Pt.14

352 53 3
                                    

🌦Strange

Bukan, bukan begitu untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya diam dan menangis, membuang tenaga dan pikiran kosong. Katanya tidak harus dipikirkan dan lebih baik dilupakan, ah itu juga salah. Wajar saja manusia, ingin bersedih karena masalahnya yang tak kunjung epilog, jangan melarangnya menangis, mereka juga manusia. Beri kekuatan, bukan menjatuhkan. Lagipula masalah tidak akan menjadi epilog bila pemerannya saja hanya menangis. Bergerak? Maju? Tidak.

Benar saja, dasar Luna yang salah tempat untuk tertidur. Bersandar pada pohon di belakang sekolahnya, tertidur sampai satu mata pelajaran lenyap begitu saja. Ah sial, Luna sudah banyak membolos dan sekarang ia melakukannya lagi. Mati sudah bila ibu tahu kebiasaannya saat ini. Namun, ia begitu karena keadaan yang memaksanya untuk membolos, bukan atas dasar kemauannya. Terserah.

"Kepalaku sakit." Luna menyentuh dahinya. Rasanya kepala itu seperti tengah ditunggangi oleh benda yang sangat berat, seperti memaksanya untuk terus tertidur.

Sebatas kilas, Luna tiba-tiba meraba bibirnya yang berdenyut begitu saja. Entah karena tersengat lebah atau serangga lainnya? Luna tidak tahu, namun sungguh bibirnya berdenyut tidak biasa. Lekas, Luna menarik tubuhnya secara perlahan karena narkolepsinya menyerap beberapa energi yang ia miliki. Meraih tas ranselnya dan berjalan terseok-seok, berencana untuk kembali ke kelas sebelum guru Kang lebih dulu mendahuluinya.

Hingga pada satu titik yang membuatnya berhasil terkejut, bola matanya yang membesar ketakutan sekaligus tumpuan kakinya yang semakin lemas. Atensinya berhasil menemukan satu sosok—tidak juga, iblis? Tidak juga, itu seperti manusia biasa, namun pakaiannya terlihat begitu hitam.

Siapa itu? Mengapa menatapku? Itu pisau?

Hatinya lebih berisik untuk saat ini. Melangkah mundur perlahan karena orang yang entah apa itu mendekatinya bersama sebilah pisau lipat yang sengaja ia tunjukkan. Sorot nya terkesan lebih menyeramkan dari pembunuh bayaran. Luna kepalang takut, ia berusaha melangkah mundur lebih cepat sembari tetap berhati-hati.

Tunggu sebentar, aku ingat pakaian serba hitam itu. Orang itu salah satu yang mengejarku dan Jungkook beberapa hari lalu, atau kah.....

Entah benar atau tidak dugaannya yang menebak di dalam hati sana. Namun, untuk saat ini lebih baik Luna benar-benar melarikan diri sejauh mungkin, karena sosok itu lebih cepat dari pembalap terkenal yang siap kapan saja menerkam Luna. Bodohnya, Luna bukan berlari mendekati lingkungan sekolah, ia malah menjauhi bangunan itu dan masuk ke dalam rentetan pohon yang berjajar secara acak.

Tuhan, tolong selamatkan aku.

Lagi, Luna dibuat terkejut dengan kehadiran pemuda yang secara tidak sengaja di tabraknya. "Jimin?" Luna mengerutkan keningnya.

"Choi Luna? Kau sedang apa disini?"

"Jimin, tolong selamatkan aku. Ada pria atau entahlah siapa, dia mengejarku." Ucap Luna tergesa-gesa sembari berusaha menunjuk ujung sana yang tidak terlihat apapun.

Jimin mengikuti arah yang Luna tunjukkan. Namun, kedua mata sipitnya tetap tidak menemukan apapun yang asing. Jimin beralih melirik Luna, "Tidak ada apapun, Luna. Lihat! Tidak ada yang mengejarmu." Ucap Jimin menenangkan Luna, sembari memegang kedua pundak gadis yang saat ini tengah gemetar hebat.

Ini aneh.

"Aku akan mengantarmu kembali ke sekolah. Tenangkan dirimu, Luna." Jimin menarik pergelangan tangan Luna untuk mengikutinya menuju gedung sekolah yang cukup jauh dari pandangan.

Walau bagaimana pun, untuk apa yang sudah ia alami, untuk apa yang sudah ia lihat, Luna sangat yakin jika itu bukan sekedar imajinasi setengah sadarnya. Ia benar-benar sangat sadar dan tidak tertidur dalam pengaruh penyakitnya. Luna begitu percaya bahwa seseorang itu memang mengejarnya. Namun, bagaimana bisa hal tersebut menjadi hilang lenyap tanpa sisa.

Jamais Vu

Kedua kaki itu dibawa melangkah perlahan. Mencari seorang gadis yang kian lama tidak ada kemunculan batang hidungnya. Jangan bilang gadis itu tertidur sembarangan, sangat menyusahkan memang. Lima belas menit, Dami menyusuri lingkungan sekolah hanya untuk menemukan Luna yang entah sedang berada dimana.

Hingga Dami memutuskan untuk mengitari belakang sekolahnya yang konon katanya memiliki energi negatif soal hantu. Namanya juga konon, hanya sekedar menakut-nakuti agar siswa tidak banyak membolos dan beralih pada taman belakang sekolah. Berdecak kesal karena beberapa daun kering dan ranting yang berjatuhan menghalangi kaki-kakinya.

"Luna, sebenarnya kau dimana? Guru Kang mencarimu, bodoh. Jangan bilang kau tertidur, Luna." Gumam Dami dengan jengkel. Menendang sebal pada yang menumpuk di tanah.

Untuk yang menahan kakinya saat ini, bukan daun ataupun ranting, sepertinya sangat berhasil membuat Dami tertegun diam mematung bagai tak bernyawa. Pandangannya menajam, membesar pada apa yang sedang ia temukan disana. Bukan hantu, lebih menyeramkan mungkin.

"Jeon Jungkook? Kau kah itu?" Dami meremas ujung roknya dengan gemetar. Berulang kali mengedipkan kedua matanya hanya untuk memastikan bahwa apa yang ia temukan hanya sebuah halusinasi sia-sia. Namun, sayang itu memang kenyataannya.

Dami melihat seorang pemuda yang sangat ia kenali sedang berjongkok sejajar dengan gadis yang tertidur ditemani sandaran pohon. Itu Luna, Choi Luna. Walaupun gadis itu membelakangi Dami, tetap saja Dami mengenalnya.

"Jeon, kau... Mencium Luna?" Terkesan ragu hanya untuk bergumam. Hancur sudah pertahanan seorang Dami yang memang mengagumi Jeon Jungkook disana.

Melihat pemuda itu memiringkan kepalanya, terlampau sangat dekat dengan wajah Luna, bahkan tanpa jarak. Dami sudah tahu jika mereka melakukan sesuatu—seperti berciuman? Mungkinkah mereka? Atau sebenarnya hanya Jeon Jungkook yang melakukan? Tetap saja, bagi hati disana itu menyakitkan.

Dami memutuskan berlari menjauh dari apa yang akan merusak perasaannya. Ia lebih memilih tidak menghampiri Luna dan membiarkan gadis itu tidak masuk kelas. Sungguh, Dami benar-benar sangat hancur.

Jamais Vu

"Uh, Jeon Jungkook, kau tersenyum?"

Namjoon itu bocor, berisik seperti nyamuk yang berteriak jelas disebuah dengungan telinga. Sialan, sejak kapan Jungkook menemukan teman seperti itu. Katakan saja Jungkook menyesal memilikinya.

Namjoon terlihat berjalan mendekati Jungkook yang tengah terduduk santai di atas kusen jendela ruang kelas. Memandang penuh pada dunia luar yang jauh lebih mengesankan untuk saat ini, menghiraukan si berisik yang berulang kali menyenggol pundak Jungkook. Walau Namjoon dan Jungkook berbeda kelas, selagi jam istirahat mereka selalu bersama.

"Jeon.. Kau tahu," Tiba-tiba Namjoon kembali bersuara. "Aku melihat Jimin bersama Luna, gadis di kelasku." Tambahnya lagi dengan bersemangat yang aneh.

Jungkook melirik Namjoon, mendengarkan penuh apa yang akan di suarakannya lagi. Terkadang memang Namjoon seperti wanita yang senang bergosip, namun untuk hal ini membuat Jungkook sangat tertarik mendengarnya.

"Aku tahu kau sudah mengenal gadis itu, kan? Bagiku Jimin terasa begitu aneh bila bersama Luna." Sambung Namjoon diiringi kekehan yang ringan. "Mungkinkah Jimin menyukai Luna?" Namjoon berbisik perlahan, membuat Jungkook hanya mendengus malas.

"Kau lupa? Jimin tidak menyukai gadis yang aneh. Luna sangat aneh dan menurutku itu bukanlah kriterianya.." Tungkas Jungkook. Beralih menurunkan kakinya yang sejak tadi menekuk di atas jendela ruang kelasnya. Enggan mengadah sekedar melihat Namjoon.

"Satu lagi, Jeon. Aku melihat wajah Luna yang lebam dan bibirnya yang berdarah. Kau tahu dia kenapa?" Tanya Namjoon ikut terduduk di jendela sebelah Jungkook. Menatap Jungkook yang sedang menunduk memainkan kedua kakinya gemas.

"Aku tahu, tapi aku tidak tahu sebabnya. Mungkin terjatuh," Jungkook lantas berdiri, menepuk-nepuk celana seragamnya yang kotor. Namun, hampir saja melangkah satu, tiba-tiba ada desakan yang asing yang memaksanya untuk mengingat sesuatu. "Jung Hoseok?!" Diliriknya Namjoon dengan bola matanya yang membesar, ia terkejut.

Jamais Vu

Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang