17 | Cerita

279 23 3
                                    

"Kamu udah transfer yang sembilan ratus ribu itu, kan? Aku butuh banget, Sayang."

Aku mendengak pada Banda. Tidurku yang bermula miring dengan kepala bertumpu di pahanya jadi menghadap langit-langit. Sejak satu jam lalu aku berada di kontrakan Banda. Setelah pulang dari rumah sakit, aku tidak langsung pulang ke rumah karena ingin bercerita beberapa hal pada Banda.

Berkunjung ke sini mungkin akan mengobati rasa gondok karena lagi-lagi diusir oleh mama. Dia masih sama seperti pertama kali masuk rumah sakit, tidak ingin dijenguk ataupun ditunggu oleh siapapun termasuk aku.

Aku mendengar dari bibi kalau papa sudah mengetahui soal sakitnya mama, tapi papa tidak pernah pulang lagi semenjak malam itu. Aku tidak berani menguhubunginya untuk bertanya, padahal penasaran sudah menyerangku dari saat papa pergi tanpa pesan—tapi, sejak kapan papa pergi kasih pesan buat aku?

"Aku udah transfer, kok tadi." Aku memainkan jemari Banda yang ia letakkan di atas perutku. Tangan Banda yang lain memainkan poniku dan sesekali mengusap kening.

Banda tersenyum yang beberapa tahun ini menjadi candu buatku. "Makasih."

Beberapa saat kemudian kami saling terdiam, dengan kegiatan yang sama. Dinginnya lantai kontrakan Banda yang dilapisi tikar tipis tidak membuatku mencari kehangatan, karena tiduran dengan posisi seperti ini sudah cukup hangat buatku.

"Katanya mau cerita." Oh, bahkan aku belum cerita apa-apa semenjak datang ke sini. "Mama kamu masih di rumah sakit?"

Kepalaku mengangguk-angguk. "Iya, tapi tadi mama ngga mau ditemuin lagi sama aku."

Banda mendorong pelan pundakku menjadi posisi duduk. "Ya udah nggak pa-pa, harusnya kamu seneng dong kalau mama kamu sakit. Artinya, kita bisa sering ketemuan kayak gini."

Senang? Bibirku mengerucut mendengar perkataannya. Bagaimana aku bisa senang kalau baru pertama kali melihat mama sakit seperti ini. Aku merasa menjadi anak yang benar-benar tidak berguna untuk mama. Eh, memang tidak berguna, sih.

"Jangan cemberut gituh. Bibirnya minta dicium banget, deh." Hidungku berkerut dan menjauhkan wajah dari tangan Banda yang akan menyentuh pipiku. Entah kenapa, di saat seperti ini aku malas bercanda. Banda malah tertawa melihat reaksiku. Dikiranya wajahku seguyon itu apa?

Banda menilik wajah cemberutku seperti hewan anggara yang hendak menerkam mangsa. Mataku bergulir menatap wajahnya. "Kamu nyebelin banget hari ini."

"Yakin, nyebelin? Ya, udah ngga usah dateng-dateng lagi kalau butuh."

Mataku membeliak. "Ihh! Nyebelin banget, malah kamu yang ngambek. Heran, deh."

Banda menyilangkan tangannya di dada. Sebelah alisnya terangkat. "Masih mau cerita ngga?"

Tanganku berusaha melepas tangan Banda agar bisa aku pegang. "Iya masihlah. Aku minta maaf, deh."

Aku mulai kembali bercerita pada Banda tentang teman-temanku yang menyebalkan akhir-akhir ini. Setiap saat memang selalu menyebalkan, sih. Selain itu pun cerita hal-hal yang lain mengalir. Kecuali tentang mama.

Aku tidak ingin membahas lagi tentang mama atau papa di depan Banda, karena aku yakin tanggapan dia tidak pernah sesuai dengan apa yang aku mau.

Meskipun Banda tidak pernah mengenal orangtuaku, sedikitnya dia tahu dari ceritaku tentang mereka. Cerita yang Banda tangkap mengenai mereka hanya tentang sikap buruk orangtuaku saja. Padahal, aku tidak sepenuhnya menceritakan keburukan mama papa di depan Banda secara berlebihan. Soal kekerasan yang mereka lakukan padaku saja tidak pernah terdengar oleh telinga Banda.

Aku memang percaya pada Banda. Namun, belakangan ini aku merasa tidak perlu menceritakan banyak hal pada Banda. Mengingat status kami saja masih berpacaran. Akan tetapi, jika Banda memang ingin mengetahui apa yang mau ia ketahui, aku tidak akan pernah berat untuk menceritakannya.

[]

Day 18 semangat terooos~

Semoga akhir Desember ini dapat berita baik ฅ'ω'ฅ

18 Desember 2019

31 DWC | Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang