🌦Again
Sebuah penyakit tidak akan selalu buruk. Bohong, tetap saja penyakit menyakitkan, bahkan membuat pengidap nya jauh lebih gila.
Hanya terdengar dentuman jantung yang tidak berhenti berdegup dengan tempo sembarangan. Hanya terasa gigitan ringan dari lajur angin yang mengalun cukup cepat. Serta hanya ruangan tanpa gemerlap cahaya, bahkan di luar sana bulan enggan menyoroti sinarnya untuk masuk ke dalam.
Pandangannya mengerjap berulang kali, membuatnya melihat dengan jelas diantara sekitar yang kehilangan penerangan. Terbangun dengan susah payah dari posisinya yang tiba-tiba tertidur menyentuh lantai sedingin kutub. Meringis pada luka yang menggores dengan mengejutkan diatas telapak tangannya.
Luna menarik dirinya dengan sisa kekuatan yang ia miliki untuk berdiri dengan tumpuan kedua kaki. Kembali menelisik lebih jauh ruangan yang sedang ia huni. Hingga sebuah angin menabrakkan diri pada gorden abu-abu yang berada menghalangi sebuah jendela. Samar-samar sinar bulan mengizinkan Luna untuk menemukan jawaban dimana ia saat ini.
Kamar tidur? Lagi? Entahlah.
Kedua kakinya bergerak terseok-seok mendekati sebuah tempat tidur yang tanpa empunya. Hingga ia kembali melangkah menuju sebuah jendela yang terbuka, memantulkan temaram malam yang bahkan tanpa titik bintang diatasnya. Pusatnya tidak sengaja menemukan sesuatu yang menancap begitu kuat di kusen jendela, seperti besi yang cukup besar.
Dengan perlahan sekaligus hati-hati, Luna mendorong sedikit tubuhnya untuk lebih jauh menelisik besi seperti apa yang menancap seorang diri di tengah-tengah kusen jendela. Lalu, sesuatu kembali mengejutkannya, seorang pemuda menggantung lurus menuju ke bawah dasar dengan kedua pergelangan tangan yang terikat tanpa kesadaran diri.
Ia melangkah mundur, menjauh dari seseorang dibawah sana yang sedang mempertaruhkan nyawanya sendiri. Luna hanya mampu bergerak kebingungan, ia seperti kehilangan akal untuk melakukan sesuatu yang pantas dilakukan. Tidak mampu lagi untuk mencari sebuah hal yang masuk akal di dalam kepalanya. Luna mengigit-gigit kelima kuku jarinya dengan gemetar.
Kembali tidak sengaja, pandangannya menemukan sebuah kertas yang menggulung diatas tempat tidur, bercahaya merah layaknya sesuatu yang begitu penting. Luna meraihnya, membuka gulungan kertas itu dengan gegabah, berharap cemas jika itu mampu menyelamatkannya.
Halaman kertas tersebut sangat berantakan, huruf-huruf bertebaran tidak sesuai tempatnya. Luna tidak mampu berpikir untuk saat ini, apalagi untuk menyusun setiap huruf-huruf yang berada di atas halaman kertas tersebut. Namun, bagai didengar, huruf-huruf yang berantakan, menyusun dirinya sendiri hingga membentuk suatu paragraf.
Lagi? Astaga.
"Lakukan sesuai janjimu untuk menyelamatkannya. Selesaikan permainan ini dalam waktu sepuluh detik, jika kau berhasil, dia akan selamat, jika kau gagal, dia akan mati. Letakkan kotak itu pada jendela. Lepaskan sebuah kartu nama, jangan sampai ia mengetahui namamu, selesaikan."
Luna melirik cepat pada sebuah kotak yang kini berada digenggaman tangan yang terluka—secara tiba-tiba? Hingga menyebabkan ia kembali meringis kesakitan merasakan sentuhan yang kasar sedang mengenai lukanya.
Ia mengalihkan pandangan pada sebuah jendela. Disana ia menemukan tiga buah kotak merah yang menggantung dengan ketiga kartu nama miliknya. Tiga? Kotak? Tidak menutup kemungkinan ia sudah berada disini selama tiga kali dan ketiga kali itu ia gagal? Sungguh? Tapi ini—sangat asing.
Ia mendekati jendela tersebut, melangkah dengan kedua kaki yang terasa nyeri sekaligus tidak cukup kuat untuk menahan topangan tubuhnya, hingga ia harus berpegangan pada dinding. Ia mengamati ketiga kartu nama yang di dominasikan dengan namanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔
Fanfic(END) Sempoyong hembusan angin sejuk, dimana sahutan perkenalan akan sebuah nama terlontar, menjadi pemicu pertama sebuah rasa yang tiba-tiba muncul di dalam benak kecilnya. Sederhana, "Aku mulai menyukainya." Lalu kemudian, perasaan itu semakin mem...