🍃

2.6K 109 9
                                    

Diam adalah bahasa terbaik di saat diri kecewa dengan keadaan

Sudah hampir tiga setelah kejadian itu Vanya menjadi sosok yang sulit diajak bicara,bahkan gadis itu kadang lebih sering sendiri.Bukan karena ia tak mau berteman namun dirinya sedang menata serpihan puzzle yang hilang agar menjadi seperti dulu,dapat kuat dan sabar jika semesta sedang mempermainkannya.

Kini Vanya tengah duduk dibangku taman sekolah,akhir-akhir ini Vanya menghabiskan waktunya disini,entah itu hanya untuk  sekedar melamun.

Hatinya berkecamuk,pikirannya bimbang mengenai hubungannya dengan Arka.Di otaknya ia ingin mengakhiri semua,namun hatinya enggan dan memilih bertahan.Inilah yang Vanya takutkan ketika menjalin hubungan dengan seseorang.Belum lagi  problematikanya dengan keluarga nya.Dua hari sudah Vanya tak pulang ke rumah,dirinya lebih memilih menginap dirumah Devon.Entah apa yang akan terjadi ketika ia pulang,yang jelas hanya satu yang diingankan ketenangan meski sekejap.

Gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha meredam emosinya yang sudah menggebu dalam jiwa.Ingin sekali meluapkan namun susah.

"Kalau mau nangis,nangis aja" suara bariton dari belakang Vanya membuat gadis itu sedikit kaget.

Sebisa mungkin Vanya berusaha bersikap biasa saja,seakan tak terjadi apa-apa antara ia dan Arka.

"Kamu dari tadi di sini?"

"Aku cariin di perpus nggak ada"lanjutnya kemudian duduk di samping Vanya.

Vanya diam, membiarkan angin yang menjawab semua pertanyaan dari cowo disebalah nya ini.Ia tercengat ketika Arka menggenggam tangannya,menautkan jemari seolah agar Vanya tetap disampingnya.

Sesak.

Satu kata yang mampu mewakili perasaan gadis itu saat ini mengingat ketika Arka lebih memilih bersama Tiara kala itu.

Apa Arka tak ada niatan untuk menjelaskan padanya?

Vanya melepaskan tautan tangan mereka,membuat Arka menatapnya heran.

"Kenapa?"tanya cowo itu

Haruskah Vanya yang memulai agar Arka memberi penjelasan? Lagian jika menunggu,cowo ini tak akan berbicara mengenai hubungannya dengan Tiara.

Vanya menggeleng,gadis itu tak ingin merubah suasana.Biarkan waktu yang menjawab saja,biarkan ia selalu bermain drama dengan skenario yang telah dibuat oleh semesta.Vanya cukup kuat untuk ini:)

Arka kembali menggenggam tangan Vanya,kali ini kedua tangan Vanya berada dalam genggamannya,hingga membuat Vanya menghadap ke arah Arka.

"Kalau ada yang ganjel dihati kamu bilang sama aku"

Terdengar tulus,namun mengapa seolah menyakitkan? Semacam belati menghunus hingga relung hati.

"Nggak ada apa-apa kak"

Arka memicingkan matanya "kamu yakin? Soalnya dari kemarin kamu kaya menghindar terus"

Vanya terkekeh sebentar,berusaha menutupi semuanya dengan baik.Menggunakan topeng agar semua orang bisa termanipulasi.

"Itu cuma perasaan kaka kali"

"Beneran?nggak ada yang ka-"

Devon tiba-tiba saja datang,membuat ucapan Arka terpotong.Cowo ini seakan tak melihat adanya Arka disini.

"Ayo Van Kita balik"ajaknya

"Dia pulang sama gue"kata Arka

Devon meliriknya sekilas,cowo ini tersenyum miring.Ada rasa kesal dalam diri Devon mengingat kelakuan Arka dibelakang sahabat nya.

"Lo tanya dia mau pulang bareng lo atau gue?" Jawab Devon tak kalah sengit

Vanya merasa bahwa kondisi ini tak cukup baik.Ia tahu alasan Devon seperti ini.Jika dirinya menerima salah satu dari mereka,maka tak ada jaminan supaya keduanya tak bertengkar.

"Kamu pulang sama aku kan Van?" Tanya Arka menghadap gadisnya yang hanya diam

"Mana mau Vanya pulang bareng pendusta kek lo"batin Devon

"Gue pulang sendiri"final Vanya lalu beranjak dari sana meninggalkan Arka dan Devon.

Arka diam,kenapa menjadi seperti ini?Sikap Devon padanya juga berubah,tak bersahabat seperti biasanya.

"Von,sebenernya ada apa?"Tanya Arka

Devon terkekeh,seakan menertawakan Arka yang bodoh dengan keadaan.Tak sadarkah jika yang membuat Vanya seperti ini adalah cowo itu sendiri?

"Mending lo intropeksi" kata Devon menepuk pundak Arka,kemudian berlalu.
   
                               ****

Kali ini Vanya pulang ke rumahnya,meski kaki gadis itu seolah menolak tak ingin menginjakan kakinya disana.

Vanya mengerutkan keningnya,ketika dihalaman rumahnya ada dua mobil dan salah satu dari mobil itu terasa familiar dalam ingatannya.

Hal yang pertama ditangkap ketika masuk hanyalan kekosongan,tak ada tanda-tanda kehidupan.Namun semakin Vanya masuk samar-samar dirinya mendengar gelak tawa dari halaman belakang.

Gadis itu menghampiri dan berdiri mematung dibalik jendela,disana ia melihat tantenya,Tiara dan juga sang Ayah yang tengah melukis tawa mereka dibalik waktu ini.

Hatinya sesak.

Dadanya terasa perih.

Benteng pertahanannya seolah ambruk.

Kenapa semesta tak berbaik hati padanya

Vanya bersender pada dinding,memejamkan matanya.
Menahan air mata sialan ini agar tidak meluruh jatuh

"Rista"

Jantung Vanya seakan berhenti berdetak,suara yang dulu ia rindukan,suara yang dulu selalu menenangkan namun mengapa kini seakan menyakitkan?

Vanya memberanikan diri untuk membuka mata,tatapannya jatuh ke retina mata berhezel itu.

Jadi mobil tadi adalah milik dia.

Vanya menggeleng lemah, ingatan beberapa tahun yang lalu kembali berputar.Tubuhnya bergetar.Kakinya terasa lunak hanya sekedar untuk melangkah menjauh.

"Rista,ini aku"katanya lagi dengan mencoba memegang tangan Vanya yang segera gadis itu tampik

Kenapa seolah takdir ingin membuat Vanya selalu menderita dengan orang-orang yang ada disekitarnya?

Tak lama setelah itu,sang Ayah datang.Namun kali ada yang berbeda,gurat wajahnya tak seperti biasanya ketika melihat Vanya.

"Putri ayah udah pulang" katanya

Hati Vanya berdesir.

Tadi ayahnya bilang bahwa ia adalah PUTRINYA.....

PUTRINYA????

Vanya bertanya-tanya dalam benaknya,ada dibalik semua ini?
Mungkinkah ini adalah jawaban dari doa-doa yang selalu ia panjatkan?

Lantas ada perihal apa cowo ini datang kerumahnya?
Setelah bertahun-tahun lamanya ia tak mendapat kabar.

Takdir ada apa dengan semua ini?























Ada yang penasaran nggak kenapa kaya gini? Hihihihi
Happy reading ❤️



                          

 strong girl (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang