28 | Perceraian

397 30 2
                                    

Aku melihat papa keluar dari rumah sebelum aku memasuki pekarangan. Dia membawa sebuah berkas kemudian memasuki mobil dan melajukannya cukup kencang.

Cukup lama berdiri di luar, langkahku berderap memasuki rumah. Berlambak, itu yang kulihat pertama. Barang-barang bersepahan di mana-mana. Netraku menangkap bi Iyam yang sedang menyeret koper. "Bi, mau ke mana?"

Bi Iyam menatapku tak suka. Kenapa? Dia tak menjawab malah menyentak tanganku yang sempat menahan lengannya untuk berhenti melangkah. Dia melewatiku begitu saja dengan pertanyaan menggantung.

Koper melayang dan jatuh tepat di depan kakiku. "Sialan! Pelayan-pelayan tidak berguna. Tidak tahu diri! Tidak tahu terima kasih! Asu!"

Suara mama. Tatapanku mengedar mencari sosoknya. Dia tengah berjalan cepat ke arahku dengan sumpah serapahnya. Matanya sama sekali tidak menatap ke arahku, tapi sibuk dengan tas besar di tangannya. Seperti memeriksa sesuatu takut ada yang tertinggal.

Mama hampir saja terjerembab karena kakinya tersandung gulungan karpet yang melintang. "Sialan! Hampir saja mati." Kakinya menendang karpet itu kemudian mengaduh sendiri karena benda itu tidak bisa ditendang oleh kaki yang terlindung stilleto merahnya.

"Ma." Panggilanku membuat kepalanya terangkat.

"Sejak kapan kamu di situ?" Mama mendekat dan membetulkan koper yang tadi ia lempar.

"Ta—"

"Lupakan. Cepat bereskan barang-barang kamu semua yang penting bawa dan kemas ke dalam koper juga kardus. Nanti malam aku ke sini lagi."

Ia meletakan tas yang dijinjingnya tadi ke atas koper kemudian menyeret benda tersebut. Aku segera mengejarnya untuk mencari tahu apa yang terjadi.

"Ma tunggu!" Tangganku menahan lengan mama. Tubuhnya tergeming di ambang pintu. "Ada apa ini? Tolong jelaskan aku mohon."

"Aku sudah bercerai dengan mas Arasy. Kalau kamu ingin ikut tinggal denganku cepat berkemas. Kalau tidak, terserah kamu. Tinggal saja di sini sampai mati."

Mama kembali menyeret kopernya meninggalkan tanganku yang tergantung di udara.

Bercerai? Kapan? Bahkan, hampir berbulan-bulan ini aku tak pernah melihat mama papa bertengkar lagi, tahu-tahu sudah bercerai.

Hari ini benar-benar melelahkan. Berlari untuk menghindari Banda, pun berita perceraian ini.

Jika bukan karena kak Arda yang tidak sengaja lewat tadi, aku tidak tahu akan berada di mana. Aku tidak memperhatikan sama sekali ke mana langkahku membawa pergi, yang kupikirkan hanyalah menjauh dari Banda sejauh-jauhnya. Kak Arda mengantarku pulang, ia tidak sempat mampir karena ada urusan. Sesampainya di rumah malah begini.

Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi pada papa di luar sana. Pelayan-pelayan di rumah tak ada satu pun yang membahasnya.

Bertanya mama? Dia hanya akan menjawabku jika membicarakan hal penting saja seputar sekolah. Akhir-akhir ini aku baru berani menanyakan pada mama soal uang untuk membayar sekolah, selain itu aku tak berani.

Maksudku, bukan tidak berani tapi percuma, karena mama tak akan mau membahasnya. Dia akan berdalih dan menyibukkan diri dengan komputer jingjingnya.

Semenjak ujian semester limaku selesai, aku tidak melihat mama pergi kerja lagi. Dia hanya akan sibuk di kamarnya beserta laptop di pangkuan. Aku sempat mengintip di balik pintu kamarnya.

Sungguh, perceraian mereka tak pernah terpikirkan olehku. Membayangkannya pun tak sanggup. Sehebat apa saja pertikaian mereka, keduanya tidak ada yang pernah membahas soal cerai, berpisah atau apa pun itu.

Perceraian mereka bahkan tidak melibatkanku. Apa aku tidak dianggap ada oleh mereka? Tahu-tahu meninggalkan rumah dengan keadaan seperti kapal pecah begini. Meninggalkan tanda tanya besar di kepalaku.

Seumur hidup yang kurasakan, pernikahan mereka memang termasuk pernikahan yang tidak sehat. Terlebih ketika kekerasan yang sering papa lakukan. Di sisi lain, aku bersyukur pernikahan tidak sehat ini berakhir, tapi aku juga bersedih karena semuanya mesti berakhir dengan perpisahan tanpa pesan terakhir atau cara lain untuk mendamaikan.

Aku hanya berharap suatu saat, aku, papa dan mama bisa berdamai meski tak bersama dalam satu atap. Itu saja yang kuingin saat ini.

[]

Day 29 dua hari lagi yok semangat yok~

29 Desember 2019

31 DWC | Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang