Pt.29

321 51 6
                                    

🌦Spoiler

Sama sekali tidak kembali. Luna tahu ia pasti akan menerima akibatnya jika meninggalkan kelas setelah tiga mata pelajaran ia lewati begitu saja. Siapa peduli juga, kan? Luna hanya membutuhkan waktu untuk sendirian saja. Menjauh dari khayalayak yang mengganggunya.

"Hai ibu, maaf aku datang terlambat hari ini."

Luna menurunkan tubuhnya di tumpukan tanah dengan rerumputan yang menutupinya. Bersama batu nisan yang cantik, Luna menyodorkan sebatang mawar putih kesukaan beliau.

"Selamat ulang tahun untukku, bu." Luna tersenyum memandangi tempat tinggal yang mungkin tidak begitu nyaman disana bagi ibunya—ibu kandungnya.

"Padahal hari ulang tahunku yang pertama, namun pemuda itu tidak lekas memberiku hadiah, bu. Jungkook namanya. Mungkin kau melihatnya saat berkeliling, kan? Yap, dia tampan, bu." Gumam Luna sedikit terkekeh pada kalimat terakhir.

Luna meraih kembali tangkai bunga mawar putih tersebut. Di liriknya bagai terpesona pada keindahannya, senyumnya merekah sempurna. Pandangannya tidak sengaja menemukan satu duri yang mungkin saja itu tertinggal disana. Ia sedikit menyentuhnya, lalu netranya kembali beralih pada mayat di dalam ilang lahat yang tenang.

"Lily tidak bisa menjadi gadis yang baik, bu."

Hingga satu tetes darah mengalir dari lapisan kulit jari telunjuk Luna yang mendorongnya untuk menyentuh duri tersebut. Garis kedua sudut yang indah tertera di balik wajah—Luna, diiringi renyahan sebuah kekehan menggelikan.

Jamais Vu

Selama ia mematung bagai tak bernyawa, hanya bersedia menatap kosong pintu berwarna cokelat yang mewah, pikirannya berkelana pada setiap sekon kehidupan yang lalu. Kebisingan akan suara wanita tua menyebalkan, tidak berharganya seorang gadis seperti dirinya dimata Hoseok dan teman yang hilang bagai ditelan tanah.

Walau perlahan Dami menghampirinya dan selayak merangkulnya, namun bagi Luna itu hanya peran yang diperankan. Luna sama sekali belum bisa percaya akan seorang Kang Dami. Ya, padahal gadis itu terus menerus berusaha menghubunginya, mengirim pesan seperti seorang ibu yang khawatir, Luna masih menutupi pintu maafnya. Biarkan saja, badai juga membutuhkan waktu untuk menghilang.

Perlahan, namun tetap berhati-hati, Luna memasuki singgasananya yang bagai hutan belantara yang kesepian. Cahaya redup dari balik lampu yang menyorot, padahal diluar sedang mendung dan sepertinya Hoseok belum pulang. Lalu, siapa yang peduli? Bajingan itu lebih baik tidak ada di hadapan Luna.

Dan keberuntungan berikutnya adalah wanita menyebalkan itu juga tidak ada. Woah, Luna harus cepat pergi ke kamarnya agar mampu mengurung diri dibalik selimut yang hangat.

Kedua kakinya berusaha bergerak tidak begitu cepat menaiki undakan tangga, karena mungkin akan terdengar gerak langkahnya. Walaupun sangat sepi, sialnya perasaannya mengatakan tidak. Hingga sasarannya tepat. Luna tidak sengaja menemukan pintu kamar Hoseok yang berada di samping kamarnya sedang sedikit terbuka, mungkinkah bajingan itu ada disana? Ah, Luna sudah menduganya.

Baiklah, lupakan saja, hanya beberapa jengkal lagi ia akan menemukan ketenangan di dalam kamarnya. Namun, bagai ada yang menahan, Luna memilih melirik pada yang di dalam ruangan kamar Hoseok. Luna hanya penasaran saja, apa yang sebenarnya sedang menganggu Hoseok hingga mampu berbuat keterlaluan pada Luna.

Belum sempat satu menit, Luna dibuat terkejut akan apa yang ia temukan. Hoseok sedang mengenggam sebuah pisau yang selama ini selalu menjadi misteri di balik mimpi tidurnya. Luna yakin itu pisau yang sama seperti yang selalu ia temukan.

"Apakah Hoseok yang selama ini mengangguku? Mengapa pisaunya sangat tidak asing? Lalu, guru Kang—"

"Luna?"

Sial, tubuh Luna mengejang terkejut ketika Hoseok mendapatinya sedang mengintip. Lantas, Luna melangkah mundur dan berusaha berlari memasuki kamarnya karena tiba-tiba Hoseok juga mengejarnya. Apalagi Luna melihatnya membawa pisau itu. Astaga, jantung Luna berdegup sangat kencang.

Buru-buru Luna menutup pintunya dan menguncinya begitu rapat. Bersandar pada tubuh pintu sembari menahan nafasnya. Luna sangat takut, sangat.

"Luna! Buka pintunya!"

Payah, Hoseok mengetuk ngetuk pintu Luna begitu kasar. Membuat Luna terus menahan pintunya dengan kedua kaki yang gemetar hebat. Ia tidak mau tangan menjijikan dari bajingan yang hampir melecehkannya itu akan senang hati melukai Luna atau bahkan membunuh Luna.

"Ya! Luna! Buka pintunya!"

Luna meringis mendengar teriakan Hoseok diluar sana. Ia mengigit bibir bawahnya dengan harap cemas bahwa Tuhan akan melindunginya.

Perlahan, suara ketukan yang berisik itu sedikit menipis. Namun, Luna tahu Hoseok masih ada disana. Luna sangat takut, ia hanya mampu berharap pada Tuhan agar berbaik hati untuk saat ini. Rasa takut akan pisau itu masih terngiang jelas di bayangan liarnya.

"Kau mungkin marah padaku, Luna. Aku minta maaf atas perilaku ku yang keterlaluan."

Benar, Hoseok masih di luar sana dan kini ia sedang mengupas kesalahannya sendiri. Oh, haruskah Luna percaya pada bajingan disana? Omong kosong.

"Sudah aku katakan bahwa aku gila karena mu, Luna. Aku hanya berharap kau membalas perasaanku, tapi nyatanya kau lebih memilih Jungkook sialan itu."

Luna menggeram marah. Ia mengepalkan kedua tangannya begitu mendengar apa yang dilontarkan Hoseok secara percuma. Bisa-bisanya pemuda itu mengatakan yang tidak seharusnya mengenai Jungkook. Sayangnya, bagi Luna yang sialan itu hanya Jung Hoseok.

"Kau mungkin berpikir bahwa aku tidak pantas menyukaimu hanya karena kau gadis kecil yang senang bermain dengan ayahku, benar? Tapi aku tidak peduli, Luna, aku hanya menyayangimu."

Berapa banyak di dunia ini yang begitu naif seperti Hoseok? Bahkan rasanya Luna sudah sangat gatal ingin membunuh Hoseok dengan jari jemarinya. Ia ingin menghabisi semua orang disini jika ia mampu.

"Kau tahu, jika Jungkook memang mencintaimu, laki-laki itu tidak akan meninggalkanmu seperti sekarang. Lihat, bahkan dia tidak ada di hari ulang tahunmu, Luna."

Benar, Luna seharusnya menyadari itu. Satu bulan lebih Jungkook tidak hadir di dalam pandangannya. Jungkook seperti lenyap begitu saja tanpa jejak. Bagai semua orang meninggalkan Luna sendirian menghadapi ketakutannya. Apakah Jungkook memang sudah tidak mencintainya? Hingga pemuda itu benar-benar meninggalkannya.

"Aku tahu, Jungkook bukan pria yang baik untukmu, Luna. Maka biarkan aku yang melindungimu saat ini. Aku berjanji untuk memperbaiki kesalahanku."

Tubuhnya meringsut menekuk lutut dan membiarkan wajahnya tenggelam dibalik lengan yang terlipat diatasnya. Luna hanya belum siap jika Jungkook benar-benar akan meninggalkannya begitu saja. Padahal Luna sangat berharap jika pria itu akan menunjukkan presensi nya lagi. Mungkin Hoseok benar, Jungkook bukan pemuda yang mampu mencintainya dengan tulus. Lalu, haruskah Luna percaya akan kalimat Hoseok bahwa ia akan melindunginya? Luna masih sangat takut.

"Apakah kau bisa menepati janjimu, Hoseok?"

"Aku akan berusaha. Biarkan aku membuktikannya padamu, Luna."

Hingga sampai hari ini, Luna masih ketakutan setengah mati akan hal buruk yang selanjutnya mungkin akan terjadi. Kau pikir siapa yang akan begitu saja merelakan kepercayaan pada makhluk yang nyatanya sudah ingin melukai Luna sejak saat itu. Apalagi Luna menemukan benda yang selalu mengehantuinya sepanjang malam—sebuah pisau di genggaman tangan Hoseok. Bodoh saja Luna jika ia akan bersembunyi di balik punggung Hoseok yang kini bisa saja menjadi tersangkanya, siapa yang tahu kan?

Jika tidak ada yang bisa membantunya, maka Luna yang harus membuktikan itu sendirian.

Jamais Vu

Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang