Pt.19

344 59 1
                                    

🌦 Fact

"Kau menyukainya?"

Kelu, bibirnya benar-benar enggan untuk terbuka walau sebenarnya Jimin sudah bertanya hal tersebut sebanyak lima kali dalam lima belas menit ini. Tapi sialnya, itu sangat bungkam. Hoseok menyerah pada dirinya sendiri, hingga ia melirik Jimin dan memberikan tatapan yang penuh arti. Berharap bila Jimin melihatnya, maka ia akan menemukan jawaban itu.

"Ku rasa, aku tahu jawabannya." jawab Jimin dengan bokongnya yang ditarik menjauhi tanah lapangan kosong. Ia menatap Hoseok sembari menyelipkan kedua tangannya di antara saku celananya.

Hoseok menunduk, ia menghela nafasnya. Membiarkan isi kepalanya yang bergelut kasar di dalam sana. Berbisik dengan berisik, entah apa yang di jadikan bahan pertengkaran.

"Kalau begitu, rebut saja dan buatlah ia jadi milikmu."

Hoseok mengadah cepat, menelisik tajam pemuda yang kini hanya menyunggingkan senyum miringnya dengan menyebalkan. Sejujurnya untuk merebut, Hoseok tidak pernah berpikir akan melakukan itu. Lagipula, Hoseok yakin jika Luna akan tahu alasannya mengapa Hoseok melarang untuk menyukai Jeon Jungkook.

"Kenapa kau mendukungku, Jim? Kau kan temannya Jungkook." Tidak menjawab pernyataan Jimin, Hoseok malah melemparkan pertanyaan yang aneh dan itu membuat Jimin membuang pandangannya—sekedar berpikir.

Jimin terdiam, hingga ia kembali melirik Hoseok, "Aku membencinya."

Jamais Vu

Setelah luka pada kedua tangannya berhasil di obati oleh Jungkook. Luna melangkah memasuki ruangan kelasnya. Suasana memang sedikit menyebalkan karena semua pandangan hampir meliriknya bagai ia sebuah kotoran hewan yang menjijikan. Hey, apa disini ia adalah pelaku kejahatannya? Sialan.

Ia mendekati kursinya yang dimana seharusnya itu menjadi kursi miliknya dan Dami. Namun, sayang itu sepertinya akan menjadi tinggal kenangan saja. Karena kini, kursi sebelah Dami sudah ada yang mengisi dan itu tentu bukan dirinya.

"Dami.. Aku ingin bicara denganmu."

Awalnya Luna juga enggan untuk menyapa Dami atau apapun itu. Hanya saja, bagaimana pun Dami adalah sosok sahabatnya selama tiga tahun ini. Ia tidak mau persahabatannya sendiri hancur hanya hal-hal yang tidak berguna. Luna saja tidak tahu apa masalahnya hingga Dami bisa mengacuhkannya seperti itu.

Benar saja, bahkan untuk melihat Luna, bola mata itu sangat enggan. Dami masih sibuk berbincang dengan 'teman barunya' sampai-sampai menyadari adanya Luna juga tidak.

Luna mengepalkan kedua tangannya marah, ia menghela nafasnya dan kembali bersuara. "Dami.. Aku ingin bicara denganmu. Kumohon."

Berhasil, Dami melihatnya walau tetap saja itu terkesan sinis. Setidaknya, Dami menyadari keberadaan Luna. Senyum itu mengembang—terpaksa. "Hai, Luna. Maafkan aku, aku tidak menyadari keberadaanmu. Bagaimana—"

"Apa? Kenapa kau berhenti, Dami?"

Gadis itu beranjak dari kursinya dan mendekati Luna. Senyumnya begitu menjijikan terpatri disana dengan jelas. Kedua tangannya tiba-tiba mengenggam pundak Luna begitu erat. "Bagaimana ciumanmu dengan Jungkook? Apakah menyenangkan?"

Sial, Dami benar-benar sengaja berteriak hingga membuat semua pendengar mendengar ucapan Dami dan menatap Luna. Mereka bahkan terdiam dan lebih memilih menyaksikan perang dingin disini.

Apakah Dami melihatnya? Bagaimana bisa? Rasanya Luna seperti yang sudah melukai Dami. Apa yang tidak diketahui Luna sebenarnya?

"Apa maksudmu?"

"Maksudku? Aku sengaja melihatmu dan Jungkook di toilet tadi. Kalian bahkan berciuman di tempat sepi seperti itu. Wow, Luna kau luar biasa."

Gadis itu bertepuk tangan bagai sedang menonton pertandingan olahraga. Ia tertawa seperti kerasukan, membuat Luna hanya menggeram marah dalam diam.

"Aku tahu kau itu cantik, Luna. Bahkan kau seperti gadis yang baik. Tapi ternyata aku salah menilaimu. Kau bahkan seperti seorang pelacur—"

Satu tamparan tepat mengenai pipi kanan gadis itu. Walau bagaimana pun seorang Dami adalah sahabatnya, tapi kata-kata yang seharusnya tidak terucap itu tepat menusuk bagian relung hatinya. Ia merasa bahwa dirinya begitu kotor, begitu jahat karena perkataan Dami.

"Kau gila!" Geram Dami sembari mengusap pipinya yang memanas karena tamparan itu tepat mengenainya begitu keras.

"Seharusnya aku yang mengatakan itu. Kenapa kau bersikap seperti ini, Dami?" Liquidnya yang sudah lama ia tahan akhirnya memutuskan untuk mengalir walau beberapa tetes. Nafasnya berhembus naik turun, pandangannya menajam menatap Dami.

"Aku menyukai Jeon Jungkook, kau puas?"

Bagai halilintar yang begitu ganas, hati itu berantakan juga pada akhirnya. Retakannya pecah hingga membuat nafasnya tersedat seperti ada yang menahan lubang hidungnya. Rasanya sakit, sangat sakit. Ia tidak tahu jika Dami menyukai pemuda yang sama dengannya. Ia tidak tahu jika ternyata sahabatnya sendiri menyembunyikan itu sendirian dan tanpa memberitahunya? Lalu, selama ini siapa Luna di dalam hidup Dami? Hanya kurcaci kah?

"Kau bahagia dengan kehidupanmu yang mewah, Luna. Ibu, Hoseok yang menyayangimu. Uang yang berlimpah. Kenapa kini kau juga yang harus merasakan cinta dari seseorang yang aku sukai selama tiga tahun ini, Luna?" Dami berteriak tepat diwajah Luna. Membuat Luna menundukan kepalanya sembari terus menangis.

"Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain rumah yang kumuh dan juga bibi dan pamanku yang jauh. Kau tahu itu kan, Luna? Kenapa sekarang kau tega merampas kebahagiaanku satu-satunya," Tubuhnya bergerak menurun. Terduduk dihadapan Luna bagai memohon. Tangisannya yang membiru membuat Luna juga merasa sesak di dalam sana. "Kebahagiaanku untuk menyukai Jungkook."

Hingga Luna melangkah mundur dan perlahan menjauh. Ia berlari keluar kelas entah kemana. Ia hanya ingin mencari udara segar dan membuat hatinya membaik. Haruskah Luna bersyukur dengan apa yang dikatakan Dami tentang kehidupannya? Rasanya Dami hanya melihat kehidupan Luna dari balik sampulnya saja. Padahal Luna juga membenci kehidupannya sendiri.

Akhirnya juga ia berakhir di sebuah taman belakang sekolahnya—lagi. Tumpuan kakinya sedikit lemas dan membuatnya terjatuh mencium tanah rerumputan dimana daun-daun kering berserakan.

Baru saja beberapa menit lalu ia bahagia ketika mendengar Jungkook juga menyukainya. Namun, kini haruskah ia merasakan derita karena ternyata ada seseorang yang lain sedang menyukai Jungkook. Bahkan seseorang itu berharga baginya. Luna harus bagaimana? Membuang perasaannya demi sahabatnya sendiri atau tetap mempertahankan perasaannya? Luna tidak tahu.

Tangisannya pecah juga, berteriak disana bersama kedua lututnya yang menekuk. Tidak peduli dimana ia duduk saat ini, ia hanya ingin menangis terisak atau bahkan ingin mengeluarkan semuanya. Ia tidak tahu jika ternyata sahabatnya sendiri menyukai pemuda yang sama, bahkan sepertinya Dami lebih dulu menyukai Jungkook daripada dirinya.

"Maaf, maafkan aku Dami."

Tiba-tiba tidak sengaja Luna mendengar suara langkah kaki yang menginjak dedaunan kering di sekitarnya. Terkejut? Tentu saja. Ia lantas bangkit dari posisinya untuk sekedar menelisik areanya. Mungkin saja kucing atau anjing lucu, tapi sayangnya perasaannya mengatakan hal lain. Terlalu terkejut dan takut, sampai-sampai air matanya mengering dan lebih memilih memperhatikan disana sini.

Hingga beberapa sekon kemudian, tubuhnya didorong paksa oleh seseorang yang bahkan entah siapa itu. Membuat keduanya tersungkur. Lalu, Luna melihat pisau yang kini sedang menancap di tubuh pohon di dekatnya. Itu seperti akan mengenainya jika saja seseorang itu tidak mendorongnya ke arah lain.

"Kau baik-baik saja?"

Laki-laki itu? Seperti..

"Min Yoongi."

Jamais Vu

Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang