01 | Lomba

1.7K 107 34
                                    

Mama merobek sertifikat yang aku dapat dari hasil mengikuti lomba di sekolah. Setiap tahun, sekolahku selalu mengadakan perlombaan antar kelas di setiap angkatan selepas UTS.

Ini tahun pertamaku bisa ikut serta di perlombaan, biasanya aku selalu melihat kegiatan lomba sekolah ini dari akun official mereka di berbagai sosial media yang dimiliki. Aku yang ditunjuk untuk mewakili kelasku mengikuti lomba menyanyi. Wali kelas yakin dengan suara merduku—kata mereka—bisa mengalahkan angkatan kelas 10 dan bertanding di final dengan melawan angkatan 11 dan 12.

Semangat yang membara dari mereka membuatku terpacu untuk menampilkan yang terbaik. Aku berhasil melawan angkatanku. Aku menjadi perwakilan angkatan 10 untuk melawan dua angkatan di atasku. Saat mengetahui siapa dua orang yang akan menjadi lawanku, api yang sempat membara itu perlahan pudar. Namun, melihat seluruh teman di angkatanku mendukung dengan penuh semangat, aku kembali optimis akan meraih juara. Keyakinan mereka, membawaku pada juara dua.

Kemenanganku disambut baik oleh teman-teman juga wali kelas. Mereka mengatakan, semester depan aku pasti bisa ada di posisi pertama. Aku hanya tertawa menanggapi itu. Jika bukan karena mereka pun aku tidak terlalu minat mengikuti perlombaan ini. Selain itu, aku berusaha menampilkan yang terbaik hanya agar mendapatkan sertifikat. Ya, minimal mendapat juara dua seperti sekarang.

Aku melakukan itu untuk mencari atensi mama. Padahal, aku sendiri tahu akan seperti apa reaksinya saat mengatakan tentang lomba ini. Seperti sekarang, mama merobek kertas itu dengan ganas menjadi potongan kecil tak karuan.

Aku menatap hampa potongan-potongan kecil itu. Netraku beradu dengan tatapan nyalang dari mama. Kulihat, napas mama memburu membuat dadanya naik turun dengan cepat di balik blazer yang ketat. Warna merah ati yang memenuhi bibir membuatnya terlihat garang.

Perlahan ia melangkah mendekatiku dengan mempertahankan tatapannya. Sampai tanpa bisa kuhentikan waktu, telapak tangan mama beradu dengan pipi kananku amat keras. Badanku terhuyung ke kanan menubruk bufet yang berada di sana. Akuarium bulat berisi rangkaian bunga yang terletak di atas bufet tersenggol oleh sikut lalu benda itu menyapa lantai dan pecahannya mengenai kakiku.

Panas menjalari pipiku beriringan dengan perih dari kaki. Aku tidak menangis, hanya terkejut saja dengan tamparan mama. Bahkan, dia tidak memberiku kesempatan untuk menghindar, curang.

"Aku tidak suka kamu menyanyi! Aku sudah bilang, kamu harus belajar sungguh-sungguh untuk mengikuti olimpiade. Ngerti?!" Mama berteriak. Padahal, aku hanya beberapa jengkal saja di depannya. Tanpa berteriak pun, pendengaranku masih baik.

Belum sempat aku menjawab mama, tangannya menarik lenganku dengan kasar. Dia mencengkeramnya membuat kuku-kuku palsunya menancap di lenganku. Mama menarikku untuk berdiri tegak dan memisahkan jarak antara kami. Huh, kalau ingin dekat-dekat, caranya tidak usah begini, kan?

"Dengar,"—aku dengar, Ma—"jangan sekali-kali kamu ikut lomba ngga berguna seperti ini lagi. Kamu harus ikut olimpiade dan meraih juara satu! Catat itu di otak kamu!" Seletah mencengkeram lebih keras, mama menyentaknya membuat lenganku meninggalkan bekas cakaran tak sengaja di sana. Kepalanya sangat dekat dengan telingaku membuat napasnya yang memburu terdengar berisik.

Aku masih diam merasakan perih dari tubuhku yang diakibatkan keganasan mama tadi. Mataku berlari-lari ke arah lantai, kakiku, pecahan akuarium tanpa ikan dengan bunga berserakan, lalu kembali ke kaki lagi.

Aku malas bertatapan dengan mama sekarang. Kesepuluh jari kakiku yang bergoyang-goyang lebih menarik daripada wajah mama yang sering dipuji cantik itu. Darah terus mengalir dari kaki kiriku—entah berasal darimana keluarnya—gara-gara jemari kakiku yang tak mau diam.

Mendadak, tubuhku mundur beberapa langkah membuat mataku mencelang karena terkejut. Mama baru saja menyimpuk bahuku cukup keras. Kepalaku otomatis berputar dan mengelih punggung mama yang perlahan menghilang di balik tembok.

Huh, dasar orangtua! Bisanya menyuruh tanpa mengajari. Ah, tapi atensiku kali ini berhasil membuat mama kesal. Baguslah!

[]

Dasar Grahita anak durhaka!

Baru day 2 cuy. Yok semangat yok. Biar kagak kena dare, aye aye aye aye~

Bandung, 2 Desember 2019.

31 DWC | Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang