11 | Menghakimi Lala

454 37 6
                                    

"La. You. Stupid."

Aku marah sama Lala, sungguh. Semudah itu dia berkata ingin mengugurkan kandungan. Aku tidak mengerti apa yang ada di pikirannya. Mungkin yang dipikirkannya hanya senang-senang dan tidur dengan beberapa lelaki? Hah! Haruskah aku menyesal sudah mengenalnya?

Lala masih terdiam menatapku. Bahkan, dia tidak mengatakan apapun saat aku menyebut dia bodoh. "Kamu tahu? Wanita di sana yang sudah bersuami sulit memiliki keturunan bisa jadi karena gabuk. Dirimu? Saat wanita lain tidak bisa mendapatkan itu, kamu mendapatkannya tapi kamu malah ingin menggugurkannya. Kamu. Akan. Membunuhnya."

Aku benar-benar tidak habis pikir pada Lala. Bagaimana bisa dia berniat untuk menghilangkan nyawa tak berdosa seperti itu?

"Kamu keterlaluan. Kamu hanya ingin bersenang-senang. Giliran sudah hamil, kamu malah ingin membunuhnya. Bahkan dia nggak bersalah pun ingin kamu sakiti. Kamu benar-benar keterlaluan, Lala! Aku tidak ingin menjadi temanmu lagi kalau kamu lakukan itu."

Aku meluapkannya. Napasku terengah padahal tidak sedang berlari. Setitik air mata Lala lolos menuruni pipinya. Kupejamkan mata untuk meredakan rasa kesal. Saat membuka mata, Lala menatap pilu ke arahku.

"Aku belum siap, Grahita." Hanya kalimat itu yang lolos dari mulutnya.

Kali ini, aku tak menanggapi saat melihatnya hendak berbicara kembali. "Aku tahu kesalahanku. Aku tidak ingin menjadi ibu. Aku ... belum siap. Itu sebuah keputusan yang besar. Iya, aku salah karena hanya tahu bersenang-senang tanpa memikirkan risiko. Semua itu di luar kendaliku. Aku tahu, ada wanita yang tidak seberuntung aku. Menikah bertahun-tahun, tapi belum dikaruniai keturunan.

"Grahita. Aku menggugurkannya bukan karena tidak mau bertanggungjawab atas apa yang aku perbuat. Kamu tahu kondisiku? Aku belum menikah. Aku seorang perantau yang menjadi harapan orangtuaku. Aku tidak ingin mengecewakan mereka yang sudah membesarkanku. Itu yang pertama.

"Kedua. Aku tidak ingin menjadi ibu yang dibenci anaknya, saat aku tidak bisa merawatnya dengan baik."—Entah kenapa, seperti ada yang menghujam hatiku saat Lala mengucapkan kalimat barusan—"Aku belum siap menjadi seorang ibu tunggal. Aku belum siap melakukan kesalahan lagi jika aku mempertahankan kandungan ini. Ini akan jadi pelajaran berharga buatku.

"Kamu boleh membenciku setelah ini jika itu bisa membuatmu bahagia. Aku senang jika kamu merasa senang. Terima kasih sudah ingin menjadi temanku. Maaf membuatmu melihat keburukan ini."

Penjelasan Lala cukup menamparku. Aku sudah menghakiminya tanpa mau mendengar apa alasan di balik rencananya. Benar. Jika dia tidak aborsi, kasihan juga anaknya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan. Mencegah keburukan itu lebih baik. Kesalahan yang sudah terjadi, biar menjadi pelajaran untuk tidak diulangi lagi nanti.

Aku menyesal tidak mendengar Lala terlebih dahulu. Sekarang, aku yang malu. "Maaf. La." Kepalaku tertunduk, tak sekali pun aku menatap Lala. Terlalu segan.

Lala meraih daguku untuk menatapnya, "Maaf untuk apa?" kemudian melepas tangannya.

"A-aku sudah menghakimimu tadi. Tanpa mau mendengar alasanmu. Maaf. Kata-kataku tadi sungguh tidak sopan." Air mataku lolos seketika. Aku mengigit bibir bawahku agar tidak terisak-isak.

Ibu jari Lala menciptakan garis di pipiku untuk menghapus air yang melewatinya. Bibirnya melengkung lebar seraya menatapku. "Tidak apa. Aku tidak marah. Aku memakluminya. Terima kasih sudah mau menerima keputusanku."

"Semoga ini keputusan yang baik."

Lala mengangguk kemudian mendekat untuk meraih tubuhku. "Semoga."

Kami menghabiskan hari hingga larut malam. Tenggelam dalam pelukan tanpa berkata apa-apa lagi. Dalam keadaan ini, yang dibutuhkan hanya dua. Pengertian dan pelukan.

Setelah ini, aku tidak akan pernah menyesal sudah mengenal Lala. Sungguh. Apapun keburukan tentangnya, aku tidak peduli. Nyatanya, dia selalu baik padaku. Bahkan, Lala saja tidak mempermasalahkan keburukanku, kenapa aku harus?

Lagipula, setiap manusia tidak hanya memiliki sisi baik. Tentu ada juga buruknya. Tergantung kita mau memilih yang mana. Dari Lala, aku mendapat pelajaran baru.

[]

Wilujeng harbolnas ❣️

Day 12 aman yo~

12 Desember 2019.

31 DWC | Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang