Toni hanya diam menatap wajah pucat penuh ketakutan milik Tania. Ini adalah kali kedua Toni melihat Tania menangis. Saat itu Toni merasa jengah dan pergi kearah tempat favoritnya, tempat diujung jalan yang menanjak. Tempat itu adalah tempat yang selalu Toni kunjungi saat ia merasa sendiri. Tempat yang sudah tidak berpenghuni bisa membuat Toni merasa nyaman dalam kesepian sampai saat ia melihat seorang gadis berjalan kearah rumah kosong dengan membawa buku ditangannya.
Toni hanya diam dan menatap gadis itu dari arah teras atas. Toni melihat gadis itu duduk digundukan dengan memandang hampa kota yang luas itu. Toni melihat gadis itu diam dan tiba-tiba menangis memikirkan sesuatu. Air mata itu menetes perlahan tanpa sepengetahuan sang pemilik. Toni hanya diam menatap dengan penuh perhatian, entah mengapa Toni merasa nyaman melihat gadis itu. Sampai suara seorang lelaki yang kencang meneriaki namanya.
Tania... ya Toni tau namanya adalah Tania. Gadis itu juga berteriak mengatakan kalau ia akan datang pada ayahnya dan akhirnya iapun pergi.
Siapa sangka keesokan harinya Toni bertemu dengan gadis itu. Tania, murid baru yang datang kekelasnya. Mata tegas Toni menatap gadis yang berjalan kearahnya dengan gemetar dan bertanya apakah dia boleh duduk dibangku sebelahnya. Toni tidak berbicara dan hanya melihat gadis itu duduk disebelah dengan sesekali melirik arah bangku kosong.
Setelah Tania bertanya hal yang tidak guna, sikap Tania sedikit berubah. Tubuhnya bergetar karena ketakutan. Toni melirik arah sampingnya yang ternyata hantu perempuan itu mendekati Tania dengan wajah seramnya, Tania bisa melihat hal itu. Toni menatap sinis kearah hantu itu dan menggenggam tangan mungil dan halus itu. Sesaat Toni melupakan segalanya sampai hantu itu lari ketakutan.
Dari situ hubungan mereka berjalan sebagai teman. Toni mengetahui dibalik sikap ceria gadis itu ada penderitaan yang mendalam. Tania yang diam-diam menderita karena ayahnya akan menampilkan sikap sok pahlawan dan sangat gembira.
Toni yang masih menatap Tania tidak sadar saat ibunya datang dengan membawa air di ember dan handuk kecil. "Astaga.. badannya sangat panas."
Ibu Toni berseru sambil menempelkan tangannya diatas pelipis Tania. Ibu Toni dengan hati-hati menyeka keringat Tania dan membersihkan seluruh memar dan darah yang ada di tubuhnya. Saat ingin membuka pakaian Tania, ibu Toni menoleh kearah Toni.
"Apakah kamu akan terus berada disini?"
Sesaat Toni belum mencerna sampai ia melihat ibunya yang akan membuka pakaian itu. Sedikit warna merah tertera diwajah Toni. Toni tersadar dan segera pergi dengan kecepatan tinggi.
Beberapa waktu Toni menunggu diruang tamu dengan wajah tenang, walaupun wajahnya tenang, didalam hati Toni ada rasa sedikit kawatir. Toni sudah tau perbuatan ayah Tania yang kejam tetapi ia tidak akan berfikir sampai sejauh ini. Membuat Tania ingin bunuh diri. Pasti Tania sudah tidak kuat menahan penderitaan ini.
Toni melihat ibunya berjalan kearahnya dengan sedikit kesedihan diwajahnya. "Apa yang terjadi ibu?"
Ibu Toni menghembuskan nafasnya sedih dan berkata. "Anak itu sangat malang, hanpir seluruh tubuhnya memar karena luka. Sebenarnya ada apa dengannya. Setelah kamu mengantarnya ibu melihat dia baik-baik saja?" Ibu Toni bertanya dengan penasaran.
"Ayahnya yang melakukan itu."
"Apa..." ibu Toni tidak percaya, bagaimana seorang ayah akan melakukan hal itu pada putrinya. "Bagaimana bisa, seorang ayah seharusnya tidak melakukan itu pada anaknya. Malang sekali Tania, Dasar lelaki brengsek." Ibu Toni tidak sadar kalau ia mengumpat marah pada lelaki yang sangat jahat itu. Melihat tubuh rapuh penuh luka Tania, ibu Toni juga merasa sakit.
"Aku akan menjaganya, ibu istirahat saja."
"Baiklah, ibu juga terlalu capek. Kamu harus menjaganya dengan teliti. Kamu harus selalu mengganti kompresnya dan terus awasi Tania."
"Enn.. aku akan naik."
Toni menaiki tangga dan menuju kamarnya. Membuka pelan pintu itu dan mendekat kearah Tania yang sudah berganti baju milik ibunya dan wajahnya sudah sedikit bersih. Toni menarik kursi dan menaruh disebelah kasur dan kembali menatap wajah Tania.
Kenapa aku ingin terus menjaganya, aku merasa tidak boleh ada yang menyakitinya terutama ayahnya. Ada apa dengan perasaan ini.
Toni mengganti kompres dengan yang baru dengan perlahan. Toni terus saja melakukan itu sampai hari menjelang pagi. Toni mengecek suhunya lagi dan demam itu sudah turun. Hati Toni merasa tenang sekarang dan ada kelegaan yang tidak tertulisnkan.
Tania mencoba untuk membuka matanya karena rasa lapar yang menghukumnya dan ia tidak tahan. Tania mengerjap menyesuaikan cahaya ruangan dengan perlahan. Setelah menyesuaikan Tania melihat Toni yang bermain dengan androidnya dengan satu tangan, tangan yang lain memegang dahi Tania dengan handuk kecil disana. Toni masih belum sadar sampai Tania bergerak kecil.
"Apakah kamu sudah membaik?" Toni menaruh androidnya dan menatap Tania.
"Enn.."
"Apa kamu ingin minum?"
"..." Tania dengan diam menganggukkan kepalanya.
Toni menyodorkan gelas itu di bibir Tania dengan perlahan. "Apa kamu lapar?" Dengan malu Tania mengangguk lagi.
Melihat itu Toni dengan cepat melesat keluar dan datang kembali sambil membawa makanannya. Toni menaruh makanan di atas meja dan menoleh kearah Tania. "Apa perlu aku suapi."
"Tidak usah." Tania menggeleng dengan cepat, bagaimana bisa Toni menyuapinya. Dia bukan anak kecil lagi oke.
"Baiklah, cepat habiskan dan sembuhlah."
Tania menerima piring itu dan memulai memakannya dengan perlahan. Toni yang disebelahnya hanya diam dan memandang Tania. Sebenarnya Tania sedikit risih tetapi masih ia tahan toh Toni sudah menyelamatkannya dari tindakan konyolnya. Tania melahap makanan itu dengan cepat dan habis tanpa tersisah.
"Bagaimana kamu tau kalau aku akan... akan..."
"Akan bunuh diri." Sela Toni. Tania menundukkan tatapannya karena merasa malu juga sedih. Malu karena bodoh dan sedih karena masih tidak percaya dengan perbuatan ayahnya. "Aku diberitahu Jihan."
Tania mendongak untuk menatap Toni. "Jihan meberitahuku kalau ayahmu memukulimu dan kamu berlari menuju arah jembatan." Dan kembali menunduk.
Air mata Tania sudah kembali runtuh dari pertahanannya. Toni tidak tega dan memegang dagu Tania agar dia menatapnya. "Sudahlah, jangan fikirkan apapun. Kamu fikirkan bagaimana kamu akan cepat sembuh dan memulai kembali sikap sok pahlawanmu itu. Cepat sembuh dan mari kita lanjutkan apa yang telah kita lakukan."
"Kenapa kamu sangat baik padaku?"
"Entahlah... sudah istirahat saja aku akan pergi sebentar dan akan kembali lagi. Jika aku kembali kamu belum tidur, maka terima akibatnya."
Setelah mengatakan itu Toni pergi berjalan kearah pintu kamar, membukannya dan menutup kembali. Tania menatap langit-langit kamar dengan bendungan air mata. Kenapa orang lain baik padanya sedangkan ayahnya sangat jahat pada dirinya.
💗💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Unusual Abilities (Tamat)
Korkudibalik sikap ceria dan penuh kebahagiaan siapa sangka ada kesedihan yang mendalam. ditinggal oleh sang ibu untuk selama-lamanya dan dicaci maki juga di pukuli ayah kandungnya, bagaimana bisa ia bertahan hidup?? bahkan di hari pertama ia pindah seko...