Pt.3

1K 112 31
                                        

🌦Enemy

Terakhir kali sebuah ketenangan terjadi dalam hidupnya, saat ia tidak dilahirkan ke dunia ini, seharusnya begitu. Hanya saja, bagai Tuhan tidak mengizinkannya untuk menjadi angin laut, kemudian takdir membawanya menjadi manusia. Ah, begini rasanya mengumpat yang namanya takdir.

Cukup lama untuk ia bisa menerima kebiasaannya berlari menghindar, menjauh kemana pun asal nyawanya tidak melayang dengan mudah. Bahkan karena kebiasaannya itu, ia menjadi sensitif pada pergerakan disekitarnya, menjadi lebih teliti pada apa yang ia dengar. Kesialan memang.

Telah ribuan mil langkahnya mengayun cepat, berusaha mengalihkan diri dari mobil yang mengikutinya selama lebih dari tiga jam. Bahkan letupan yang terus terlontar ke arahnya, membuat langkahnya enggan untuk mengambil nafas sejenak.

Bersama sisa tenaganya, kedua kakinya bergerak secepat kilat, mencari tempat persembunyian yang tertutup rapat. Padahal seragam sekolahnya masih menutupi tubuhnya dengan lusuh, tiba-tiba acara layaknya mengejar buronan ini begitu cepat terjadi. Brengsek.

Ketika ia merasa bisa mendahului sebuah mobil sialan itu, lantas memutar haluan kiri untuk memasuki lorong kecil di antara kedua bangunan tinggi. Ia merundukan tubuhnya lebih rendah dari tempat sampah, sembari mengatur deru nafasnya yang hampir hilang. Untung saja pandangannya dengan cepat menemukan mobil itu melewati tempat persembunyiannya, Dewi Fortuna sedang berbaik hati.

Ia menjatuhkan tubuhnya yang lelah, menyandarkan punggung hangatnya pada sebuah dinding kumuh. Kedua kakinya ia julurkan, hingga netranya menemukan ujung celana seragam sekolahnya itu memiliki sebercak warna merah. Menarik batas celana itu sampai lutut, kembali lagi menemukan luka yang mengalirkan darah pekat.

Tertembak juga ternyata.

Nafasnya menghela kesal, menurunkan kembali celananya untuk menutupi luka pada pergelangan kakinya. Entahlah, ia masih mampu untuk melangkah atau sebenarnya tidak sama sekali. Jeon Jungkook adalah manusia satu-satunya yang tidak ingin mendapatkan takdir bernafas.

Jamais Vu

Sekarang berpikir keras, besok berpikir keras, kemudian hari berikutnya lagi berpikir keras, apa begitu kehidupan? Kenapa belajar sangat penting? Penentu tujuan? Penentu nilai akhir kuliah? Penentu sebuah kebahagiaan? Menjengkelkan.

Setelah ia memutuskan untuk mengikuti Hoseok kembali ke rumah itu, dimana dua hari yang lalu ia melarikan diri dari rumah dan tinggal bersama Dami sementara waktu. Entah harus bersyukur atau malah mengumpat, tetapi disaat ia menampakkan diri di hadapan ibunya, pertanyaan khawatir juga tidak ia dapatkan. Hanya sebuah titahan untuk kembali ke kamar dan berkutat dengan materi, menyuruhnya belajar tanpa memberinya satu pasokan makan malam.

Selalu alasannya sama setiap harinya. "Beri nilai yang memuaskan agar aku tidak cukup malu memilikimu."

Baiklah, terserah, kalau sudah kepalang bodoh, di tukar otak menjadi otak seorang profesor, tetap saja nol besar. Luna hanya seorang gadis biasa, suatu kemampuan juga tidak ia miliki. Berkutat terus sampai berasap, percuma materi itu bagai debu yang berada di pikiran kosongnya.

Ia menjatuhkan kepalanya di atas buku matematika yang memiliki tebal lima centimeter. Mengarahkan pandangannya pada sebuah gelap malam yang terpantul melewati jendela kamarnya. Hanya gelap, tidak ada satu cerah disana, seperti kehidupannya.

Ia membuka kepalan tangannya yang ternyata memiliki goresan luka pada telapaknya itu. Cukup besar dan nyeri dengan darah yang mengering, secara tiba-tiba itu berada disana. Luna bergumam sendirian, "Sejak kapan aku memiliki luka seperti ini? Apa aku terlalu menekan telapak tanganku pada penggaris itu? Mungkin iya."

Jamais Vu || Jeon Jungkook Fanfiction ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang