28) Pertengkaran

884 100 6
                                    


Saat Tania sampai, keadaan ayahnya terlihat buruk. Banyak selang yang terhubung ditubuhnya. Dokter menjelaskan kalau tuan Fais mengalami kelumpuhan dikakinya, dan akan berfungsi jika dia melakukan terapi yang rutin, tetapi melihat pasien yang tidak sadar maka penyembuhan itu akan berjalan lama. Salah satu mata pasien juga mengalami kerusakan akibat dari serpihan kaca yang menusuk langsung pada bola mata, dokter terpaksa mengangkat satu matanya.

Tania gemetar saat melangkah menuju ranjang dimana ayahnya tergeletak tak berdaya disana. Tania melihat ayahnya yang menutup kedua matanya dengan rapat tanpa ingin membukanya. Melihat ini hati Tania terasa sakit, air matanya bahkan sudah membasahi seluruh pipi, hidungnya juga berubah merah karena selalu dia usap. Tania sangat kacau.

Sebuah sentuhan dipundaknya membuat Tania menoleh. Dia melihat Dika yang mencoba untuk menenangkannya dan Tania menganggukkan kepala.

Tidak terasa hari sudah menjelang malam. Tania lupa waktu karena merasa sedih, jam menunjukkan pukul sepuluh malam, ini terlalu malam untuk Tania. Untung saja Dika selalu menemaninya, ketua kelas bahkan membelikannya makanan saat dia merasa lapar. Tetapi Tania merasa dia telah merepotkan ketua kelas walaupun sang ketua kelas mengatakan kalau dia senang membantu teman sekelasnya.

Tania menoleh kearah Dika yang sedang mengemudi. Dengan ragu Tania memecah keheningan. "Emm.. tolong jangan katakan ini kepada Toni apapun yang terjadi."

Ketua kelas melirik dan bertanya. "Memang kenapa, bukankah kalian adalah pasangan kekasih?"

Tania merah merona setelah mendengar perkataan dari Dika. Dia ingin mengatakan kalau dirinya dan Toni bukanlah pasangan, mereka hanyalah teman dekat. Tetapi tertahan saat mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat didepan rumah Toni. Tania terpaksa harus menutup mulut setelah melihat Toni berdiri tepat didepan pintu gerbang. Apakah lelaki itu menunggunya?

Tania segera turun dari mobil setelah mengucapkan terimakasih kepada Dika. Dan mobil itu berbelok menuju depan rumah mereka dan hilang setelah pintu gerbang tertutup. Tania dengan menundukkan kepala berjalan menghampiri Toni yang terlihat sangat menakutkan. Bahkan lelaki itu hanya menatapnya sekilas tanpa mengucapkan apapun langsung memasuki rumah.

Ap-apakah Toni marah?

Itu yang selalu terngiang-ngiang dipikiran Tania sampai mereka memasuki rumah. Tania tambah bersalah setelah melihat ibu Toni yang sangat cemas, dia berlari kecil menuju Tania dan memeluk gadis itu. "Tania, kemana saja kamu nak? Kamu mengatakan akan pulang sore, tetapi sampai malam kamu belum juga kembali. Kenapa telfonmu tidak aktif?" Ibu Toni melepaskan pelukannya dan menatap Tania. "Toni bahkan mencarimu kemana-mana, hampir lima jam anak itu menelusuri kota ini dan tidak menemukanmu. Dia sangat khawatir kamu mengalami sesuatu Tania. Kamu pergi kemana hm?"

Tania tanpa sadar menoleh dan melihat Toni yang menaiki tangga menuju kamarnya. Tania merasa sangat sangat bersalah disini. Dia membuat semua orang khawatir, terutama kepada Toni.

Tania menggenggam kedua tangan ibu Toni dan menjelaskan. "Ibu, aku tidak papa. Aku hanya lupa waktu saat bersama teman-teman itu saja. Dan masalah telfon, telfon itu batrainya habis hehe." Tania mencoba untuk tersenyum dan menghibur ibu Toni.

"Baiklah kalau kamu tidak kenapa-napa. Apakah kamu lapar?" Tania menggeleng. "Sekarang bersihkan diri kamu dan segera istirahat, kamu pasti sangat kelelahan."

Tania hanya menganggukkan kepala dan segera pergi. Saat melewati pintu kamar Toni yang tertutup rapat, Tania tanpa sadar berhenti dan mengatakan maaf, walaupun tidak akan pernah didengar oleh sang pemilik kamar.

Tania menghembuskan nafasnya kasar, dia tidak bermaksud untuk menyakiti hati siapapun.

Dan setelah menjelang pagi, suasana dirumah juga masih hampa, tidak ada yang ingin mengucapkan apapun dimeja makan. Ibu Toni yang berjalan menuju arah meja makan dengan membawa hidangan menyunggingkan senyuman untuk menghilangkan suasana ini.

"Lihatlah, ibu memasakkan kalian makanan kesukaan masing-masing. Ini untuk Tania dan ini untuk Toni." Dengan menaruh dua hidangan tersebut.

"Terimakasih bu."

Memakan sarapan masing-masing, telfon jadul milik Tania bergetar diatas meja makan. Dengan cepat Tania melihat siapa yang mengirimnya pesan. Nomor tidak dikenal tertera disana, Tania membuka pesan tersebut.

+6823××××××××

Tania, apakah kamu akan pergi kerumah sakit setelah pulang sekolah?

Dika.

Darimana ketua kelas mendapatkan nomor telfonnya. Seingat Tania dia tidak pernah memberikan nomornya kesembarang orang.

Tania.

Ahh ya ketua kelas, setelah sekolah selesai aku memang berencana untuk kesana.


+6823××××××××

Bagaimana kalau aku antarkan kamu lagi?

Tania.

Tidak-tidak, itu akan sangat merepotkan.


"Jangan bermain ponsel saat sarapan Tania!" Belum sempat Tania mendapat balasan, suara ibu Toni membuatnya menoleh. Dengan kikuk Tania memasukkan ponselnya kedalam saku.

Setelah perpamitan kepada ibu Toni, keduanya segera meninggalkan rumah menuju gedung sekolah. Sepanjang berjalanan yang biasanya Tania selalu mengoceh hanya diam. Toni yang berada didepan mencengkram kemudi dengan erat. Dia berfikir apakah sekarang Tania lebih suka berdekatan dengan ketua kelas. Toni harus memisahkan mereka, tetapi sikap gengsinya selalu membuat Toni mundur. Sisi lain dirinya terus mengatakan kalau dia bukan siapa-siapa Tania sehingga dia bisa membatasi pertemanannya.

Dan sampai mata pelajaran selesai, mereka tetap saja diam. Sungguh, Toni tidak tahan dengan semua ini. Setelah para murid dikelas keluar, Toni mencengkram lengan Tania dan menyeretnya menuju atap sekolah. Dia tidak memperdulikan tatapan siswa lain dan berontakan Tania, yang terpenting adalah meluruskan masalah.

Tania mencoba untuk melepaskan genggaman itu setelah mereka sampai namun Toni tak kunjung melepaskannya. "Toni lepaskan!! Ini sakit."

Toni tidak perduli, dia terus menggenggammnya. "Sebenarnya apa yang terjadi?" Suara itu sangat dingin dan menekan. Tania belum pernah mendengar Toni yang seperti ini.

"Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti!" Tania berhenti memberontak, percuma saja dia melawan jika kekuatannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan Toni.

"Apakah ini semua karena ketua kelas ataukah karena aku yang menujukkan kedekatan kita didepan banyak orang?"

Apa-apaan ini, Tania tidak memikirkan itu sama sekali. "Omong kosong! Itu tidak ada hubungannya dengan kedekatan kita didepan publik..."

"Apakah itu ketua kelas? Apakah kau menyukainya hah?!" Toni membentak dengan cukup keras. Cengkraman pada tangan Tania bahkan terlepas dengan kasar.

Tania terkejut, kedua matanya bahkan tanpa sadar telah mengeluarkan air matanya. Kenapa Toni membentakknya, dan Tania bahkan tidak memiliki hubungan apapun dengan Dika.

Toni tersadar, dia bersalah. Toni mencoba untuk menggenggam lengan Tania yang memerah akibat dari cengkramannya, tetapi segera ditepis oleh Tania.

"Cukup Toni! Jangan pernah kamu ikut campur dengan urusanku lagi!" Setelah mengatakan kalimat tersebut, Tania pergi dengan mengusap air matanya.

Mungkin dengan kejadian ini mereka tidak akan terlalu dekat. Mereka akan menjadi teman biasa dan menjalani kehidupan masing-masing. Tania juga tidak akan mengganggu masa depan Toni lagi. Tanpa Tania sadarai, Toni masih mengikutinya dan saat melihat itu, Toni mengepalkan kedua tangannya melihat Tania yang memasuki mobil Dika.


Unusual Abilities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang