🌦True
Terserah, terserah, terserah. Apa itu? Berulang kali hanya mengatakan terserah, padahal ia baru saja tertidur hingga bermimpi yang gila. Luna mengerjapkan kedua pandangannya perlahan, menarik sisi pelipisnya yang seperti sedang bersandar pada bahu—Jeon Jungkook? Oh, benar, Luna memang bersama pemuda itu.
"Bagaimana? Kau bermimpi indah, nona?" Celetuk Jungkook disela-sela kegiatannya yang sedang menghabiskan separuh permen lolipopnya yang sedari tadi di kulumnya.
Luna hanya mampu terdiam, menelusuri setiap sudut lingkungan—yang entah dimana ia saat ini, namun suasananya begitu tenang. Dengan lorong jalan yang begitu sepi, hingga semilir angin menyejukkan juga semakin menambah betapa menenangkannya disini. Luna melirik sekilas pada dinding yang sedang ia sandari sedari tadi, seperti dinding bangunan sebuah rumah.
"Tempat tinggal mu, Kook?" Luna beralih melihat Jungkook yang ternyata sudah lebih dulu menatapnya. Pemuda itu mengangguk.
Mereka berdua memang sedang terduduk bersandar pada sebuah dinding bangunan yang diyakini itu rumah Jungkook. Entahlah apa alasannya Jungkook membawa Luna kesini, namun Jungkook hanya bingung saja. Pemuda itu lantas meletakkan tas ranselnya tepat dihadapannya. Membukanya, hingga benda kotak yang mungkin seperti kotak makan siang dikeluarkannya.
"Sebenarnya aku harus memberikan ini pada kakakku. Tapi aku—"
Benar-benar gila. Itulah kalimat yang akan Jungkook gumamkan jika saja ia tidak terkejut. Pasalnya, gadis itu merampas kasar benda yang digenggamnya dan dibuangnya sembarangan. Hingga isinya berhamburan dimana-mana.
"Ya! Ada apa denganmu?!" Jungkook berteriak, menatap nyalang pada si pelaku anarkis yang kini sedang terkejut juga.
Wajah itu bahkan menjadi pucat, bibirnya bergetar, sekaligus bola matanya yang menatap Jungkook dengan nanar. Sesekali melirik yang berhamburan, sesekali pula melirik Jungkook yang sedang marah. Gadis itu lantas memungut kembali makanan yang sudah kepalang kotor.
"Maaf Kook.. A-aku tidak sengaja melakukannya. A-aku hanya berpikir jika di dalam kotak itu adalah pisau. Aku hanya takut, jadi aku—"
"Halusinasimu itu keterlaluan Luna. Ini makanan, ibuku yang membuatnya, dan kau membuangnya?" Jungkook menepis pergelangan tangan Luna yang sedang berusaha memasukan kembali sandwich telur itu. Ia mengambil alih pekerjaan Luna, membiarkan Luna begitu saja.
"Aku minta maaf, Kook. Maafkan aku." Gumam Luna terkesan berbisik. Kepalanya menunduk, lebih menikmati gelutan jari-jemari nya yang melilit untuk menahan kelopak matanya agar tidak meloloskan sang liquid.
Mungkin menyadari itu, Jungkook menghela nafasnya. Ia melirik Luna dengan tangan yang sedang sibuk menutup rapat kotak makan siang. "Sudahlah, jangan menangis, aku tidak menyukai itu." Jungkook lantas menarik pergelangan tangan Luna secara tiba-tiba, membuat si gadis mengadah terkejut.
Seharusnya ini sudah sore, bahkan melebihi jam pulang dari biasanya. Namun, haruskah Jungkook benar-benar membawa Luna masuk ke dalam rumahnya? Membiarkan Luna berpikir keras tentang tangannya yang di genggam, lalu perlakuan Jungkook yang manis—ah, tidak manis, itu sedikit. Lupakan, Luna tidak harus merasa bahwa dirinya di spesial kan oleh Jeon Jungkook.
"Kook, kenapa kau—"
"Shut! Ibu akan mendengar suara mu," Bisik Jungkook dengan jari telunjuk yang diletakkannya di depan bibirnya. Mengisyaratkan gadis itu untuk mengecilkan suara dalam bicaranya. "Nanti, aku tidak bisa mengantarmu pulang." Ucap pemuda itu lagi.
Luna hanya mendelik sebal pada si Jeon. Hanya berpasrah diri karena Jungkook yang menariknya menuju belakang rumahnya, seperti sebuah halaman sederhana yang di rundungi rerumputan hijau. Berjalan mendekati sebuah rumah kecil—gudang? Tidak, itu memang seperti rumah. Bahkan seharusnya Luna terkejut melihat rumah itu yang terkesan antik sekaligus menyejukkan karena dinding-dindingnya di balut kayu jati.
Jungkook melepaskan genggamannya, melirik Luna dengan sebuah senyuman. Jungkook membuka pintu rumah itu perlahan. Menampakkan berbagai benda yang lusuh tersusun berantakan.
"Mungkin sedikit tidak nyaman, tapi setidaknya tidak memakan waktu begitu banyak. Sepeda? Kau keberatan, nona?" Jungkook menunjukan smirk nya yang bagi Luna itu menyebalkan. Pemuda itu membawa Luna memasuki rumahnya, mendekati sepeda yang berdiri tegak dengan debu yang menyelimutinya.
Luna tersenyum seraya mengangguk, "Ku pikir itu akan menyenangkan. Seharusnya aku yang bertanya, apa kau keberatan jika kau membawaku?" Ucap Luna diiringi kekehannya. Sedangkan si pemuda hanya tersenyum biasa.
Jungkook membersihkan sedikit debu yang bersarang di sepeda usangnya yang memang sudah lama tidak ia gunakan. Setelah selesai, digiring nya sepeda itu untuk dibawa keluar ruangan. Luna mengikutinya dari belakang. Namun, belum sempat Jungkook benar-benar keluar, sesosok wanita mengejutkannya.
"Jeon!"
"Ibu?"
Entah untuk alasan apa, Luna merasakan sebelah tangan Jungkook menggenggam pergelangan tangannya secara tiba-tiba. Genggamannya berbeda dari sebelumnya, itu sangat kuat seperti sebuah ketakutan. Jungkook sangat takut, benarkah? Tapi kenapa?
Wanita itu tersenyum. Senyumnya memang biasa saja, namun bagi Jungkook itu berbeda. Di liriknya sesuatu yang sedang di genggam ibu Song—pisau. Jungkook kembali menatap wanita itu, seperti mencari tahu mengapa ibu Song membawa benda tajamnya.
"Oh, Jeon, maaf kau terkejut ya? Ah, ibu sedang masak untuk makan malammu," Ibu Song mendekati Jungkook dan Luna yang sedang berdiri dibelakang punggung pemuda itu. Bersembunyi sembari sesekali melirik.
Luna yang melihat ibu Song berjalan mendekat, kakinya bergerak mundur, semakin berusaha untuk bersembunyi. Walaupun sebenarnya ia begitu sadar jika apa yang sedang ia lakukan itu terkesan sangat tidak sopan. Namun, seperti perasaannya yang menarik kaki-kakinya untuk menjauh.
"Jeon, apakah itu temanmu?"
Jungkook melirik Luna, ia menganggukkan kepalanya. Semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Luna. "Ibu, bisakah kau jauhkan benda itu? Temanku sedikit.. Phobia." Ucap Jungkook berbohong. Senyumnya tersungging, seperti memohon pada ibu Song yang saat ini sedang terkekeh.
"Ah, begitu ya? Baiklah, maafkan ibu." Ibu Song menyembunyikan benda itu dibalik punggungnya. Lantas, tersenyum hangat dan mendekati Luna, "Oh, kau cantik sekali nak. Namamu? Aku ibunya Jeon Jungkook." Lagi, Ibu Song tersenyum ramah.
Baiklah, Luna harus bersikap seperti biasa saja. Bukankah membiarkan sapaan itu sama saja dengan tidak sopan? Luna membungkuk, "Saya Choi Luna, kau bisa memanggilku Luna." Ucapnya diiringi senyum walau begitu tipis.
"Maaf Bu, aku harus mengantarnya pulang. Ini sudah sore, aku khawatir." Ucap Jungkook menyela topik hangat mereka.
"Ah, begitu ya? Baiklah, kau harus sering mampir kesini. Ibu akan membuatkan makanan untukmu." Ibu Song mengusap lembut surai Luna yang hanya dibalas dengan anggukan.
Tidak begitu banyak bicara lagi, Jungkook menarik lengan Luna sekaligus sepedanya. Luna melirik belakangnya, melihat ibu Song disana yang sedang tersenyum. Entah ini hanya perasaan angin lalu atau sebenarnya memang ini adalah pertanda bahwa apa yang terjadi dalam halusinasi dan mimpinya adalah nyata.
Ya, benar, Luna sudah mampu mengingat apa saja yang sudah ia imajinasikan. Setidaknya, ia tahu jika ternyata apa yang di genggam ibu Song adalah benda yang sama dengan imajinasinya—tidak, itu bukan imajinasi, melainkan sebuah tanda. Luna yakin. Benarkah?
Jungkook menatap Luna, "Ku rasa.. Kau benar, Luna."
Jamais Vu
Udah ada yang bisa nebak, siapa antagonisnya? 🌚 So banget deh gue pake acara bikin teka teki ala-ala bighit. Serius, gue udah kasih clue di beberapa part. Tapi.. Ya udah lah ya nikmatin ajah. Kalau emang cerita ini gak menarik, yowes gais jan di paksakan. Karena yang namanya cerita itu juga selera 💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔
Fanfic(END) Sempoyong hembusan angin sejuk, dimana sahutan perkenalan akan sebuah nama terlontar, menjadi pemicu pertama sebuah rasa yang tiba-tiba muncul di dalam benak kecilnya. Sederhana, "Aku mulai menyukainya." Lalu kemudian, perasaan itu semakin mem...