Dua Puluh Tiga

903 61 4
                                    

Happy Reading 😊

Arya tidak bisa tenang dalam penantiannya. Ia bulak-balik melihat ke luar jendela untuk memastikan kalau Aurora sudah benar-benar pulang. Perasaannya mendadak tidak karuan saat tadi Willy menelponnya kalau Aurora pulang telat dan akan diantar oleh Sean.

Entah perasaannya saja, atau mungkin ia salah menduga, ia sempat merasakan bahwa Sean bukanlah pria yang baik, tapi saat mengetahui kalau Willy ternyata sudah lama bersahabat dengan pria itu, ia akhirnya menepis jauh-jauh dugaannya itu. Tapi entah kenapa, dugaan yang sudah sejak lama dibuangnya menjauh, kini datang lagi bersamaan dengan perasaan tidak enak saat memikirkan adiknya satu-satunya itu belum juga kembali ke rumah walau hampir tengah malam.

Orangtuanya sedang tidak ada di Bandung, jadi ia bertanggung jawab penuh atas keselamatan adiknya. Ia melirik lagi jam besar yang ada di dinding ruang tamu rumahnya. Sudah hampir pukul 12 malam. Ia berkali-kali menelpon ponsel Aurora tapi tidak diangkat.

Arya memutuskan untuk menelpon Willy, agar Willy menanyakan keberadaan adiknya kepada Sean.

"Lo di mana, Bang?" tanyanya dengan suara bergetar, seperti ingin menangis, tapi ia sendiri tidak tahu karena apa, bahkan ia tidak sadar kalau ia bersikap sangat sopan pada kakak sepupunya itu.

"Baru mau sampe rumah, biasa abis ngayap. Kenapa lo? Kok, suara lo kayak mau nangis gitu?"

"Bang, coba lo telfon Sean. Ini dari jam 9 tadi pas lo ngabarin Aurora pulang telat, sampe sekarang belum pulang-pulang. Perasaan gue ngga enak."

"Oke." jawab Willy singkat, lalu langsung mematikan sambungan telpon secara sepihak, membuat Arya mendelik bingung, namun ia tidak perduli dengan hal lain selain Aurora.

*****

Sean kembali menciumi Aurora dengan kasar. Ia bahkan hampir membuka underwears milik gadis itu yang sudah basah, tapi Aurora menepisnya. Dengan susah payah, Aurora berdiri dan menarik sembarang pakaian yang ada di ruangan itu, lalu memakainya secara kilat.

Ia membuka pintu ruangan dan berlari sambil menangis, tapi karena langkah larinya yang terlalu kecil, Sean berhasil menariknya lagi ke dalam pelukan pria itu. Sean menggerayangi lagi setiap bagian tubuh Aurora yang bisa dijamahnya, otaknya sudah tertutupi oleh kebencian dan nafsu.

Lagi-lagi Sean menghisap leher Aurora dengan kencang, membuat Aurora menjerit keras. Susah payah ia melepaskan diri dari Sean, tapi tiba-tiba saja seseorang menendang tubuh Sean dari belakang, hingga mereka jatuh bersamaan.

Orang itu menarik Aurora dari pelukan Sean yang masih mengencang meski sudah kesakitan akibat tendangan sabit milik orang itu.

"Kak Willy!" serunya dengan senyum mengembang, walau wajahnya sudah sembab di mana-mana. Willy memeluknya dan langsung menyembunyikan gadis itu di belakang tubuhnya.

Sean bangkit dari posisinya, ia menatap Willy dengan senyuman licik miliknya.

"Lo udah gila?" tanya Willy sinis, sedangkan Sean hanya tertawa sumbang.

"Gue belom kelar Will, jangan ganggu kesenangan gue, deh!" racaunya sambil beralih menatap Aurora yang menunduk takut.

"Dia bukan cewek murahan ya, Sey. Lo ngga bisa seenaknya sama dia!" seru Willy dengan wajah menahan marah, ia berusaha keras untuk tidak membunuh sahabatnya ini.

"Tapi dia enak Will, empuk banget itunya. Mana belom sempet gue masukin lagi--" kata-katanya terhenti, karena lagi-lagi Willy menendangnya dengan jurus tendangan sabit yang pernah dipelajarinya dulu.

Sean terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya yang terasa nyeri. Ia bangkit berdiri dan menatap kedua orang di hadapannya dengan pandangan benci. Sedangkan Willy tidak perduli, ia memilih memakaikan jaketnya di tubuh menggigil milik Aurora.

Willy baru akan mengajak Aurora untuk pergi dari tempat itu, tapi seruan Sean menahan langkah mereka.

"Lo pikir... kenapa gue lakuin ini ke Aurora... padahal dia ngga pernah menggoda cowok manapun... termasuk... termasuk gue?"

Aurora menatap Willy yang sudah mengepalkan tangannya. Aurora hanya bisa memohon lewat tatapan matanya, meminta Willy membiarkan saja orang itu berkata sesukanya, dan mereka pergi dari tempat menjijikan ini.

"Lo ngga lupa 'kan, sama mantan pacar lo yang udah jadi mayat itu?" sambungnya lagi, membuat Willy benar-benar berbalik untuk menatapnya tajam.

"NGGA USAH LO NGOMONG SEMBARANGAN SOAL ANYA!" serunya marah, membuat Sean tertawa meledek.

"Jadi lo belum tahu, kalau Anya udah mati?"

"Sean, sekali lagi lo ngomong sembarangan soal Anya, gue akan bikin lo mati, tanpa mandang lo sebagai sahabat gue!" geramnya, membuat Aurora memeluk lengannya takut.

"Pergi aja yuk, Kak!" rengeknya dengan suara bergetar, sedangkan Willy mengangguk mengiyakan keinginannya.

"Anya mati Will. Gara-gara lo!" seru Sean lagi, membuat Willy kali ini benar-benar marah, ia menarik kerah jaket milik Sean dan meninju wajah tampan milik sahabatnya itu.

"Lo bukan hanya ngebunuh Anya, tapi juga bayi di dalam kandungannya!" seru Sean susah payah, karena cekikan Willy di lehernya benar-benar membuatnya kehabisan nafas.

"Apa maksud lo?"

"Anya hamil, Will. Anak lo. Dan lo ninggalin dia gitu aja!"

Willy menggeleng tegas, "Lo ngigo? Ngehalu? Atau--"

"Hari ini tepat satu tahun meninggalnya dua manusia tak berdosa itu." sambungnya lagi, membuat Willy terdiam.

Sean berjalan gontai menuju tempat tasnya diletakkan, membuat Aurora menyingkir ketakutan. Ia melihat kalau Sean menangis, ia juga melihat ada penyesalan di matanya. Setelah itu Sean melempar selembar kertas berisi pemberitaan media tentang berita bunuh diri yang dilakukan seorang gadis yang hamil di luar pernikahan.

Mata Willy memanas saat membacanya. Ia tidak menyangka, ia sudah membunuh orang yang bahkan sampai detik ini masih dicintainya, juga janin kecil tidak bersalah di dalam perut gadis itu.

"Lo siapa?" tanya Willy akhirnya, setelah sadar akan sesuatu.

"Memangnya siapa yang buat Anya bisa suka sama lo hanya karena lihat foto lo? Siapa yang bertanggung jawab selama Anya ada di Bandung dan bersekolah di yayasan milik bokap lo?" tanya Sean sinis, membuat Willy berpikir tentang sesuatu.

"Tunggu. Jadi, lo kakak kandungnya Anya yang udah lama tinggal di Bandung?" tanya Willy bergetar. Lalu ia menatap lagi pria gila itu dengan pandangan marah, "Lalu kenapa lo malah... malah nyakitin Aurora?" lanjutnya lagi, sambil memandang Aurora yang hanya menunduk malu.

Sean tertawa sinis, "MEMANGNYA APA YANG GUE BISA LAKUIN UNTUK BALAS DENDAM SAMA ORANG HEBAT SEPERTI LO? GUE NGGA PUNYA DAYA APAPUN BUAT BALAS DENDAM, TAPI AKHIRNYA ADA AURORA. GUE TAHU DIA ADIK SEPUPU LO, LALU KENAPA NGGA MUNGKIN GUE BUAT DIA SAMA MENDERITANYA SEPERTI ADIK GUE?" serunya kencang sudah seperti orang gila.

Tiba-tiba saja sebuah tinju menghantam tepat di bagian rahangnya, membuat Sean memuntahkan banyak darah. Arya muncul di sana, ia datang karena lama tak mendapat kabar apapun dari Willy, dan ia mendengar semuanya. Semua hal menyedihkan dan menjijikan yang diceritakan pria yang menurutnya gila itu.

"Lo ngga pantes untuk disebut sebagai manusia!" desisnya tajam, bersiap lagi meninju pria di hadapannya, tapi Aurora menahan pergerakkan Arya sebelum akhirnya tidak sadarkan diri.

****

An:

Double up, mumpung ide mengalir deras, mwehehehe.

Kalau mau next, give me votment, thx 🧡

Jakarta, 02 November 2019

Si Gadis HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang