13 | Kecelakaan

383 31 1
                                    

Bi Iyam                              3 jam lalu

Nyonya kecelakaan Non. Masuk rumah sakit.

Jantungku rasanya berhenti sejenak habis membaca pesan dari bi Iyam. Mataku enggan menangis, ia hanya menatap benda tipis di kedua tanganku itu sekarang. Berulang kali aku membaca pesan tersebut, takut bibi hanya salah ketik. Tidak. Kata-kata itu tetap sama yang menyatakan mama mengalami kecelakaan. Belum pasti apa penyebabnya, tidak ada kelanjutan dari pesan teks bibi.

Pesan berikutnya masuk memberitahu jika mama sudah berada di rumah sakit. Aku segera bergegas menuju rumah sakit yang diberitahu bibi. Tiga puluh menit perjalanan yang aku tempuh dari kedai menuju tempat mama berada.

Baru kali ini dalam seumur hidupku melihat mama terbaring lemah di atas ranjang bangkar. Aku tak pernah melihat cara mama tertidur padahal satu rumah, melihat mama sakit pun tidak pernah. Ia selalu terlihat lantam, keras, dan tidak dapat digoyahkan. Sekalipun mama dipukul papa aku tak pernah melihatnya sekali saja mengeluh kesakitan meminta ampun.

Ketika akan menyentuh wajahnya, mama mengernyit kemudian terbangun menatapku kepayahan. Tanganku kembali turun ke sisi tubuh yang terduduk tegak di kursi samping ia tertidur. Mata mama menyipit menatapku. Ia terlihat tak suka aku ada di sini.

Aku memberanikan diri untuk bertanya, "Bagaimana keadaan mama? Ada yang sakit? Aku beritahu dokter kalau mama udah bangun, ya?"

Mama menggeleng pelan. "Pulanglah." Suaranya tak selantang biasa. Rasanya, aku sangat membenci itu.

Aku tidak menghiraukan perkataan mama. "Papa udah tahu kalau mama di rumah sakit? Dia akan pulang kan, Ma?"

Embusan napas mama lebih lama dari biasanya. Dia kembali menggeleng. Mata yang biasa nyalang ke arahku berubah jadi sayu. Ini bukan mama yang aku tahu. "Tidak usah. Pulanglah."

Untuk kedua kalinya mama menyuruhku pulang. Memangnya kenapa, sih aku tidak boleh di sini?

Pintu berderit terbuka, seseorang masuk. Bi Iyam membawa tas sedang yang aku tahu itu adalah milik mama. Entah apa isinya. Wanita paruh baya itu menghampiri dan berdiri di sampingku setelah meletakan tas mama di meja dekat sofa yang berada di ruangan ini. Di tangannya hanya ada tas komputer jingjing.

"Nyonya sudah bangun. Maaf nyonya, saya yang memberitahu non Grahita kalau nyonya kecelakaan. Baju-baju nyonya sudah ada di tas, ini laptop nyonya, perlengkapan yang lain semua ada di tas. Saya permisi nyonya. Ayo, Non." Kok, bibi menarik tanganku!

"Siapa yang nemenin mama. Aku mau di sini aja, Bi. Temenin mama." Pantatku kembali duduk di kursi setelah menyingkirkan tangan bibi.

"Aku bisa sendiri. Pulanglah. Aku tidak butuh." Keningku berkerut saat mama mengucapkan itu.

Kepalaku beralih untuk melihat bibi, ekspresinya seperti ketakutan padahal mama tidak sedang memarahi bibi. Bibi mencoba menarik lagi pelan tanganku untuk berdiri. "Ayo, Non. Di sini ada perawat, kalau ada apa-apa nyonya bisa minta tolong perawat. Kita pulang saja ya, Non. Nyonya hanya kecelakaan kecil, dia baik-baik saja tidak perlu ditemani."

Kecelakaan kecil, katanya? Kecelakaan kecil apa yang membuat kaki mama mesti dipakaikan gips, kening kirinya ditutupi perban, juga tangannya yang diinfus. Kecelakaan kecil apa yang mesti membuat mama sampai harus dirawat di ruangan ini. "Mama bukan kecelakaan kecil, Bi!"

Aku baru saja akan memberontak, tapi kali ini bibi lebih kuat sampai sedikit menyeretku untuk ke luar. Setelah menutup pintu badan bibi menghalangi agar aku tak masuk lagi. "Maaf bikin tangan non Grahita sakit, tapi Non kita harus pulang sekarang. Kalau kita tetap di sini, nanti nyonya marah."

"Bi. Mama itu sakit parah. Aku mau temenin dia. Kenapa juga papa nggak ada di sini padahal istrinya lagi sakit. Udah, deh bibi jangan halang-halangin aku buat masuk." Bibi menahan tubuhku.

"Kita pulang, nanti bibi cerita. Bibi janji." Aku bergeming. Pun menuruti kata-kata bibi kali ini.

[]

Kirain udah nulis buat yang day 14, pas cek note ternyata masih setengah whwhw

Akhirnya baru update sekarang, deh~
Day 14 semangat ayo~

14 Desember 2019.

31 DWC | Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang