Pt.27

346 50 4
                                    

🌦Grey

Terkadang bermain-main itu juga sebenarnya menyenangkan. Apalagi jika dalam hidup yang bahkan bagai kopi hitam pekat, tidak ada putih atau warna cerah lainnya. Pasti sangat dibutuhkan sebuah permainan agar kehidupan tidak terlalu monoton.

Apakah permainannya harus membunuh juga?

Satu bulan berlalu sejak hari dimana sebuah kehidupan di penuhi oleh derita dan darah. Hingga benar-benar apa yang diucapkan Jungkook terjadi juga. Satu bulan tanpa kehadiran Jungkook, membuat Luna harus melawan ketakutan asing yang terus menyergap langkahnya setiap saat. Jungkook menghilang dan tidak pernah menunjukkan presensi nya walau sebatas batang hidungnya yang cantik.

"Maaf, aku tidak bisa menemukan Jungkook, Luna."

Hanya menunduk dan mendengarkan penuturan dari suara berat yang menggema melewati gendang telinga itu. Suara berat yang selama ini selalu menjadi teman Luna, dikala Luna mulai merasa dunianya menghantui sepanjang malam.

"Aku baik-baik saja, Yoon. Terima kasih kau sudah membantuku untuk mencari Jungkook." Luna berdiri dari bangku taman yang sepi.

Ia harus pergi ke sekolah, ia khawatir Hoseok akan mengadu hal ini pada ibu jika Luna ketahuan membolos lagi. Sudah cukup bagi Luna kehilangan Jungkook, ia tidak mau hidupnya semakin buruk hanya karena wanita sialan itu memukulnya lagi.

Yoongi menahan lengan Luna, "Hubungi aku jika kau membutuhkanku. Aku tahu kau sedang dalam masalah." Ujar Yoongi dengan sebuah tatapan yang bahkan sulit untuk Luna mengerti akan maksudnya. Luna hanya mengangguk sekaligus tersenyum, perlahan melepaskan genggaman pemuda dengan kulit bagai susu manis itu.

Masalah? Tentu saja. Selama sebulan ini semua orang memperlakukan Luna begitu bebas. Entah siapa yang sudah membocorkan rahasia Luna kepada khalayak di sekolahnya bahwa ia sudah bukan gadis lagi. Hanya satu kemungkinan, itu Hoseok. Namun, sialnya, Hoseok tidak mau mengaku juga kalau sebenarnya ia yang membeberkan segala hal tentang Luna. Ah, Luna benar-benar sakit.

Mengingat seseorang yang masih tidak diketahui identitas itu, terus berulah, berusaha untuk menyakiti Luna bagaimana pun caranya. Mimpi-mimpi asing yang bagaikan pertanda, tidak pernah muncul kembali. Luna hanya berharap pada dewi fortuna. Jika memang ia harus mati, maka Luna akan menerima itu. Toh, lagipula untuk apa juga ia tetap hidup jika tanah saja menghindarinya.

"Hai, Jalang."

Mencoba untuk menutupi telinga, memang rasanya juga percuma. Suara-suara tidak waras itu akan terus menggema di telinganya. Bahkan sepanjang koridor ini, ia tidak bisa menghitung berapa banyak suara yang mengoceh dengan embel-embel jalang. Luna bukan jalang, sama sekali bukan.

"Hai, Luna si—"

Lagi-lagi de javu. Luna merasakan kedua telinganya di tutupi oleh telapak tangan yang hangat. Luna tahu itu tidak mungkin Jungkook, karena perasaannya mengatakan seperti itu.

"Ikuti aku."

Hoseok, yap itu Hoseok. Ia membawa Luna menjauh dari kerumunan manusia di sebuah koridor. Menggiring nya menaiki tangga menuju lantai atas atau sebenarnya atap sekolah yang sepi. Entah apa yang akan dijelaskan Hoseok kemudian, Luna hanya mengikuti.

Hingga mereka menapaki sebuah alas yang berdebu di sebuah atap. Semilir angin juga menyambut mereka yang datang terburu-buru. Hoseok cepat melepaskan kedua tangannya dari telinga Luna. Menunjukkan presensi nya dihadapan Luna yang bahkan tidak melihatnya—ia menunduk terus menerus.

"Aku tetap akan mengatakannya, itu bukan aku, Luna. Aku tidak membeberkan apapun kepada semua orang disini. Aku tidak mungkin melakukan itu, tolong percaya padaku."

Hoseok mencoba meraih pergelangan tangan Luna, namun dengan cepat gadis itu menepis nya. "Kau berbohong! Kau pikir aku akan percaya? Jika bukan kau, lalu siapa? Mengapa mereka tahu?"

"Sungguh, aku tidak melakukannya, Luna."

Luna hanya menggelengkan kepalanya. Membalas apa yang diucapkan Hoseok, rasanya hanya sia-sia semata yang kosong. Luna membenci Hoseok.

Ia perlahan melangkah mundur, ia tidak peduli lagi pada Hoseok yang terus-menerus berbohong padanya. Hingga ia sedikit berlari menuju pintu keluar, namun dicegah oleh gumaman Hoseok yang rendah.

"Kau berubah sejak bersama Jungkook, Luna." Ujar Hoseok dengan pandangan yang dingin sedang menatap punggung Luna disana. "Kau tidak pernah peduli padaku lagi. Kau juga tidak bisa mempercayai ku lagi, Luna. Kau berubah."

Luna berbalik menatap Hoseok yang kini melangkah mendekati Luna. "Jangan libatkan Jungkook dalam masalah ini. Dia sama sekali tidak tahu." Jawab Luna dengan dua tetes air mata yang mengalir dari kelopaknya.

Luna tidak begitu peduli pada Hoseok disana, ia berusaha menarik tuas gagang pintu. Namun, belum sempat itu terjadi, pundak Luna didorong paksa oleh Hoseok hingga punggung gadis itu membentur dinding yang keras. Luna meringis merasakan Hoseok menekan kedua pundaknya.

"Apa kau tidak bisa melihat perhatianku selama ini kepadamu, Luna? Aku mencintaimu, bukan sebagai adikku tapi sebagai wanita."

Hoseok berteriak dengan ekspresi yang begitu marah. Sialnya, Hoseok bukan mendapatkan jawaban yang menyenangkan, namun ia mendapatkan jawaban yang jauh dari menyenangkan. Luna begitu cepat menampar pipi Hoseok.

"Kau memang tidak waras! Kau keterlaluan, Hoseok. Kau tidak pantas untuk menyukaiku, kau sangat tidak pantas. Jadi, enyahlah!" Tungkas Luna dengan suara yang melebihi suara Hoseok. Bersama dengan suara seraknya karena tangisnya pecah juga pada akhirnya.

Luna berusaha melepaskan kurungan Hoseok yang menghalangi setiap sisi tubuhnya. Sayangnya, Luna tidak mampu itu karena kini Hoseok bersikap liar. Menarik tengkuk Luna begitu kasar, dan mencium bibir itu dengan brutal. Luna mencoba menahan, tetapi Hoseok memiliki tenaga yang jauh lebih kuat darinya. Bahkan Hoseok tidak segan-segan untuk melumat bibir ranum Luna begitu keterlaluan. Air mata itu semakin menurun, bagai anak sungai yang deras.

Hoseok beralih mencium leher Luna, membuat Luna merasakan sesuatu yang tidak asing di dalam dirinya. Luna tetap berusaha menahan Hoseok untuk tidak bertindak terlalu jauh. Sialnya lagi, Hoseok membuka satu persatu kancing seragam Luna. Gadis itu semakin menangis terisak karena perlakuan Hoseok yang kasar.

Hingga tiba-tiba tubuh Hoseok terdorong ke depan, seperti memeluknya namun tidak lama kemudian presensi itu lemas tak berdaya. Dilihatnya siapa yang sudah menjadi dewi fortuna bagi Luna, itu Kim Taehyung.

"Brengsek!"

Luna yang masih menangis, tengah berusaha menutupi tubuhnya yang sudah setengah terbuka. Luna melihat tubuh Hoseok yang terkulai lemas dibawah sana. Pingsan? Semoga saja.

"Ya! Tutupi itu, aku tidak akan melihatnya." Titah Taehyung yang saat ini sedang menutupi kedua matanya dengan telapak tangannya sendiri.

Luna bergegas menutupi kembali tubuhnya. Merapihkan seragamnya yang berantakan, sesekali sesegukannya yang tidak kunjung reda juga. "Terima kasih, Taehyung."

Taehyung hanya menganggukan kepalanya, "Ayo cepat pergi, dia akan cepat sadar. Tendangan ku bukan tendangan yang ahli. Sana, cepat pergi." Ucap Taehyung sembari tangannya sibuk menyuruh Luna untuk cepat menjauh.

Akhirnya, Luna bisa menjauh dari Hoseok yang memang sudah kehilangan kendali di dalam dirinya. Luna tidak tahu jika tidak ada Taehyung, mungkin tubuhnya akan kembali menjadi luka lama. Luna tidak mau hal tersebut terulang lagi, itu sudah cukup buruk bagi Luna.

Hidupnya benar-benar berantakan.

Jamais Vu

Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang