🌦Min Yoongi!
Entah apa yang menjadi masalah utamanya. Namun, ketahuilah geramnya sudah sampai puncak tertinggi hingga mau tidak mau Jungkook menendang tulang pelipis milik seorang pemuda seumurannya. Namanya Kang Daniel, ketua kelas yang selalu berusaha menjatuhkan perasaan Jungkook menjadi terluka. Ocehannya tidak bernilai perak ataupun permata, ocehannya sampah. Tapi tetap saja itu menyakitkan palung hatinya.
"Kau tidak tahu ya, kau itu anak pungut, Jeon. Sampai kapan kau tidak mau mengerti?!"
Daniel yang sudah tersungkur, dengan sudut bibir yang terluka, tetap menyudutkan Jungkook yang sedang kalang kabut ingin lebih menghajarnya. Untung saja Taehyung dan Jimin menghalau kekuatan Jungkook untuk tetap menahan diri.
Keheningan kantin sejenak mengiring suasana. Riuh sendok makan atau pun sumpit tidak terdengar dan lebih memilih memperhatikan perkelahian di sudut meja sana. Dasar saja manusia, bukannya membantu melerai.
Jungkook mendorong Taehyung dan Jimin untuk menyisi dari hadapannya. Berjalan perlahan mendekati Daniel yang kesulitan menarik diri untuk berdiri tegak. Sudut matanya yang marah, menandakan bahwa hatinya sedang menyulut kobaran api sengit di dalam sana, hingga tanpa sadar Jungkook kembali menarik kerah seragam lusuh milik Daniel. Satu buah kepalan melayang di udara,
"Jungkook hentikan!" tiba-tiba suara rendah itu menghentikan pergerakan tangan Jungkook untuk hampir memukul pelipis Daniel lagi.
Bagai tertegun, mampu menerka siapa pemiliknya, Jungkook semakin tersulut. Jeon Yoongi—Min Yoongi, Jungkook tidak tahu nama apa yang harus ia gumamkan. Jungkook melepaskan genggamannya dan sedikit mendorong tubuh Daniel. Berbisik sebelum pergi, "Aku bukan anak pungut."
Langkahnya beralih pada presensi diujung sana yang sedang berdiri kokoh menatap biasa pada Jungkook. Hingga tanpa permisi juga, Jungkook memukul bonyok pelipis Yoongi, membuat punggung pemuda itu mengenai ujung meja. Jungkook bergumam, "Sedang apa kau disini, bung? Pergilah ke bar, bermain dengan wanita, itu kan hobi barumu?" Kekehnya.
Senyum kecut itu seperti sebuah kesenangan dimana punggung tangannya yang membiru berhasil memukul mulus pelipis Yoongi. Namun, untuk satu jawaban di kemudian, Yoongi tidak diam, ia kembali melayangkan satu pukulan keras mengenai pelipis kiri Jungkook yang membuat tubuh pemuda itu juga mengenai ujung meja.
"Tentu saja, aku memiliki segudang wanita, kau mau bung?" Yoongi kembali menghantamkan ujung pukulannya lagi yang kini mengenai pelipis kanan Jungkook, membuat pemuda itu tersungkur. "Aku tidak mengerti kenapa kau begitu membenciku?!"
Sesaat kemudian hati itu hancur antah berantah, bagai gempa yang membuat susunan rumah berantakan, Jungkook merasakan hal itu di dalam sana. Menarik diri susah payah hanya untuk kembali menghantamkan kepalan tangannya pada pelipis Yoongi berulang kali, entah itu dua atau tiga. Jungkook membuat pemuda itu terkulai lemas.
"Karena aku tidak menyukai kenyataan dimana kau lebih beruntung daripada aku, hyung. Aku bukan anak pungut, kau harus tahu itu."
Kalau katanya takdir itu harus di terima dengan lapang dada, Jungkook tidak bisa melakukan itu. Karena baginya hidupnya sudah hancur, untuk apalagi diterima dengan lapang dada. Lukanya sudah berhasil membuat Jungkook hancur bagai kotoran yang terbuang menjijikan. Sangat terluka.
Jamais Vu
Lucunya kenyataan itu seperti ini. Penghinaan, takdir katanya, menyedihkan, air mata, serba-serbi luka. Memang, hanya sebatang sigaret saja yang bersenang hati dihisap kuat oleh si Jeon. Telah dua bungkus dan sudah tiga jam ia menghabiskan batang penyakit jantung itu. Terduduk bagai gelandangan yang haus akan kebingungan, Jungkook bersandar malas di dinding halaman rumahnya, tidak ada niat yang kuat untuk melangkah masuk ke dalamnya.
Putung sigaret yang tersisa jari kelingking itu dibuangnya , diinjak nya dengan gegabah hingga memadamkan apinya. Mengepulkan sisa asapnya yang mengurung malas di dalam mulutnya, lalu tersenyum kecut. Menarik tas gendongnya yang merosot, lalu melangkah mendekati pagar rumahnya.
"Aku pulang, bu." Teriak Jungkook setelah pintu utama terbuka lebar olehnya. Menelusuri terang ruangan yang memasuki rentinanya. Melihat sudut sana-sini hanya untuk menemukan wanita paruh baya yang selama 19 tahun ini selalu ada untuknya.
"Oh, Jungkook, kau pulang? Ah, tepat sekali ibu membuat makan malam untukmu." Wanita paruh baya yang sibuk menenteng semangkuk soup itu muncul dibalik pintu dapur. Kedua sendalnya yang ringan sedikit menyusahkan gerak langkahnya, membuat Jungkook hanya terkekeh.
"Aku lapar, bu. Hari ini sangat melelahkan, aku merindukan ibu." Jungkook memeluk sang ibu yang sedang sibuk menata makan malamnya. Mengalungkan lengannya diantara ceruk leher wanita itu—ibu Song namanya.
"Kau manja, Jeon. Oh mana kakakmu? Dia tidak menjemputmu pulang?" Ibu Song mengahadapkan dirinya pada si bungsu.
Jungkook menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tidak bertemu dengannya. Mungkin ia sedang kuliah tambahan, bu." Gumamnya tersenyum, hingga menampakkan gigi kelinci itu yang kepalang imut. Hampir saja ibu Song gemas.
Namun, sebelum Jungkook menyentuh kursi meja makan, suara pintu yang terbuka membuat kedua presensi bernyawa ini melirik sosok yang lusuh dibalik pintu. Ibu Song tersenyum, seringai senangnya melihat tamu tersebut, membuatnya bergegas menghampiri.
"Yoon, kau pulang? Wah, ibu senang melihat kalian datang tepat jam makan malam." Dipeluk nya anak sulung dan segera menggiringnya pada meja makan yang dipenuhi hidangan lezat sekaligus makhluk satu itu. Yoongi hampir menusuk kedua bola mata si Jeon yang menyorot sinis.
Mereka terduduk bersama diantara satu meja. Kursi utama untung saja di duduki oleh ibu Song, sedangkan kedua putranya duduk bersebrangan. Rasanya atmosfer sekitar sedikit gelap, apakah ibu Song lupa menyalakan lampu? Sepertinya tidak juga.
"Ayolah, tidak baik membiarkan makanan terlalu lama. Ibu tahu kalian sangat lapar. Ayo, makanlah!" Ibu Song kembali melontarkan senyum hangatnya. Melirik satu persatu putranya yang memang hanya membungkamkan diri sedari tadi.
Namun, saat Jungkook meraih sendok makannya yang berdekatan dengan kedua lengan ibu Song yang sedang menaut di atas meja makan, netranya tidak sengaja menemukan segores luka besar serta panjang diatas kulit pergelangan tangan wanita tersebut. Hingga Jungkook bertanya, "Kau terluka, bu?"
"Ah, ini.. Aku tidak sengaja mengenai ujung meja ruang tamu. Kau tidak perlu khawatir." Ibu Song mengusap lembut surai anak bungsunya. Kembali menyunggingkan senyum yang lebih hangat dari musim panas.
Jungkook mengangguk.
Jamais Vu

KAMU SEDANG MEMBACA
Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔
Fanfic(END) Sempoyong hembusan angin sejuk, dimana sahutan perkenalan akan sebuah nama terlontar, menjadi pemicu pertama sebuah rasa yang tiba-tiba muncul di dalam benak kecilnya. Sederhana, "Aku mulai menyukainya." Lalu kemudian, perasaan itu semakin mem...