Pt.1

3.2K 204 31
                                    

🌦Meet

Takdir katanya?

Suara riuh gemuruh detak jantung yang bersahutan membuatnya sulit untuk sekedar membuka kedua kantung mata yang merapat. Mengalirkan sebuah keringat dingin melewati kedua dahi. Mendorong kuat pada dirinya yang berusaha keluar mencari ruang nyata.

Bahkan ia tidak begitu akan melupakan bahwa musim dingin masih menyerang dunianya. Entah mengapa pengap dan panas menyelimuti setiap sisi inci pada tubuhnya. Tidak mungkin untuk begitu saja merelakan dingin pada musim panas, kan? Tidak mungkin Tuhan memudahkan musim panas memasuki masa dimana seharusnya dingin yang berada di antara bulan Januari ini, Febuari yang memang seharusnya berakhir.

Hingga ia memutuskan untuk memaksa dirinya keluar dari sebuah dunia yang bahkan ia tidak tahu dunia seperti apa yang sudah ia alami. Ia menarik dirinya dengan gegabah, sempat berteriak, namun tidak begitu lama. Mengatur deru nafas yang seperti tertahan di dalam sana.

Pusatnya menemukan Kang Dami yang sedang menatapnya khawatir. Dengan sudut yang seperti bertanya-tanya tentang apa yang terjadi padanya. Choi Luna hanya mampu tersenyum kecut, lalu beralih mengenggam punggung tangan Dami.

"Jangan beri tahu Hoseok aku tertidur lagi." Bisik Luna dengan sebuah jari telunjuk yang berada di depan bibirnya, senyum manis serta kedipan kedua mata meluncur menunjukkan pada salah satu teman sebangku nya itu.

Hanya deheman singkat, sekaligus anggukan kecil dimana Dami membalas ucapan Luna. Situasinya sedikit kurang sehat untuk musim dingin yang seharusnya dinikmati oleh para penikmat putih. Kembali memfokuskan pada tokoh utama yang kini sedang beradu paragraf di depan sana, dengan tangan yang sibuk menggores tinta hitam diatas papan halus. Kelihatannya tidak ada yang menyadari jika Luna tertidur karena penyakitnya kembali berulah.

Penyakit? Ya, katanya Narkolepsi.

"Luna, seragammu berdarah?"

Tiba-tiba Dami kembali berbisik, menunjuk dengan gemetar pada seragam putih milik Luna yang memiliki noda merah disisi pinggangnya. Tentu terkejut, lantas Luna melihat itu, menyentuhnya hingga noda merah seperti darah memenuhi permukaan telapak tangannya.

Bahkan Luna tidak merasakan denyutan mengerikan di antara kedua pinggangnya. Tidak ada sakit, perih, atau cubitan yang biasanya terjadi jika bagian tubuh mengalirkan sebuah darah segar. Ada yang aneh dalam dirinya yang tidak biasa.

Jamais Vu

Hanya gemuruh nafas yang terdengar diantara dirinya dan juga bayangannya pada pantulan sebuah cermin. Pikirannya berkelana jauh menyusuri setapak untuk mencari jawaban tentang semua hal yang terjadi padanya.

Berulang kali—bahkan ratusan kali, ia terus memeriksa bagian tubuh disisi kanannya, berpikir bahwa sebenarnya memang perutnya terluka, namun hanya nihil yang ia dapatkan. Tidak ada luka, goresan atau bahkan robekan yang menyakitkan. Lalu, mengapa seragamnya bernoda merah seperti darah? Darimana ia berasal?

Pada akhir pikirannya, ia memutuskan untuk kembali ke kelas. Jam makan siang akan segera berakhir, ia tidak mau melewatkan satu materi saja. Langkahnya mengayun lambat, keluar dari toilet wanita yang memiliki cahaya redup, dengan terus menyentuh kesal ujung seragam yang bernoda merah itu.

Tubuhnya kehilangan sebagian kekuatan karena penyakitnya yang membawanya tertidur dengan lelap atau sebenarnya membawanya tertidur dengan tidak nyaman? Hu, selalu mengutuk.

Luna melangkah melewati beberapa koridor yang sepi? Bahkan beberapa cahaya tidak terlihat nyawanya. Luna yakin masih banyak waktu untuk jam belajarnya, tidak mungkin kan sekolah membubarkan diri begitu saja tanpa alasan yang jelas, dimana yang lainnya? Mengapa hanya suara riuh angin musim dingin dan segelintir cahaya yang terang di sudut koridor lain?

Luna menghentikan langkahnya, memutari seluruh pandangan yang mengepungnya dengan kegelapan. Hingga pusatnya berhenti tepat di sebuah loker yang berjajar dengan indah, loker yang memiliki cahaya lampu seorang diri saja, tanpa berniat berbagi dengan koridor lain? Ya! pelit sekali.

Entah dorongan darimana, Luna memutuskan untuk melangkah mendekati cahaya lampu di atas loker silver itu. Perasaanya berdenyut dengan cemas, jantung di dalam sana menggebu melebihi batas wajar, pikirannya hilang akal untuk sekedar berpikir positif.

Namun, untuk miliyaran kalinya, Luna kembali menarik kakinya untuk berdiam di tempat setelah netranya menemukan seorang pemuda berjalan santai mendekati loker tersebut. Wajahnya yang memiliki garis tegas, sekaligus seperti terik fajar diantara salju mengingatkannya pada satu hal yang bahkan tidak bisa ia ingat dengan jelas hal apa yang terjadi sebelumnya.

Topi yang menempatkan diri di atas kepala pemuda itu dengan gaya snapbacknya yang keren, membuat Luna memuji betapa sempurnanya sebuah musim panas disana. Tidak terasa, kedua sudut bibirnya menarik garis simpul yang tipis, euphorianya meletup bagai pop corn yang siap tempur, itu lucu.

Mungkin pemuda itu tahu tentang cahaya disekitar koridor yang tiba-tiba meredup dengan mengejutkan. Luna memutuskan untuk mendekati pemuda disana, mempersiapkan susunan kalimat yang tepat untuk pertanyaannya. Luna mencoba menyapanya, "Permisi, hey!"

Kakinya bergerak berlari dengan terus berteriak karena sedari tadi pemuda itu tidak mengalihkan pandangannya dari loker miliknya.

Setelah cukup dekat, Luna kembali bersuara, "Apa kau tahu mengapa—" Bagai tercekat sebuah rantai, ucapan yang tersusun dengan baik di dalam kepalanya tiba-tiba berantakan setelah apa yang baru saja ia lihat, hal yang begitu cepat terjadi di depan matanya.

Luna melihat pemuda itu yang terhalang sebuah pintu loker, bergerak seperti sedang kerasukan. Mengaduh sakit dan berteriak dengan sangat kencang membuat Luna sulit untuk berpikir jernih. Kedua kaki yang seharusnya dapat bergerak menjauh, melangkah satu saja terasa begitu berat. Cemas, takut, khawatir, menjadi kesatuan yang melengkapi perasaannya saat ini.

Hingga pada waktu berikutnya, pandangannya menemukan pemuda itu terdorong kebelakang, terjatuh dengan goresan besar diantara bagian wajahnya yang sempurna. Bahkan goresan-goresan mengerikan itu membuat anak sungai dengan darah disekitarnya. Luna bisa melihat bagaimana wajah tampannya berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan. Luna kehilangan akal sehatnya untuk sekarang, ia hanya mampu menangkup bibirnya yang gemetar.

Lagi, mata kepalanya sendiri menyaksikan sebuah hal yang bahkan memang tidak masuk di akal. Pisau melayang? itu sangat gila, sangat gila. Namun, memang pisau itu melayang, menyudutkan sasaran pada perut pemuda itu. Hingga Luna melihat ujung pada pisau memilih untuk merobek kasar perut pemuda yang sebenarnya masih mampu tersadar, kembali mengoyak wajahnya dengan tidak sopan.

Anak sungai darah itu semakin meluas, mengenai alas sepatunya yang berawarna putih. Luna menangis, berteriak semampunya dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya.

"Hentikan! Hentikan, aku mohon. Aku akan menyelesaikan misinya, beri aku kesempatan lagi, aku mohon!"

Luna menggeram marah. Sesegukannya membuat nafasnya tertahan dengan tempo yang tidak mampu mengalirkan nafas seperti biasanya. Jantungnya bergerak semakin cepat, membuat ketakutan yang ia miliki semakin besar. Luna kembali memutuskan untuk berteriak, "Jangan melukainya, jangan! Aku mohon."

Entah apa ini, dunia seperti apa yang sedang ia pijaki saat ini, namun sungguh dunianya sangat menyebalkan. Berulang kali melukai perasaannya, membuatnya terkejut dengan hal yang tidak bisa masuk dalam teorinya dan bahkan membuat ketakutan yang berlebihan.

Luna tidak tahu apa yang baru saja ia loloskan dari bibirnya, permohonan gila yang tiba-tiba mendesaknya untuk berucap, padahal ia tidak tahu seperti apa misi, seperti apa kesempatan, apa yang sudah ia lakukan hingga ia memohon untuk diberi kesempatan lagi.

Dunia memang tidak waras.

Jamais Vu

Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang