Saat ini mereka sudah berhenti di garasi rumah Toni. Keduanya turun dari montor dan menuju kedalam rumah. Mereka berdua sampai saat hari sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ibu Toni pasti sudah menunggu mereka didalam dengan cemas. Benar saja, sesampainya mereka di dalam rumah, Ibu Toni sudah memarahi keduanya dengan brutal. Ibu Toni memarahi mereka karena kedua HP mereka yang tidak dapat dihubungi dan pulang-pulang sudah larut malam.
Dan ibu Toni semakin menjadi saat melihat pergelangan tangan Tania yang memar. Toni mendapatkan amukan dobel dari ibunya. Toni dibilang tidak bisa menjaga Tania dengan benar, memulangkan anak gadis sampai selarut ini, siapa yang tidak akan marah.
Tania merangkul bahu ibu Toni untuk menenangkannya. "Tenanglah bu, Toni tidak salah. Kami hanya lupa waktu untuk pulang. Kami minta maaf dan tidak akan mengulanginya lagi, hmm.."
"Janji?"
"Janji janji janji." Ucap Tania dengan senyum lima jarinya.
"Baiklah, sekarang segera bersihkan diri kalian. Ibu sudah hangatkan sup di dapur."
"Terimakasih bu."
Keduanya berjalan kearah kamar masing-masing. Sebelum kembali, Tania sudah membagi rata upah yang diberikan ibu kontrakan kepada mereka. Lumayanlah untuk mereka tabung, dikit-dikit akan menjadi bukit.
Tania sekarang sedang bergulat dengan selimut didalam kamarnya. Setelah ia menghabiakan makanannya, ibu Toni menyuruh agar mereka segera beristirahat. Dan disinalah Tania sekarang. Bermanja-manja diatas kasurnya menutup tubuhnya dengan selimut lembut berwarna putih yang harum itu.
Tania mengingat apa yang Toni ucapkan tadi saat mereka berdua membasmi hantu. Semua hantu memiliki inti kekuatan yang dapat mengendalikan jiwa mereka dan apabila inti itu dihancurkan, jiwa hantu itu akan hilang bersama dengan intinya.
Sekarang Tania tahu mengapa Toni sangat ditakuti oleh semua kalangan hantu, mulai dari kalangan hantu kelas kakap sampai dari kalangan hantu kelas teri, semua akan menjerit takut bila bertemu dengan ajal mereka, yaitu si Toni.
Tania mengingat betapa kerennya Toni saat menghajar hantu berambut panjang tadi. Tania mengakaui kalau Toni sangatlah tampan, bahkan hampir sempurna untuk kalangan anak SMA.
Mengingat itu, Tania bersemu merah. Dia segera menepis pemikiran itu dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut. Segera pergi tidur untuk menyambut sinar matahari keesokan harinya.
Pagi harinya, Tania sudah siap dengan seragam SMA kebanggaannya. Tania sekarang sedang menunggu Toni didepan pagar dengan sesekali melihat jam tangan yang ia pakai.
"Toni cepatlah, jamnya mepet tau!!" Tania berteriak didepan pagar, mengabaikan tatapan orang yang berlalu lalang didepannya karena dirinya yang telat bangun pagi ini.
Toni keluar dari garasi dengan menyalakan montor miliknya. Setelah sampai didepan Tania, Toni menyerahkan helem berwarna putih dengan berkata. "Sabar bisa tidak."
"Yee, kalau jamnya tidak mepet ya aku tidak akan memaksamu untuk cepat. Sudahlah, ayo kita berangkat!"
Tania menutup gerbang berwarna hitam itu dan segera menaiki montor milik Toni. Sebenarnya dia sedikit kesulitan dengan montor gede milik Toni, kesulitan saat dia akan naik. Kalau menggunakan montor biasa seperti metic mungkin tidak akan sesulit ini.
Perjalanan ke sekolah membutuhkan waktu duapuluh menit saat menggunakan montor. Saat sampai didepan gerbang, satpam sudah ingin menutup gerbang sekolah. Toni memencet klakson miliknya untuk mencegah sang satpam.
Pak Satpam itu menyuruh keduanya untuk segera masuk. Sedikit kelegaan terdapat dihati keduanya, sampai saat keduanya yang ingin memasuki kelas.
"Eits... berhenti kalian berdua!"
Tania dan Toni sontak menoleh kebelakang. Disana pak Satpam sedang berjalan kearahnya dengan memegang tongkat hitam kebanggaannya. Tania tau apa yang akan pak Satpam itu lakukan.
"Kalian tau kenapa saya memanggil kalian?" Pak Satpam berdiri pas didepan keduanya dengan menatap Toni dan Tania bergantian.
"Emm.. ta-tau pak." Kelegaan dihati Tania hilang entah kemana.
Dan sekarang, disinilah keduanya berada. Berdiri didepan tiang bendera dengan hormat, dijemur oleh trik matahari yang menyengat, dan seragam yang dibasahi oleh keringat.
Sungguh malang sekali nasip dobel-T hari ini.
Tania sangat ingin menyumpal mulut bapak Satpam yang ada didepannya. Maaf kalau dia terlalu tidak sopan, tetapi bagaimana tidak. Sudah capek, panas, malu pula dilihat oleh siswa-siswi lain. Masak harus mendengar seluruh ocehannya. Apakah pak Satpam itu tidak lelah saat berbicara. Dari ujung A sampai ujung Z tidak pernah ia memberi jeda.
"Kalian sering ikut upacara kan? Sudah beberapa kali bapak/ibu pembina mengatakan tidak ada kata telat dan telat. Dan sekarang kalian berdua sudah melanggar tatatertib sekolah. Kalian sebagai generasi penerus bangsa seharusnya merasa malu, lihatlah para pahlawan yang gugur demi membela bangsa Indonesia ini. Mereka rela tiada demi kemerdekaan bangsa. Dan kalian, kalian sebagai pelajar yang hanya belajar saja sudah semalas ini, apalagi ikut ke medan perang untuk melawan musuh. Sadarlah nak, masa depan kalian masih sangat panjang. Ini memang masalah sepele, hanya telat saja. Tetapi, dari hal yang sepele seperti ini-pun bisa membuat kalian merasa kecanduan. Berbicara 'ahh ini hanya masalah telat, toh kesalahan pertama' tetapi lain kali saat kalian telat, kalian akan berfikir demikin, terus seperti ini sampai kalian melakukannya berulang kali. Bapak mengatakan semua ini juga demi masa depan kalian bukan untuk memarahi kalian berdua....."
Bla bla bla. Pak Satpam tidak salah bahkan dia memang sangat benar. Kesalahan sekali dan kita menganggap itu enteng, maka saat mengulangi kembali keselahan itu, kita akan berfikir sama. Sampai mengulanginya lagi dan lagi.
Tania merasa sangat bosan dan lelah, dia menoleh kesamping kirinya. Disana Toni dengan tegab dan mantap masih bisa berdiri sempurna. Tania bahkan sudah loyo, peluh keringat sudah membasahi pelipisnya. Tania sudah tidak kuat lagi, dia berjongkok dengan pasrah. Tenang, pak Satpam sudah kembali bertugas di posnya. Kalau dia masih ada disini mana munhkin Tania berani jongkok untuk mengurangi lelahnya.
Tania merasakan tendangan dikakinya, dia menoleh dan mendapatkan tatapan dari Toni. "Berdirilah jika tidak ingin mendapatkan hukuman tambahan!"
Tania merengek dan malah duduk selunjoran dengan menendang-nendang angin. "Aku lelah lelah lelah Toni!!" Tania terus saja merengek di tanah.
Toni yang melihat sikap kekanak-kanakan milik Tania entah kenapa tersenyum sendiri tanpa ada yang menyadari. Dia merasa sangat gemas melihat tingkah gadis didepannya itu. Toni merasa kalau Tania memiliki sikap yang apa adanya tanpa ada kebohongan beberapa minggu ini. Tania sudah tidak menutupi sikap sedihnya seperti dulu. Dia akan mulai membuka hati kalau dia memang sedang bersedih. Terutama curhat kepada ibunya, itu terasa hangat.
Bel istirahat berbunyi. Akhirnya Toni dan Tania selesai mendapat hukumannya. Mereka berdua segera berjalan kearah kantin sekolah karena rasa haus yang sangat menyiksa. Tania bahkan pesan tiga gelas es teh sekaligus sekarang ini.
"Apa kau ingin perutmu penuh dengan air?" Toni menatap Tania dengan menaikkan salah satu alisnya.
"Terserah, yang penting aku sudah tidak kehausan lagi."
Keduanya asik dengan kegiatan masing-masing tanpa sadar seluruh isi kantin memperhatikan mereka. Tania dan Toni terlalu dekat bukan, mereka terlihat seperti sepasang kekasih dan semenjak mereka berangkat-pulang bersama, itu menambah keyakinan kalau mereka memang ada sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unusual Abilities (Tamat)
Horordibalik sikap ceria dan penuh kebahagiaan siapa sangka ada kesedihan yang mendalam. ditinggal oleh sang ibu untuk selama-lamanya dan dicaci maki juga di pukuli ayah kandungnya, bagaimana bisa ia bertahan hidup?? bahkan di hari pertama ia pindah seko...