Sudah tiga hari ini Toni juga Tania tidak saling bicara, mereka seperti berada didunia masing-masing. Hanya bersama saat berangkat sekolah dan berada dirumah. Pulangnya Tania selalu pergi dan mengatakan ada kegiatan belajar bersama dengan temannya. Toni tau kalau Tania selalu pergi bersama Dika sang ketua kelas. Ingin sekali Toni mengikuti mereka tetapi sisi lain selalu menahannya, Tania mengatakan kalau dirinya tidak harus mencampuri urusan yang dimiliki Tania lagi.
Dan setelah pulang sekolah, seperti biasa, Tania akan pergi bersama Dika kesuatu tempat. Tanpa adanya Toni ataupun yang lain. Mereka hanya pergi berdua.
Setelah sampai dirumah sakit, Tania melihat dokter beserta suster keluar dari ruangan ayahnya. Tania berlari kecil menghampiri dokter tersebut dengan Dika yang mengikutinya dibelakang. "Dokter, apa yang terjadi dengan ayah saya?" Tania menatap sang dokter dengan tatapan yang khawatir. Apakah terjadi sesuatu dengan ayahnya sekarang.
"Pasien tiba-tiba mengalami hal yang aneh. Sebelumnya kami memeriksa tubuhnya dan tidak menemukan penyakit serius apapun, tetapi saat kami ingin pergi, tiba-tiba pasien kejang-kejang dan muntah darah. Ini kejadian yang belum pernah kami temui. Keadaan yang terbilang cukup normal tiba-tiba saja berubah sedemikian rupa dan kami sangat menyesal untuk itu. Kami tidak bisa menyelamatkan pasien."
Deg
Ucapan dokter terasa menusuk langsung dihati Tania. Tubuhnya tiba-tiba terasa lemas, untung saja dengan sigap Dika menyangganya, kalau tidak mungkin Tania akan terduduk dilantai rumah sakit yang dingin. Air mata itu kini telah membasahi seluruh pipi Tania.
Tania berdiri dan mendorong dokter serta suster yang ada didepannya. Tania menghampiri tubuh ayahnya yang sudah tertutup kain putih itu. Dengan gerakan pelan Tania mencoba untuk membuka kain tersebut. Hal pertama yang dilihat Tania adalah wajah pucat kebiruan ayahnya. Apakah sekarang Tania benar-benar sendiri.
Tania ingin menangis sejadi-jadinya tetapi tertahan saat dia melihat bayangan sang ayah yang berdiri disebelah ranjang dimana tubuh ayahnya yang tak bernyawa tergeletak. Tania menangis melihat itu, ingin sekali Tania mengatakan sesuatu.
Roh itu terlihat sangat khawatir, tubuhnya bergetar dan menangis. Tania ingin bertanya kepada ayahnya apa yang terjadi, namun terdiam setelah sang ayah mengatakan dua kata. 'Berhati-hatilah' . Apa yang dimaksud dengan itu. Tetapi sebelum ayahnya menyelesaikan apa yang dimaksud, tubuhnya tiba-tiba ditekan oleh sebuah bayangan hitam, roh milik ayahnya tiba-tiba hancur berubah menjadi percikan api dan asap hitam yang hanya bisa dilihat oleh Tania.
Apa yang terjadi? Apa ini?
Itu yang terus Tania ulang-ulangi dalam pikirannya sampai ruangan terbuka. Dika berjalan menghampiri Tania dengan raut wajah yang khawatir. "Apa kamu baik-baik saja Tania? Aku sudah mengurus baiaya rumah sakit ini dan kita harus segera menyiapkan pemakaman ayahmu. Apakah kamu masih kuat?"
Tania menoleh kearah Dika, untung saja ada ketua kelas disini. "Terimakasih Dika, aku akan mengganti biayanya setelah pemakaman ayah sudah selesai."
"Tidak apa, jangan terburu-buru untuk membalasnya." Dika mencoba untuk menenangkan Tania.
Setelah mengurus semua biaya rumah sakit, Dika mengantar Tania pulang menuju rumah Toni. Mungkin Dika harus pergi karena tidak ingin membuat keadaan menjadi kacau. Setelah melihat Tania memasuki gerbang, Dika membelokkan mobilnya untuk pulang. Tsk.. Mengurusi perempuan itu sangat melelahkan.
Dan kepala menunduk Tania memasuki rumah. Terlihat ibu Toni yang sedang membersihkan ruang tamu. Mendengar suara langkah kaki, ibu Toni menoleh. "Tania, kenapa pulang malam lagi nak?" Ibu Toni menghampiri Tania.
Jam menunjukan pukul delapan malam, walaupun tidak terlalu malam tetap saja itu tidak baik. Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu entah mengapa ibu Toni merasa kalau hubungan Tania dan Toni sedikit renggang. Apa ada yang terjadi dengan keduanya yang tidak diketahui oleh ibu Toni.
Ibu Toni menghampiri Tania yang masih diam menundukkan kepalanya. "Tania, ada apa nak, kenapa kamu menangis?" Ibu Toni khawatir, dia melihat wajah Tania yang sangat berbeda. Kedua mata yang sembab dan hidung yang memerah itu pasti akibat Tania menangis.
Tania mendongak, air mata yang berhasil dia bendung kembali mengalir. Dengan cepat Tania memeluk perempuan didepannya ini. "Ibu... ayah, ayah sudah pergi dari dunia ini bu, hiks..." Tania semakin mengeratkan pelukan itu.
Sesaat ibu Toni belum mengerti, dengan wajah terkejutnya ibu Toni membalas pelukan itu tak kalah erat. "Bagaimana bisa Tania, kenapa begitu mendadak. Apakah kamu baik-baik saja nak?" Ibu Toni mengelus punggung gemetar Tania dengan lembut. Sungguh kejam dunia ini, tidak bisakah gadis ini menerima kebahagiaan secuilpun, kenapa lagi-lagi hidupnya harus diuji sedemikian rupa.
Ibu Toni membawa Tania menuju kamar gadis itu, dengan perlahan dia membantu Tania untuk bersadar diranjang. "Bersihkan dirimu terlebih dulu, ibu akan menyiapkan mu makanan, kamu pasti belum makan apapunkan. Baiklah, ibu akan segera kembali."
Suasana hening setelah pintu tertutup. Dengan langkah pelan Tania pergi menuju kamar mandi. Membasuh seluruh wajahnya dengan air dingin, dengan ini mungkin sedikit menghilangkan rasa lelahnya.
Toni membuka pintu rumah dengan membawa tas ransel disalah satu pundaknya. Hubungan dirinya yang terlihat cukup jauh dengan Tania entah mengapa membuat Toni ingin sedikit membuat ruang untuk Tania, mungkin dengan sedikit jarak fikiran mereka bisa tenang. Sebelum langkah kakinya menaiki tangga, dia melihat ibunya yang bergulat di dapur. Bukankah ini sudah lewat waktu makan malam ibunya, atau apakah Tania sudah pulang. Toni menghampiri ibunya yang sedang menuangkan air putih kedalam gelas. "Bu, apa Tania sudah pulang?"
Toni terkejut melihat ibunya yang menyiapkan satu porsi makanan dengan air mata yang berlinang. Apakah ada sesuatu yang Toni tidak ketahui.
"Toni, kamu sudah pulang." Suara itu terdengar lemah dan tertahan karena isakan.
Toni menghampiri ibunya dan menggenggam kedua tangannya. "Bu ada apa? Apakah terjadi sesuatu?"
"Sebaiknya kamu antarkan makanan ini untuk Tania. Dia butuh seseorang disampingnya sekarang."
"Apa yang terjadi bu?"
Terdengar hembusan nafas dari mulut sang ibu. Toni mendengarkan penjelasan ibunya dengan serius. Apa yang dikatakan oleh ibunya membuat Toni terkejut tidak percaya. Kenapa selama ini Tania diam saja, kenapa dia tidak menceritakan tentang keadaan ayahnya kepada dia. Toni memejamkan kedua matanya, mungkin Tania memiliki alasan kenapa dia tidak menceritakannya. Toni tau Tania luar dalam, dia pasti memiliki alasan tersendiri.
Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, Toni mengambil alih nampan yang dibawa ibunya. Setelah meletakkan tas ranselnya, Toni memegang knop pintu dan membuka kamar itu. Disana Tania yang duduk diatas ranjang dengan menatap kosong arah depan. Melihat itu tiba-tiba hati Toni terasa sakit. Dengan langkah pelan Toni meletakkan napan itu diatas meja, dia mengambil duduk dipinggir ranjang dengan Tania yang masih diam. Tangan Toni terulur untuk menggenggam jari-jari lentik milik Tania, dan itu sukses membuat Tania tersadar.
Tatapan itu, Toni sangat tidak suka Tania seperti ini, sudah cukup terakhir kali Toni melihat tatapan sedih milik Tania, hatinya akan ikut sedih tanpa bisa dia cegah. Dengan mengeratkan genggamannya, Toni menatap tepat pada manik mata Tania. "Kau makanlah dulu sebelum makanannya dingin, atau perlu aku suapi."
Dengan cepat Tania menggeleng, dia tidak terlalu lemah untuk hanya makan. Sesekali Tania akan melirik Toni yang diam menatapnya. Ini kali kedua Tania berada disituasi seperti ini, beberapa waktu yang lalu Toni juga mengawasinya saat makan dan sekarang hal itu terulang kembali. Menghabiskan beberapa tegukkan air, Tania mendengar Toni mengatakan satu kalimat yang membuatnya terdiam.
"Aku akan selalu di sisimu apapun yang terjadi Tania."
Dan itu adalah pembicaraan terakhir sebelum Toni pergi dengan membawa piring serta gelas menuju lantai bawah. Ketika pintu tertutup, keheningan menyelimuti Tania, kalimat itu terulang-ulang didalam otak dan juga hatinya. Apakah dia akan kuat jika Tania mengatakan ingin pergi dari rumah ini? Apakah Toni tidak akan marah kepadanya? Apakah keputusannya benar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Unusual Abilities (Tamat)
Horordibalik sikap ceria dan penuh kebahagiaan siapa sangka ada kesedihan yang mendalam. ditinggal oleh sang ibu untuk selama-lamanya dan dicaci maki juga di pukuli ayah kandungnya, bagaimana bisa ia bertahan hidup?? bahkan di hari pertama ia pindah seko...