang masih terdiam kebingungan. "Aku adalah kakak laki-lakinya Jeon Jungkook. Mungkin kau tidak tahu karena dia tidak menceritakannya, tapi dia memang adikku.. Walaupun bukan benar-benar adikku."

Luna yang mendengar itu lantas melirik pemuda di sebelahnya. Ia seperti terkejut sekaligus tidak begitu paham akan pembicaraan asing yang dia gumamkan. "Bukan benar-benar adikku? Bisa kau jelaskan."

Benar, Luna mengingatnya jika marga mereka berbeda. Min dan Jeon, itu perbedaan yang begitu jelas terlihat. Lagipula wajah mereka juga berbeda. Hanya kalau tidak salah pemuda ini sangat mirip dengan ibunya Jungkook. Oh atau..

"Aku juga tidak tahu sejak kapan ibuku mengadopsi Jungkook. Namun, ibu pernah mengatakan bahwa Jungkook adalah anak yang baik, karena itu ibu ingin mengadopsi Jungkook dan menjadikannya temanku. Beliau mengatakan itu padaku saat aku remaja."

Luna masih bungkam. Ia lebih memilih mendengarkan apapun yang akan dilontarkan Yoongi saat ini. Bahkan kepalanya hampir pecah ketika berusaha untuk mengerti tentang kehidupan seorang Jeon Jungkook. Luna pikir, Jungkook hanya pemuda yang memiliki kehidupan yang biasa biasa saja, ternyata Luna salah menilai itu. Bahkan sepertinya kehidupan Jungkook tidak jauh berbeda dengannya.

"Maaf, aku tidak sengaja mendengar percakapan mu dan Jungkook kemarin," Yoongi sedikit memutar tubuhnya untuk lebih intens melihat Luna. "Kau melemparkan sebuah kotak makan siang yang Jungkook keluarkan dan kau mengatakan bahwa di dalam itu ada sebuah pisau."

Luna benar-benar terkejut, ia cepat melemparkan pandangannya pada Yoongi. "K-kau mendengarnya? Maaf, imajinasiku sangat keterlaluan. Mungkin kau merasa terhina. Sekali lagi aku minta maaf atas kesalahanku. Padahal Jungkook bilang kotak makan siang itu untukmu." Luna setengah membungkuk untuk meminta maaf pada Yoongi. Sedangkan pemuda itu menggeleng pelan.

"Tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya penasaran saja, mengapa tebakanmu benar."

Luna mengeritkan keningnya bingung. "Tebakkanku? Apa maksudnya? Aku tidak mengerti."

"Ibu juga tidak lama kemudian membawa pisau tepat dihadapanmu dan Jungkook. Aku juga tidak sengaja melihatnya. Apa kau tidak merasakan bahwa itu sedikit aneh?"

Aneh? Entahlah, Luna hanya terkejut saja saat itu, tidak untuk berpikir yang buruk atau bahkan berprasangka yang bukan-bukan. Bagaimanapun ia harus menghargai ibu dari seorang yang kini menjadi kekasihnya—atau tidak untuk kemudian.

"Aku tidak mengerti." Geram Luna. Ia melirik sinis Yoongi yang saat ini sedang berpikir juga. Dasar pemuda yang aneh, datang tanpa permisi lalu berujar layaknya tong kosong nyaring bunyinya. Entahlah, Luna merasa bahwa topik yang sedang di diskusikan olehnya terlalu berlebihan dan terkesan menyebalkan.

"Maaf, Aku hanya khawatir pada Jungkook. Dan aku juga mengkhawatirkanmu."

Jamais Vu

Sudahlah, begitu banyak luka yang ia Terima sejak dulu. Bahkan setelah ayahnya meninggal, luka itu masih belum sembuh. Rasanya sakit tapi tidak berbekas, rasanya kecewa sampai terlalu bingung untuk apa yang harus ia lakukan.

Jungkook hanya sibuk menendang samsak tinju yang menggantung lurus dihadapannya kini. Berpikir seribu tingkah tentang bagaimana ia seharusnya saat ini. Sial memang, ia benar-benar kehilangan akal. Hingga ia berteriak marah dan kembali menendang kuat, membuatnya lelah seketika.

Tubuhnya meringsut turun, tertidur bagai tak peduli pada alas. Menatap lurus remang-remang lampu yang murah di atas sana. Memandang ragu pada yang bercahaya menyorot tajam kearahnya. Nafas itu bertingkah seolah sesak, naik turun bagai eskalator pusat perbelanjaan. Jungkook melamun dalam bayang-bayang hari itu.

Kertas kusut sekaligus kumuh ia keluarkan dari genggamannya yang ternyata sedari tadi tangannya mengepal menggenggam kertas itu. Kertas yang bahkan seharusnya ia temukan sejak dulu sebelum semuanya terlambat seperti saat ini.

Ia membuka kertas itu perlahan, menatap nyalang untuk di dalamnya. Bagai itu sebuah kenyataan yang menyakitkan, Jungkook berulang kali mencoba mengerti pada bait-bait kalimat yang tersusun berantakan layaknya sang penulis terlalu terburu-buru. Ia melihatnya dengan jelas dan kedua mata yang terbuka lebar, sampai akhirnya garis bibir sisi yang lain itu tersenyum miring.

"Aku tahu, kau yang melakukannya, bu."

Jamais Vu

Akhirnya laki-laki itu pergi juga setelah sekian lama Luna lelah menunggu. Luna hanya sedang malas untuk berpikir keras saat ini. Kepalanya bagai di timpa berbagai benda dengan berat yang tidak terkira hinggap di pundaknya, sampai menekannya untuk benar-benar mati saja.

Tatapannya masih mengarah pada pisau yang menancap begitu dalam di tubuh sebuah pohon. Berbisik dan bergumam tipis, bertanya pada dirinya sendiri yang hilang pikiran.

"Siapa yang melakukan ini padaku?"

Luna menyentuh tangkai pisau itu. Benda itu memang benda yang biasa saja, tidak ada yang menarik darinya. Hanya sebatas pisau dengan gagang silver nya yang mengkilau. Hingga Luna di kejutkan oleh suara bariton khas yang tidak asing.

"Luna, kau sedang apa?"

"Jungkook?"

Pemuda itu berjalan mendekati Luna yang masih terdiam di tempatnya, hanya melirik Jungkook sekilas. "Maaf, kau mencariku? Aku lagi-lagi tidak masuk kelas, hehe." Ujar Luna sedikit terkekeh.

"Apa yang terjadi? Seseorang mengganggumu lagi?" Kini Jungkook sudah berdiri di samping Luna. Mengikuti arah pandang gadis di sampingnya yang sedang menatap sebilah pisau yang menancap.

Luna hanya mengangguk.

Jungkook meraih pundak Luna, menatap hangat walau dingin itu masih terasa dari balik pandangannya. "Dengarkan aku, beri tahu aku langsung jika ada hal yang seperti ini lagi. Aku sudah berjanji padamu untuk melindungimu, jadi berkerjasama lah."

"Kau tahu siapa orang yang selama ini mengganggumu?"

Jungkook melepaskan genggamannya pada pundak Luna. "Aku tidak tahu apa aku benar-benar mengetahuinya atau tidak. Aku hanya takut jika dia melukaimu karena kini kau bersamaku, Luna." Jungkook melirik Luna yang sedang memperhatikannya dengan seksama.

Luna menganggukan kepalanya dan tersenyum. Ia merasakan bahwa kini Jungkook meraih jari-jemari tangannya. Di genggam itu sangat erat, membuat Luna merasakan kehangatan yang begitu ia inginkan untuk sekarang.

Mengingat beberapa jam lalu, ia baru mengetahu fakta sebenarnya dari seorang Kang Dami—sahabatnya sendiri. Sial, ia tidak bisa melupakan itu. Luna tiba-tiba menunduk, ia ingin sekali mencari jalan keluar dari masalah yang membelitnya. Namun, entah mengapa permasalahan yang ia miliki tidak ada satu pun penyelesainnya, seakan Luna harus benar-benar menyelesaikannya sendiri.

"Kau mau ikut denganku?"

Luna mengadah cepat, melihat Jungkook yang saat ini juga sedang meliriknya. Luna bertanya, "Kemana?" Kening itu berkerut tajam, mencoba menemukan jawaban dari ajakan Jungkook yang bahkan ia sedang tersenyum penuh arti.

"Ayo kita kencan."

Jamais Vu

Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang