Toni dan Tania menatap pintu masuk kantor polisi. Ini bukan pertama kalinya Tania pergi kekantor polisi. Dulu saat Tania belum pindah kekota ini, ayahnya pernah mendapatkan sebuah kasus yang membuat ia harus datang kekantor polisi. Ayahnya yang sedang mabuk menghajar seorang pejalan kaki yang tidak bersalah.
Tania menunduk dan menghembuskan nafasnya kasar dan menyeret Toni untuk memasuki kantor. Toni mengatakan kepada salah satu petugas polisi dan mereka menunggu di sebuah ruangan untuk menjenguk.
Saat mereka menunggu sebuah pintu di depan mereka terbuaka dan disana seorang petugas polisi membawa pria yang kemarin melukai seseorang ditaman. Wajah pria paruh baya itu terlihat sangat bersedih dan seperti tidak memiliki nyawa. Petugas menempatkan pria itu berhadapan dengan Toni dan Tania setelah ia pergi dan menutup ruangan.
Sesaat hanya ada keheningan diantara mereka, pria itu juga tidak berminat untuk bertanya. Tania menoleh kearah anak kecil yang entah tiba-tiba sudah ada disebelahnya. Tania menarik nafas dan mulai berbicara.
"Emm.. permisi pak, saya Tania dan ini teman saya Toni. Kami kemari ingin bertanya sesuatu kepada bapak." Pria itu bahkan tidak menatap Tania. "Apakah bapak memiliki seorang anak laki-laki yang masih kecil?"
Pria itu tiba-tiba mendongak dan menatap Tania. "Ba..bagaimana kamu tau kalau aku me..memiliki seorang putra. Tetapi..." raut wajah pria itu bertambah bersedih mengingat masa lalu.
"Bapak jangan bersedih, kami tau dan sekarang anak bapak sedang berada di sebelah bapak dan mencoba untuk menghibur bapak." Tania mencoba untuk menghibur bapak itu dengan mengatakan yang sebenarnya.
"Mak..maksud kamu, kamu bisa melihat... melihat..."
"Ya.. kami bisa melihat mereka."
"Benarkah, bagaimana keadaanya? Apakah dia baik-baik saja? Dia pasti sangat ketakutan karena sendirian selama ini. Aku.. aku memang ayah yang tidak berguna di dunia ini." Pria itu mulai menangis menyesali hidupnya.
Entah mengapa Tania juga ikut menangis melihat seorang ayah yang bersedih. Apa ayahnya sekarang ini mengingatnya?
"Bisakah bapak ceritakan kepada kami bagaimana anak bapak bisa meninggal?"
Bapak itu akhirnya mulai bercerita kepada Toni dan Tania dengan wajah yang bersedih. Bapak itu hanya tiggal seorang diri bersama dengan anak semata wayangnya. Sang istri telah pergi saat melahirkan buah hati. Bapak itu terpaksa harus beralih pekerjaan untuk merawat anaknya. Sambil berjualan koran dipinggir jalan, sesekali bapak itu akan meneduh bersama putranya yang masih kecil.
Waktu berjalan begitu cepat, sang anak sudah tumbuh mencadi bocah yang baik dan pengertian. Bocah itu membantu ayahnya berjualan koran dipinggir jalan. Bapak itu menatap sang anak dengan tatapan yang sangat bersedih. Seharusnya anak sesuai itu harualah bermain dan bersekolah, tetapi anaknya malah membantunya berjualan dipinggir jalan. Bapak itu menghembuskan nafasnya kasar dan mulai berjualan kembali.
Saat malam menjelang, bapak yang berada di sebrang jalan melambaikan tangan pada anaknya untuk segera menghampirinya. Itu adalah hal paling bodoh yang dilakukan sang bapak. Bocah yang melihat ayahnya tersenyum dan sedikit berlari kearah ayahnya. Siapa yang tau kalau disaat itu pula sebuah mobil yang melaju begitu cepat menghantam sang anak sampai bocah itu terlempar jauh keudara. Bapak itu hanya bisa menatap sang anak yang tergeletak dengan air mata yang bercucuran dengan deras.
"Seharusnya... seharusnya aku tidak memanggilnya dan seharusnya aku yang menghampirinya. Aku memang ayah yang tidak berguna.." tangisan pria itu bertambah deras.
"Apakah bapak mengenali orang yang telah menabrak anak bapak?" Kali ini Toni yang angkat bicara.
"Aku mengenalinya aku mengenalinya tetapi... orang itu adalah salah satu penjabat dikota ini. Satu minggu setelah kecelakaan itu aku menghampirinya dan meminta pertanggung jawaban atas kesalahannya. Tetapi dia menolak dengan menyuap ku. Aku jelas tidak menerima suapan itu dan aku lebih memilih untuk melaporkannya kepada polisi. Kurangnya bukti dan dia adalah seorang penjabat membuat ia menang. Hukum benar-benar tidak adil. Seorang anak harus kehilangan masa depan karena meninggal."
Sambil mengusap air matanya, Tania berkata. "Bapak tenang saja, saya dan teman saya akan membantu bapak dengan semampu kami. Bapak akan mendapatkan keadilan untuk anak bapak dan tunggu saja."
"Benarkah kalian akan membantu seorang penjahat seperti saya?"
"Enn.. walaupun bapak menikam seseorang ditaman. Kami tau bapak merasa frustasi akan anak bapak. Kami akan membuka bukti dan menjebloskan penjabat yang kurang ajar itu." Tania meyakinkan pria itu dengan tatapan yang serius.
Pintu dibuka, petugas kepolisian mengatakan kepada mereka kalau jam kunjung sudah berakhir. Pria itu mengatakan trimakasih kepada Toni dan Tania. Pria itu percaya kalau mereka akan berhasil karena ketulusan mereka untuk membantunya.
Tania dan Toni keluar dari kantor polisi setelah matahari hampir terbenam. Kurang dua hari lagi ibu Toni akan pulang kerumah dan mereka harus segera pulang untuk menyiapkan keperluan mereka sendiri-sendiri. Mereka berjalan kearah halte dan menunggu bus lewat. Tania menunggu dengan duduk di bangku halte sedangkan Toni menunggu dengan berdiri sambil melipat kedua tangannya.
Tania sesekali melirik kearah Toni, entah mengapa tambah lama jantung Tania terasa ingin berdetak kencang saat melihat Toni. Tania bersyukur telah mengenal Toni dan ibunya selama ini. Walaupun ayahnya tidak menyayanginya masih ada orang yang mau menyayanginya.
Toni yang merasa ada yang terus milirknya menurunkan kepalanya dan menatap wajah Tania yang sedikit memerah. Toni mengerutkan alisnya ingin bertanya. Sedangkan Tania yang kepergok tiba-tiba panik dan salah tingkah. Untung saja busnya sudah sampai dan itu membuat Tania langsung memasuki bus dengan tergesah-gesah.
Hari sudah petang saat mereka sampai di rumah Tania membuka pintu dengan Toni yang mengikuti dari belakang. Menyalakan lampu ruangan dan menuju arah kamar masing-masing. Setelah membersihkan diri, Tania turun dan menuju arah dapur untuk mereka makan. Tania melihat isi kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan makanan. Mencuci dengan bersih dan memotong bahan dengan terampil. Menyalakan kompor dan mulai memasukan bahan-bahan kearah panci.
Bau harum masakan menghampiri Toni saat ia turun dari tangga dan menuju meja makan. Toni melihat Tania menyajikan beberapa hidangan masakan diatas meja dengan perasaan puas. Entah sadar atau tidak Toni menyinggungkan senyum dengan menarik kursi.
"Kamu sudah selesai mandi, ini silahkan dimakan."
"Apa kamu tidak makan?" Toni bertanya, tetapi dengan wajah yang datar seperti biasa.
"Aku makan nanti saja, aku belum lapar hehe.."
"Tidak menolak!"
Melihat wajah Toni yang sedikit berubah. Tania bergidik ngeri dan akhirnya mengambil kursi untuk makan bersama. Mereka makan dengan diam dan hanya ada suara detingan suara piring yang berbenturan dengan sendok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unusual Abilities (Tamat)
Horrordibalik sikap ceria dan penuh kebahagiaan siapa sangka ada kesedihan yang mendalam. ditinggal oleh sang ibu untuk selama-lamanya dan dicaci maki juga di pukuli ayah kandungnya, bagaimana bisa ia bertahan hidup?? bahkan di hari pertama ia pindah seko...