10 | Lala lagi

421 40 9
                                    

Aku bertemu dengan Lala. Hari ini dia mengajakku pergi menonton. Dia sempat memohon saat aku menolak. Bukan kenapa, setiap mengingat Lala aku selalu teringat kejadian hari itu. Makanya aku berusaha untuk menghindarinya.

Kami sudah mengantongi tiket nonton, sekarang Lala sedang membeli minuman dan makanan. Sedangkan jadwal tayang film masih beberapa menit lagi. Aku tak mengikuti Lala dan memilih menduduki kursi yang ada di vestibula bioskop.

Ponselku bertending menandakan pesan masuk. Nama Banda tertera di sana.

Sedang di rumah tidak?

Lagi di bioskop, kenapa?



Ngapain di bioskop? Sama siapa? Kok nggak bilang? Memangnya mama kamu nggak ada di rumah ya? Kenapa nggak kasih tau?

Bibirku melengkung membaca pesan Banda. Dia sangat perhatian juga selalu khawatir kalau aku tidak memberi kabar. Salahku karena tadi tidak memberitahunya kalau aku akan pergi ke bioskop.

Waktu ponselku rusak karena dibanting mama saja, Banda mengirimi banyak pesan karena aku tidak membalas satu pun pesan dia. Aku segera membeli ponsel baru dan langsung membalas semua pesan Banda pun memberitahu kenapa aku tidak bisa dihubungi seharian. Aku jadi memiliki dua ponsel untuk berjaga-jaga kalau mama membantingnya lagi. Jadi, aku tidak perlu ke luar rumah untuk membeli ponsel.

Seseorang menutup layar ponselku saat jariku tengah mengetikan balasan untuk Banda. Baru saja akan memarahi, cengiran Lala dimunculkan sehingga niatanku semula urung.

Lala membawa dua minuman dengan satu wadah popcorn sedang. "Adanya kola, nggak papa kan?" Lala menyerahkan satu minuman berisi kola padaku.

"Ok. Makasih."

Kami saling terdiam setelah itu. Tidak ada percakapan bahkan sampai film selesai. Saat menonton, kami fokus pada film tanpa menghiraukan keadaan sekitar, lalu keluar dari teater kami hanya berjalan bersisian tanpa percakapan.

Aku bosan dan merasa suasana ini terlalu canggung. Tenggorokanku gatal, berdeham mungkin mampu meredakannya.

"Kenapa?"

"Hah? Apa yang kenapa?" Langkahku terhenti kemudian menatap Lala dengan kening berkerut.

Lala menggeleng. "Nggak, nggak jadi." Aneh.

Lagi. Hanya suara bising jalanan yang terdengar setelah kami ke luar dari bioskop. Aku tidak membawa mobil. Memang, setiap menemui Lala aku tak pernah membawa kendaraan pribadi. Lala tidak tahu banyak latar belakangku yang sebenernya seperti apa. Dia hanya tahu aku ini anak SMA kelas sebelas yang tak punya teman.

Bersama Lala, aku tidak perlu memamerkan apa yang aku punya. Karena sungguh, Lala pun tidak akan peduli dengan itu. Sebenarnya, dia adalah gadis yang baik. Kadang bisa menjadi sosok teman atau kakak yang sedikit perhatian. Lala orang yang perhatian kedua padaku setelah Banda.

Ehm. Aku berdeham lagi, sengaja untuk menarik perhatian Lala. Rupanya, kali ini ia tak tertarik. "La."

"Em." Lala bergumam tanpa menengok ke arahku. Pandangannya masih lurus ke depan dan tak menghentikan langkahnya sedetik pun.

"Soal ... kehamilanmu. Bagaimana?" Akhirnya, pertanyaan itu meluncur juga.

Lala berdeham berkali-kali dan nampak gelagapan. Tanpa terasa, langkah kami membawa aku dan Lala ke taman. Dia menemukan bangku kosong dan mengajakku duduk di sana. Dia belum menjawab pertanyaanku.

"La." Aku memulai kembali untuk bersuara.

"Hm. Soal kehamilanku. Aku, memutuskan untuk menggugurkannya."

Aku tidak dapat menyembunyikan keterkejutanku. "Are you serious?"

"Ya."

"Ta-tapi, La kamu akan membunuhnya?"

Lala menggeleng. "Kandungan ini masih muda. Tidak akan masalah besar jika aku menggugurkannya. Soal hari itu, aku minta maaf karena membuatmu melihat semuanya.

"Aku tidak merencanakannya, sungguh. Semua terjadi begitu saja. Ini salahku. Kami bertiga tidak mengenakan pengaman. Aku tidak ingin membuat kesalahan yang lebih buruk lagi dengan mempertahankan kandungan ini."

"Buruk? Kamu tahu kamu bersalah, lalu ingin melakukan kesalahan lagi dengan mengugurkan kandunganmu. La, are you stupid?!"

Lala bergeming dengan tatapan sendunya padaku.

[]

Day 11 jutaan orang bahkan tidak menyadari. Wow. Ayo semangat~

Hbd IWF:'D

11 Desember 2019.

31 DWC | Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang