07 | Papa Mama

459 43 8
                                    

Saat sedang ragib memainkan ponsel seraya membalas pesan dari Banda, indra pendengaranku menangkap suara benda terjatuh atau dijatuhkan (?)

Ini sudah malam, seharusnya pintu sudah terkunci. Pukul sepuluh malam juga biasanya para pelayan sudah terlelap. Satpam di depan tidak mungkin berani masuk jam segini. Terus, siapa yang berada di luar dan membuat kegaduhan? Jangan-jangan ada maling?

Keluar ... tidak ... keluar ... tidak?

Ah, lihat saja.

Setelah keluar kamar dan menuruni anak tangga, aku tidak mendengar suara apa-apa lagi. Rasa penasaranku membuat tubuh ini terus berjalan sampai ruang tamu. Netraku menangkap sosok tubuh mama dan papa yang sedang berhadapan. Pecahan guci berserakan di samping kaki mama. Tubuhku terpaku di balik dinding penyekat antara ruang tamu dan ruang tv menyaksikan kejadian selanjutnya.

"Bodoh. Kenapa sembunyikan ini?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut papa yang menatap mama tanpa ekspresi. Mama tidak mendongak atau menunduk, pandangannya hanya tertuju pada dada papa. Papa memang tinggi.

"Aku tidak menyembunyikannya. Kamu saja yang terlalu sibuk." Aku tidak bisa melihat ekspresi mama karena dia membelakangiku.

"Apa tidak bisa langsung menjawab tanpa berbasa-basi?"

Mama tidak menjawab. Beberapa saat kemudian pandanganku dan papa beradu. Aku tidak bisa melepas tatapannya. Mata papa terus menatap nyalang ke arahku.

"Kemarilah." Suara papa seperti seruan kematian. Aku merasa akan terjadi hal buruk setelah ini.

Entahlah, badanku hanya terasa kaku. Papa selalu bersikap dingin padaku, sekalinya kami berbicara, hanya akan ada sesuatu yang buruk setelahnya.

Aku lihat mama berbalik mengikuti arah pandang papa. Ia menatapku seraya menyipit. "Cepat kemari!" Aku dan mama terlonjak mendengar suaranya yang meninggi. Takut-takut, aku melangkah menuju mereka berdua.

"Jawab. Apa nilaimu semester ini menurun?" Papa menurunkan kembali nada suara saat aku sudah menghadapnya. Tak ada jawaban. Lidahku sungguh kelu untuk menjawab pertanyaan itu.

"Jawab!" Mataku terpejam. Papa sudah tidak sabar. Aku akhirnya mengangguk.

Kepalaku menunduk, terasa berat untuk terangkat. Tidak ada suara lagi setelahnya, hanya deru napas papa yang kian memburu.

Masih sunyi sampai pertanyaan papa berikutnya bergulir. "Olimpiade itu, kau tidak lolos?"

Aku mengangguk lagi.

"Resital yang akan dibuat akhir pekan nanti dibatalkan?" Iya.

" ... "

"Kau tidak jadi memamerkan lukisanmu di pameran? Penjualan tiketnya bagaimana, dibatalkan juga?" Ya.

Aku mengangguk lesu untuk kesekian kali. "Saya sedang berbicara denganmu!" Papa mencekau daguku membuat mata kami betumbuk.

"Saya sudah mengeluarkan banyak uang untuk olimpiade, resital dan pameranmu tidak ada yang berhasil satu pun?!" Cengkaman papa semakin kuat. Tanganku mencoba menahannya agar mengurangi rasa perih. Namun, itu percuma.

Papa melepas cekeramannya. "Tolol! Melakukan itu pun kau tidak bisa?! Yang kau bisa hanya membuang-buang uang. Sampah!" Teriakan terakhir papa dibarengi dengan telapaknya yang beradu di pipiku cukup keras membuat tubuhku terhuyung menubruk mama.

Kudengar napas mama tersekat, tangannya segera menahan bahuku. "Kenapa tidak kamu buat mati aja sekalian? Kenapa cuma pukul anakmu!" Tangan mama masih berada di bahuku saat berteriak melebihi suara papa.

"Kau pun sama saja. Ibu tidak becus. Sampah!" Tamparan di pipi mama lebih keras membuat tubuhku dan mama beradu dengan lantai. "Sia-sia aku mengeluarkan uang selama ini. Tak ada satu pun hasilnya. Percuma mempertahankan anak bodoh itu."—papa menunjukku—"Hanya membuat rugi!" Dada papa bergerak naik-turun setalah mengucapkan kalimat-kalimat itu.

Kepalaku terasa pusing, sesekali memejam untuk menghilangkan rasa perih di pipiku. "Kamu yang menginginkannya, kamu juga yang merasa rugi."

Rasanya, kepalaku semakin berat. Sayup-sayup aku melihat papa menarik mama cukup kasar hingga pandanganku mengabur, "Kau pun tidak berguna!" dan gelap.

[]

Kemarin aku nga nulis, ini baru banget selesai nulis. Abis nulis ini malah ada yg ganjel whwhwhw

Day 8 siip aman~

8 Desember 2019.

31 DWC | Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang