4) si dingin membantu Tania??

1.9K 193 6
                                    

Tania kembali berjalan kearah Toni dan mengambil data itu. "Untung saja kamu bawa coba kalau tidak, aku harus kembali kesana lagi."

"Kau itu ceroboh, sudahlah jangan menjadi pahlawan jika menjaga diri saja kau tidak bisa."

"Haiss... aku ingin membantu Jihan apa salahnya dengan itu. Dan ngomong-ngomong makasih ya udah bantuin lolos dari pak Dimas."

"..."

"Ehh.. Toni menurutmu bagaimana dengan pak Dimas."

"??"

"Dia sangat mengerikan daripada hantu tau. Ekspresinya membuatku takut setengah mati." Tania memegang leher belakangnya dengan perlahan.

"Kenapa dengan tanganmu itu?" Dengan nada datarnya Toni malah mengalihkan permbicaraannya.

"Ehh.. owh ini, ini terjatuh karena lalai dan kalau begitu aku pergi dulu ya, sekali lagi makasih."

Tania ingin cepat-cepat segera kembali agar tidak ditanya oleh si kutub es yang berubah menjadi wartawan. Tania sedikit berlari kecil dan berhenti saat mendengar sebuah suara yang membuat orang tidak percaya.

"Aku akan membantumu."

Tania menoleh dengan linglung menatap wajah tampan Toni yang ada di sebrang. Benarkan dia mau membantu Tania, barusan dia menolak dan sekarang mengajukan diri.

"Benarkah, wahh kamu memang selain tampan juga baik hati."

Toni segera pergi melewati Tania, dan Tania ikut dibelakangnya dengan senyum lima jari. Jarang-jarang kutub es mau membantu Tania. Tania lupa akan waktu untuk memecahkan masalah dengan Toni, sampai ia pulang hari menjelang malam. Ayahnya pasti sudah pulang beberapa waktu yang lalu. Dengan jantung yang berdetak, Tania ingin mengetuk pintu tetapi ia tidak berani. Saat Tania ingin mengetuk pintu, pintu sudah dibuka dari dalam.

Di sana ayah Tania penuh kemarahan. Tania sudah menebak apa yang akan ayah Tania lakukan. Ayah Tania langsung menyeret Tania kedalam rumah dan mendorongnya langsung kelantai. "Kemana saja kamu hah? Apa aku mengajarkanmu untuk keluyuran seperti ini, cepat jawab!" Ayah tania mencopot sabuk yang ia pakai dengan gampang dan memukuli tubuh Tania. Tania memejamkan kedua matanya dengan menahan rasa sakit yang diberikan ayahnya.

Setelah ayahnya puas, Tania berjalan kearah kamarnya dengan menyeret tas miliknya. Tania langsung mengunci kamarnya dan langsung berbaring dengan telungkup menahan rasa sakit di punggungnya. Mungkin dengan istirahat nyeri itu akan hilang.

Saat pagi menjelang wajah Tania terlihat sangat pucat. Tania yang merasa harus kuat berangkat ke sekolah seperti biasa. Tania menaruh kepalanya dengan lemah diatas meja dengan beralas tas miliknya.

Suasana kelas masih sepi dan Jihan seperti biasa akan menemani Tania sebentar dan mencoba untuk menghiburnya. Tania terpaksa memakai jaket untuk menutupi bekas memar yang ada di tangan sebelah kanannya. Dan saat Tania memejamkan matanya, Tania merasa Toni sudah datang dan menempati tempat disampingnya.

Toni yang melihat sikap aneh Tania menyenggol lengan Tania dengan jari telunjuknya. Tania dengan malas menoleh kesaping dengan kepala masih menempel di atas meja. "Ada apa?" Susana hati Tania masih sangat buruk dan tidak ingin menanggapi orang lain tetapi saat itu adalah Toni mungkin ada sesuatu yang penting.

"Ada apa?" Toni malah berbalik bertanya pada Tania.

"Hah?" Tania mengerutkan alisnya menatap bertanya pada Toni.

Sampai saat bel berbunyi mereka hanya saling menatap bertanya. Jam pertama pelajaran fisika dan guru fisikan itu sangat disiplin serta semua yang ada didepannya harus sesuai dengan apa yang dipikirannya. Guru itu memasuki kelas dengan wajah yang datar seperti biasa dan langsung melihat kearah para murid yang pasti memiliki kesalahan.

"Apakah kamu murid baru disini?" Guru fisika bertanya pada Tania.

"Ya saya pak." Tania langsung berdiri dari duduknya dengan sedikit kekuatan.

"Karena kamu murid baru aku akan mengingatkan untuk pertama dan terakhir. Didalam kelas tidak boleh main HP, pacaran, memakai topi, tidak mengerjakan tugas, telat juga tidak boleh memakai jaket. Kamu pasti tau letak kesalahanmu ada dimana kan?"

Tania tau kalau dia tidak boleh memakai jaket didalam kelas, tetapi bagaimana jika Toni atau temannya yang lain tau kalau ada memar di tangannya. Kemarin saat Toni bertanya Tania masih bisa menjawab dan sekarang apa yang akan dia jawab kalau mereka bertanya. Dengan pasrah Tania melepas jaketnya perlahan. Satu dua temennya memang memandang memar yang ada di tangan kanan Tania tetapi mereka tidak ingin bertanya dan melanjutkan aktifitas mereka.

Merasa lega Tania kembali duduk setelah menaruh jaket di lemari miliknya. Setelah duduk Tania mengambil buku fisikan untuk memulai menulis materi. Sesekali Tania melirik bangku sampingnya, teman semejanya itu selalu menatap Tania. Tania yang ditatap merasa aneh dan binggung.

Memecah keanehan di sekitar mereka, Tania menulis sesuatu di kertasnya.

Toni, apa rencana kita kedepannya untuk membantu Jihan?

Tidak diberi jawaban, Tania menulis yang lain.

Bel pulang sekolah ayo kita bertemu di atap sekolah!

Tak terasa seluruh pelajaran sudah mereka jalanankan. Beberapa waktu juga bel sudah berbunyi. Tania menunggu Toni di atap sekolah dengan mengayun-ayunkan kedua kakinya dan melihat pemandangan kota. Sesekali Tania juga mendengar suara tangisan, bisikan juga jeritan dari jiwa-jiwa yang kurang beruntung. Tania memang termasuk beruntung karena tidak seperti mereka dan Tania juga menyukuri apa yang diberikan tuhan untuknya.

Suara langkah kaki terdengar dari belakang, Tania menoleh dan mendapati Toni berjalan kearahnya dengan memasukan kedua tangan di dalam saku celananya. Toni memang sangat tampan Tania juga mengakui hal itu.

"Kau datang." Tania segera turun dan menghampiri Toni yang sudah sampai didepannya. Karena mereka akan membahas kasus pembunuhan Jihan, maka Jihan ikut serta dalam diskusi ini.

Saat Tania ingin mengatakan sesuatu Toni sudah lebih dahulu bertanya. "Apakah itu perbuatan dari ayahmu?"

"Hah??" Tania masih binggung dengan pertanyaan milik Toni barusan.

".......luka memar di tubuhmu perbuatan ayahmu?"

"Ahh ini, tidak kok... luka ini aku dapat karena..."

"Karena terjatuh." Potong Toni.

"Yaa.." Tania menundukan kepalanya untuk menyembunyikan wajah malunya.

"Sudah jangan menjadi pembohong yang bodoh, aku sudah tau kebenarannya."

"Ap...apa maksudmu?"

"Aku tau kalau itu perbuatan ayahmu, Jihan yang mengatakan itu."

"Ahh kau berjanji tidak akan melibatkanku!" Jihan yang disangkutpautkan merengek tidak terima.

"Ya benar, benar memang semua ini kelakuan ayhaku. Aku selalu dicaci juga dipukuli olehnya tiap hari dan aku sudah terbiasa dengan kelakuan ayahku. Aku ingin seperti yang lain, tumbuh penuh dengan kasih sayang oleh kedua orang tuanya, mendapat teman yang akan selalu mendukungnya dan juga hidup bahagia dikedepan hari. Siapa tau takdir mengatakan lain, aku hidup seperti sebatang kara, tanpa ibu, ayah yang kejam, tidak memiliki teman dan kini malah aku bisa melihat yang tidak ingin ku lihat. Bayangkan itu semua, bagaimana aku bisa hidup sampai sekarang. Itu karena aku selalu teringat nasehat dari ibu untuk terus berusaha pantang menyerah selagi aku bisa." Tanpa sadar Tania menumpahkan keluh kesal pada si kutub es, Tania tidak menyesal mengungkapkan apa yang selama ini menjadi beban di hidupnya. Dan dia merasa lega mengatakan itu semua.

Unusual Abilities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang