🌦Wilderness
Terkadang untuk mencintai satu kehidupan yang tidak berkelas dan penuh kesengsaraan rasanya memang tidak pantas saja untuk dicintai. Katakan, apa yang perlu dicintai dari kehidupan yang tidak berkelas, sama sekali tidak ada bukan. Lalu, untuk apa bertahan?
Bertahan? Mungkin dalam susunan bahasa Inggris, bertahan adalah kata kerja. Namun, baginya bertahan adalah kesulitan. Untuk sekedar membuat kedua kaki bertumpu lurus, itu nihil, apalagi jika bertahan pada kehidupannya yang jauh dari nilai seratus.
"Kau tertidur terlalu lama, Luna. Bangunlah, aku tidak bisa pulang." Rintih Jungkook yang sedari tadi berusaha membangunkan Luna yang seperti putri tidur.
Kepala gadis itu terus bersandar lesu pada pundak kiri Jungkook. Hampir empat jam lamanya mereka berdiam diri pada padang rumput taman belakang sekolahnya. Seharusnya, mereka sudah pulang karena beberapa menit lalu lonceng sekolah mereka bergeming keras, menandakan sudah untuk waktunya pulang. Dasar sial Jungkook tidak mau meninggalkan gadis itu seorang diri, pada akhirnya ia hanya menjadi tumpuan bantal.
"Luna, kau baik-baik saja? Aku tidak mengerti narkolepsi, tapi mungkin aku akan mengerti sekarang," Jungkook tersenyum samar. Sekilas melirik belakang pohon yang sedang disandarkannya, entahlah ada yang memperhatikan. "Kau suka tidur sembarangan, apa aku benar?"
Lagi, Jungkook melirik dengan serius belakang pohonnya. Sejujurnya memang tidak ada siapapun, namun perasaanya mengatakan hal lain. Mungkin memang hanya perasaanya saja, ia tidak mau terlalu tenggelam dalam pikiran negatifnya.
Jungkook meraih ponselnya dari dalam saku celana seragam sekolahnya. Dilirik waktu yang hampir petang, mau tidak mau Jungkook harus pulang. Bayangan ibu yang tengah menunggu untuk makan malam, terngiang jelas diantara pikirannya yang bimbang.
"Kau menyusahkan ya?!" Sambil menggeram kesal, Jungkook meraih perlahan tubuh Luna yang masih tertidur di pundaknya. Berusaha membopongnya walaupun sebenarnya tidak terlalu ringan.
Ia meraih tas miliknya dan juga tas milik Luna, diletakkan berantakan diantara tubuhnya. Melangkah menjauhi sandaran pohon yang menenangkan. Namun, untuk satu langkah pertama dan berbelok, Jungkook dibuat terkejut oleh sosok pemuda seukurannya yang berdiri tepat dihadapannya secara tiba-tiba.
"Hoseok hyung?!"
Senyum samar yang ditunjukkan Hoseok pada Jungkook, sedikit membuat—mungkin atmosfer yang memang sudah menuju petang semakin gelap. Itu terkesan memaksa. Hoseok melangkah mendekati Jungkook, "Jeon, kau bersama Luna?"
Entah sekedar refleks atau spontanitas karena angin menghantam tubuhnya, kedua kaki Jungkook melangkah mundur dalam jarak satu saat Hoseok mendekat.
Sejujurnya, kedua lengan yang menahan beban seorang gadis itu semakin melemah. Jungkook kembali membenahi tubuh Luna yang merosot sejenak. "Aku bersamanya sejak pagi. Dia tertidur sangat lama dan aku tidak mengerti kenapa."
"Kau bisa berikan Luna padaku? Aku harus membawanya pulang." Hoseok mengadahkan kedua tangannya, bersiap membopong tubuh Luna.
Jungkook hanya menganggukkan kepalanya. Ia teringat akan ucapan Luna yang bermain permainan bersamanya tadi, tentang seorang kakak yang ternyata adalah Jung Hoseok, temannya sendiri.
"Ku pikir kau tidak punya adik, kau tidak pernah menceritakannya," Jungkook memberikan Luna pada Hoseok. Membiarkan pemuda itu meletakkan Luna di punggungnya, sedangkan tas milik gadis itu di letakannya di depan tubuhnya.
"Aku akan menceritakannya nanti, hanya saja kau sudah lebih dulu mengenalnya. Baiklah, terima kasih Jeon." Hoseok tersenyum sekaligus berlalu menjauh dari Jungkook.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔
Fiksi Penggemar(END) Sempoyong hembusan angin sejuk, dimana sahutan perkenalan akan sebuah nama terlontar, menjadi pemicu pertama sebuah rasa yang tiba-tiba muncul di dalam benak kecilnya. Sederhana, "Aku mulai menyukainya." Lalu kemudian, perasaan itu semakin mem...