Pt.15

345 54 2
                                    

🌦Havoc

"Jim, lepaskan tanganmu!"

Sedikit risih untuk genggaman tangan yang menarik lengannya padahal pijakan lingkungan sekolah sudah mereka langkahi. Hingga mau tidak mau, Luna sedikit menekan suaranya hanya untuk menyadarkan Jimin. Untung saja, genggaman itu terlepas dengan mudah dan Jimin hanya tersenyum setengah simpul.

"Maaf." Gumamnya sembari mengusak belakang tengkuknya yang mungkin sedikit gatal.

Luna melirik sinis dan mendengus melihat pemuda itu yang berlagak salah tingkah. Rasanya sangat geli dan tidak cukup terbiasa bagi Luna untuk melihatnya seperti itu. Hingga suara bariton yang menggumamkan namanya tersiar disana, membuat Luna terkejut—hampir kalang kabut.

"Luna!!"

Itu Hoseok, berlari tergesa-gesa dengan tetap sibuk pada tangkai kacamatanya yang longgar di tulang hidungnya. Tanpa alasan, Luna menyembunyikan tubuhnya dibalik punggung Jimin dan mengalihkan pandangannya ke bawah. Sulit sekali untuk sekedar melihat Hoseok.

"Luna, kau baik-baik saja? Aku terkejut ketika Dami memberitahu ku bahwa kau tidak masuk kelas, aku mengkhawatirkanmu, Luna." Ucap Hoseok mencoba meraih pergelangan tangan Luna, namun tubuh itu semakin jauh dan bersembunyi.

Hoseok menghela nafasnya, mencoba mendekati Luna, namun tetap nihil. "Luna, maafkan aku. Aku benar-benar tidak—"

Bugh!

Begitu tiba-tiba, bahkan hanya terhitung beberapa sekon saja untuk satu pukulan mendarat tepat di tulang pelipis Jung Hoseok. Tubuhnya tersungkur, membuat Luna menangkupkan mulutnya yang menganga karena terkejut.

Luna merasakan pergelangan tangannya di tarik paksa oleh Jeon Jungkook—si pemukul Hoseok. Menarik gadis itu menjauh dari siapapun, entah apa tujuannya. Luna hanya mengikuti langkah besar pemuda dihadapannya yang terlihat kacau, seragamnya lusuh, rambut yang tertutup topi itu juga berantakan. Luna hanya mampu memandang dari belakang.

"Kook, kau baik-baik saja? Pelan-pelan, kakiku lemas."

Jamais Vu

Katakan saja untuk takdir yang jauh dari sempurna. Hina lah takdir yang sudah susah payah melukainya begitu dalam dan terkesan terlalu lama. Ia ingat ketika anak kedua—ah bukan, dia bahkan bukan anak kandung, tapi Jeon Jungkook begitu menganggapnya sebagai ibu yang baik.

"Terima kasih sayang, untuk luka yang kemarin kau berikan." Suaranya tipis, seperti kapas yang basah. Mengalun dengan gemetar karena sebilah ujung pisau menekan lengannya—hampir dekat dengan urat nadi.

Memang bohong untuk apa yang sudah ia katakan pada Jungkook jika beberapa hari lalu lengannya tergores adalah ulah si meja ruang tamu. Namun, untuk apa juga jika ia jujur pada anak itu, lagipula tidak akan mengubah apapun, bahkan tidak akan membuat pria setengah tua di atas figura itu kembali bernafas kan? Hahaha, ayolah tertawa saja untuk hari ini.

"Kau bahkan meninggalkanku begitu saja tanpa berniat untuk memohon maaf padaku." Gumamnya lagi, bersama dengan satu goresan yang lain. Menatap nanar pada seonggok pigura kotak yang berisikan ketiga manusia tersenyum hangat, sangat hangat.

Ibu Song mengangkat ujung pisaunya, menunjuk tegas pada yang tidak nyata, "Lihat! Kau hanya tertawa disana. Kau menertawakan ku yang hancur seperti ini." Kekehan nya terdengar sendu, seperti nada menderita. Ia tersenyum simpul, "Aku akan membuatnya menderita juga, sayang. Kau mengerti kan maksudku?"

Bagai setajam ujung pisaunya, menatap pada sosok yang tengah tersenyum hangat itu. Hingga memutuskan untuk melempar pisau yang memang sudah habis berlumuran darah ditancapkan pada kaca pigura yang retak. Ibu Song tertawa terbahak-bahak, seperti kerasukan, ia sekaligus menangis.

"Aku menyukainya, aku sangat menyukai hidupku yang hancur."

Jamais Vu

Ya, mau tidak mau Luna hanya mampu terdiam. Mengamati bagaimana Jungkook menatap pemuda sepantaran tingginya yang juga sedang melihat Jungkook. Bagai bara api di sekitar mereka, mungkin saja beberapa detik kemudian akan ada perang sampai habis darah. Itu mengerikan.

Luna menggigit bibir bawahnya, setengah ragu untuk melihat sosok di hadapan Jungkook yang terlampau dingin bak kutub. Sembunyi dibalik punggung lebar Jungkook, setidaknya itu melindunginya.

"Untukmu," Jungkook menyodorkan kotak tempat makan yang cantik pada pemuda itu. Meletakkannya dengan kasar pada dadanya, sampai sedikit terdorong. Itu Min Yoongi.

"Berbahagialah! Ibu sangat menyayangimu sampai membuat bekal makan siang." Ucap Jungkook diiringi kekehan sarkastik. Jungkook melangkah satu hanya agar lebih dekat dengan Yoongi, sekedar untuk menghemat suaranya."Pulanglah dengan cepat dan beri tahu ibu, aku tidak akan pulang."

Si Jeon mendorong ringan pundak Yoongi, membuat sang empu hanya mendengus dan mencibir. Ia masih menatap Jungkook seolah-olah menahan Jungkook untuk tidak cepat pergi dari hadapannya. Entahlah, namun untuk saat ini Yoongi hanya ingin berdamai, walau tidak akan benar-benar mulus.

"Kemana kau akan pergi?" Tanya Yoongi. Sesekali lirikannya mengarah pada gadis dibelakang punggung Jungkook yang terus menunduk.

"Bukan urusanmu!" Ucap Jungkook. Sebelah tangannya kembali mengamit lengan Luna dan membawanya ikut menjauh.

Untuk beberapa langkah dari Jungkook yang memang sudah cukup jauh, bahkan hampir hilang dari pandangannya, Yoongi terdiam. Namun, sesuatu mendorong untuknya berteriak lebih kencang dari seekor auman harimau betina. Yoongi berlari sedikit, "Jeon Jungkook!"

Pemuda disana menarik kakinya untuk berhenti melangkah. Tidak berbalik dan tetap pada posisinya yang memunggungi Yoongi. Namun, Luna memutuskan untuk memutar atensinya pada si Tuan Min. Katakan saja, Luna merasakan tatapan pemuda itu berbeda dari sebelumnya, bukan kutub, itu seperti musim panas yang menghangatkan, namun ada badai di dalamnya. Apa? Bagaimana?

"Tidak untuk pergi kesana Jeon! Ikuti apa yang aku katakan dan berhentilah bersikap egois." Yoongi masih berusaha untuk berteriak. Menatap yang disana tetap tidak memutar haluan, sejujurnya Yoongi menyerah.

"Jeon!" Seru Yoongi sekali lagi. Hingga benar saja, Jeon Jungkook mengalihkan tubuhnya untuk melirik Yoongi.

"Kau yang bersikap egois! Dan kau tidak berhak melarangku." Jungkook sedikit mendekati Yoongi. Masih tetap pada genggamannya yang mengamit lengan Luna begitu kuat. Nafasnya memburu marah, Jungkook sangat marah untuk saat ini.

"Disana berbahaya, Jeon! Kau dalam bahaya."

"Tahu apa kau tentang bahaya, Min Yoongi-ssi?" Jungkook melukiskan senyum setengah simpulnya. Meremehkan si lawan disana, terkekeh kesal. Rasanya kedua tangannya begitu gatal ingin menghancurkan wajah pucat pasi bak susu itu.

Hingga begitu tiba-tiba, Luna membulatkan pandangannya terkejut ketika melihat pemuda itu membuka kotak makan siang miliknya. Di dalamnya bukan roti sandwich yang lezat atau setumpuk nasi hangat, itu benar-benar sangat berbahaya.

Sebilah pisau berlumuran darah.

"Aku tahu semuanya!"

Untuk kesekian kalinya, Luna merasakan sebuah kehidupan memang tidak ada yang baik dan sempurna. Yoongi melemparkan pisau itu, membuatnya tepat sasaran menusuk perut Luna begitu saja. Membiarkan gadis itu terkapar menyedihkan dengan simbahan darah yang mengalir. Ini adalah aneh.

Jamais Vu

Note: Havoc = Malapetaka

Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang