Pt.22

307 55 1
                                    

🌦20cm

Hidup itu bukan seperti laut, mengalir mengikuti arus. Bagi Luna jika mengikuti arus itu mudah, maka ia sedari dulu juga sudah mengikuti langkah kakinya. Namun, namanya juga manusia, setan itu dimana-mana yang akan selalu menggodanya.

Jika hari itu, pria tua dengan kemeja yang tampan tidak menawarkan sebuah bayaran menggiurkan, Luna pasti akan menolak. Namun, lagi-lagi hanya namun, Luna menerima ajakan itu karena ia memang membutuhkan sekantung uang yang berlimpah untuk kehidupannya sekaligus ibunya yang sedang sekarat.

Lebih sialnya lagi, ia telah dibodohi oleh pria tua itu. Menikmati tubuhnya tanpa membayarnya. Lalu, pada akhirnya sang ibu meninggal hingga tersisa lah dirinya saja. Lagi-lagi sial, Luna mengiyakan ajakan pria tua itu untuk membawanya kerumah dengan alasan bahwa pria tua itu ingin membayar semuanya dengan menjadikan Luna sebagai anaknya.

Semua orang percaya dengan perkataan bajingan itu dengan embel-embel bahwa Luna adalah anak yang cerdas yang bisa mengangkat derajat keluarga Jung.

Sejak hari dimana semuanya terungkap secara gamblang, Luna merasakan hatinya semakin buruk. Luka lama yang seharusnya ia tutup, dengan mulusnya ia utarakan lagi dan sungguh sangat menyebalkan. Entahlah, jika Jungkook tahu tentang keadaan sesungguhnya dari kehidupan Luna, apakah pemuda itu masih akan mencintainya? Luna bahkan tidak bisa membayangkan betapa menjijikannya dirinya.

Sebenarnya saat ini jam istirahat, tapi rasanya malas saja untuk berkontak mata dengan Dami di kantin, perasaannya benar-benar hancur jika melihat Dami. Lantas, ia berjalan menyusuri koridor sepi dilantai atas dekat sebuah aula. Berusaha berpikir akan bagaimana kelanjutan kehidupannya nanti. Bagaimana pun rahasianya tertutup, suatu saat nanti pasti akan tercium juga, hanya saja Luna belum siap jika itu terjadi hari ini.

Beberapa kali panggilan telepon dari Jungkook tidak ia gubris, beribu pesan yang berdering juga masih ia hiraukan. Sepuluh menit saja untuk Luna sendirian, mungkin akan lebih baik. Kedua kakinya berhenti disebuah jendela besar yang memantulkan pemandangan luar sekolahnya, termasuk memantulkan taman belakang sekolahnya yang penuh kenangan bersama Jungkook. Tidak sadar bibirnya menarik simpul tipis.

"Akhhh!"

Sial, Luna merasakan jantungnya berdegup cepat ketika tidak sengaja mendengar suara yang sedang meringis kesakitan di dalam ruangan aula. Bahkan itu hanya sekali, setelahnya tidak ada lagi. Astaga, siapa itu?

Luna penasaran, ia menarik kakinya untuk melangkah mendekati ruangan tersebut. Kalau tidak salah, terakhir kali ia menginjakkan kaki disini adalah ketika ia bersama guru Kang tempo lalu. Degupan nya semakin menjadi-jadi jika mengingat hal tersebut.

Perlahan Luna membuka pintu ruangan aula hingga menimbulkan suara decitan nyaring. Ia bergegas masuk, hingga satu detik pertama nafasnya tertahan ketika netranya menemukan dua presensi dengan salah satu sudah tidak bernyawa.

"Ya! S-siapa kau? A-apa yang kau lakukan pada guru Kang?" Luna berteriak, membuat seseorang yang terduduk disamping presensi guru Kang, lantas berbalik.

Luna bisa melihat manusia itu tersenyum karena kedua matanya yang menyipit. Pakaian yang digunakannya sangat hitam-hitam, dengan hoodie hitam, masker hitam, semuanya. Walau ia tidak bisa melihat jelas bagaimana wajah itu, namun sepertinya Luna sangat mengenal sorot pandang matanya. Bahkan rasanya Luna ingin menghindar saja untuk saat ini, namun sial kakinya membeku ditempat.

Luna mengalihkan pandangannya pada sesuatu yang digenggam orang itu. Pisau dengan gagang silver, benda yang sama saat ia lihat dibelakang sekolah hari lalu. Juga itu berlumuran darah segar. Sial, apakah ia membunuh guru Kang? Bagaimana bisa? Apa urusannya dengan guru Kang?

Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang