26 | Percaya Aku

282 24 2
                                    

"Berhenti bersikap altruis. Utamakan diri kamu, Grahita. Kamu lebih penting dari apapun."

Di sela-sela kesibukannya, kak Arda selalu mengingatkanku untuk berhenti mengutamakan kepentingan orang lain. Sejak kejadian Banda menamparku di hadapan kak Arda, dia selalu khawatir terhadapku. Pun selalu menawarkan bantuan, padahal aku tidak terlalu membutuhkannya.

Tidak sering memang, tapi setiap harinya pasti ada satu pesan darinya tentang peringatan menjaga diri.

Kala Banda melihatku jalan bersama kak Arda pun, dia kian posesif. Acap kali bertemu, ponselku selalu diperiksanya. Pernah saat aku lupa menghapus pesan kak Arda, Banda kembali marah lagi. Dia membanting gawaiku dan mengingatkan untuk tidak berhubungan lagi dengan laki-laki itu.

"Aku nggak suka kamu chatting-an sama cowok itu. Inget! Aku ini pacar kamu, Grahita!"

Entah sudah berapa kali Banda mengucapkan itu. Berkali-kali pula aku mengatakan kalau laki-laki itu hanya anak teman papa, tapi dia tidak percaya.

Bukan hanya itu, Banda pun masih mengatur-atur aku soal masalah pakaian, apa yang harus aku makan, apa yang harus aku minum, apa yang tidak boleh. Dari hal terkecil sampai besar dia akan memperhatikan secara detail. Semua kontak laki-lakiku dihapusnya, kecuali nomornya dan papa.

Dia akan selalu curiga hal sekecil apapun. Sungguh, dia makin membuatku merasa tertekan sekarang. Aku tidak diberi ruang kebebasan sedikit pun.

"Kamu bisa percaya aku, Banda. Kamu nggak perlu curiga apapun. Aku pacar kamu, aku tahu itu. Kita udah lama pacaran aku nggak mungkin lupa. Aku udah jelas sayang kamu, aku nggak mungkin khianatin kamu, Nda." Kesepuluh jemariku meremas tangan Banda seraya menatapnya sayu.

Netranya malah berputar mendengar ungkapanku. "Kalau kamu nggak selingkuh, aku nggak bakal kayak gini. Gimana bisa aku percaya kamu, kalau kepercayaan yang aku kasih aja nggak kamu jaga dengan baik."

"Aku nggak seling—"

"Udah jelas kamu selingkuh masih ngelak!"—Banda menyentak tanganku membuatku berjengit di atas kursi—"Anjing, ya! Kamu malah terus belain cowok itu. Nggak mau ngaku kalau kamu selingkuh lagi, iya?!" Tangannya memukul meja.

Beberapa pelanggan yang sedang menikmati mie ayam dan bakso tempat kami berada menatap ke arahku dan Banda.

Aku mendesis. "Banda, pelan-pelan ngomongnya," kataku hampir berbisik.

"Halah! Masih mau terus belain cowok anjing itu, iya? Dia udah kasih apasih buat kamu? Aku udah kasih banyak, dia apa? Nggak ada! Harusnya kamu bersyukur punya aku yang selalu siap sedia buat kamu, dia mana bisa sih kayak aku? Cowok sampah!"

Lelaki paruh baya pemilik warung bakso tergopoh-gopoh menghampiri meja kami. "Anu, ada yang bisa saya bantu?"

Aku meringis dan mengangkat tangan di depan muka seraya menggeleng. "Tidak ada, Pak. Makasih. Tidak apa-apa, kok."

Setelah mengucapkan itu, si pemilik warung kembali ke tempat semula. Pandanganku beralih pada Banda. "Kita makan aja baksonya, ya. Udah daritadi, udah dingin ini. Nanti kita bahas lagi."

"Ngalihin topik terus bisanya. Sekarang bakso yang dijadiin alasan, nanti apa?"

"Bukan begitu Banda ...."

Hari ini aku habiskan untuk mendengarkan kemarahan-kemarahan Banda untuk kesejuta ratus kalinya. Membantah percuma, mencoba kabur apalagi. Sekarang, aku merasa menjadi orang lain jika sikap Banda begini terus. Aku heran, apa yang membuatnya berubah seperti ini? Padahal, sebelum ulangtahunnya semua baik-baik saja.

[]

Day 27 empat hari lagi~

Percaya aku dari Chintya Gabriela ini adalah lagu kedua, ntar satu lagu lagi aku taruh di ending

Deg deg deg deg

Empat bab lagi menuju ending weh~

27 Desember 2019

31 DWC | Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang