Extra Part | 1

524 27 10
                                    

Banda berhenti menerorku. Pertama, karena Banda berada di sel tahanan beberapa minggu lalu. Kedua, penyebab Banda ditahan adalah karena mama yang melaporkannya ke polisi atas tuduhan perampokan. Ketiga, kak Arda selalu pasang badan saat Banda berusaha menemuiku lagi kemarin.

Dia hanya dipenjara beberapa minggu saja karena mama yang menarik kembali laporannya. Mama juga menjelaskan pada polisi bahwa dia hanya salah paham. Untungnya, setelah itu Banda tidak memperpanjang masalah malah mulai mendekati mama untuk mencari perhatiannya.

Semalam mama menegurku karena merasa terganggu oleh sikap Banda yang terus menemuinya. Ia juga bertanya banyak tentang siapa Banda? Apa urusan laki-laki itu denganku? Juga kenapa Banda mendobrak-dobrak kamarku saat itu? Dan banyak lagi.

"Mama kamu masih penasaran soal Banda? Kamu tidak memberitahunya?" Kak Arda menyimpan makanan yang ia pesan tadi.

Hari ini, kak Arda mengajakku ke mal untuk nonton, tapi ingin makan dulu di foodcourt katanya. Dia juga yang memesankan aku makanan.

Aku menarik sepiring kentang goreng milikku dan memasukkannya satu ke dalam mulut. "Iya, Kak. Kemarin dia masih tanya-tanya soal Banda. Aku bilang aja buat cuekin Banda."

"Tapi Banda masih menganggumu?"

Aku menggeleng. Karena memang Banda sudah tidak menganggu lagi semenjak kak Arda selalu menemaniku ke manapun pergi.

"Dia nyerah ceritanya?"

Menggeleng lagi. "Enggak juga. Banda mendekati mama biar dia bisa deketin aku lebih mudah. Nyatanya, cara dia salah. Mama itu susah buat dideketin."

"Setuju, sih!"—dia menunjuk—"Mama kamu emang susah buat dideketin. Kalau bukan karena saya bilang anaknya papa Dahlan, tante Arula pasti tidak akan pernah mengizinkan saya mengajak kamu pergi seperti ini." Tawanya kemudian tumpah.

Aku mencebik. "Apa hubungannya."

"Ada tahu. Waktu saya meminta izin untuk mengajakmu pergi, mamamu sempat tidak merestui. Katanya, dia tidak mengenal saya dan saya tidak sebaya denganmu. Dia mengira saya bukan temanmu."

"Masa, sih?" Kepalaku miring seraya menatapnya.

Dia mengangguk-angguk kemudian fokus untuk menikmati makanannya. Perbincangan kami terhenti untuk sementara lalu menikmati hidangan yang tersedia.

Kak Arda bilang, bulan ini dia senggang. Maka dari itu selalu mengajakku untuk sekadar jalan-jalan mengelilingi ibu kota. Benar dugaanku, kak Arda ini orang baik dan amat perhatian. Semakin lama aku mengenal kak Arda, sedikitnya aku sudah tahu beberapa tentangnya. Adiknya seusiaku, sama-sama perempuan juga. Pantas saja kak Arda memperlakukanku seperti adiknya, sebab dia memiliki adik yang sangat disayangi.

Belakangan juga, baru aku tahu kalau adiknya adalah Indira orang yang sering mencari masalah denganku saat sekolah. Aku menggeram saat tahu Indira adiknya. Bagaimana tidak? Sikap mereka berdua sungguh berbanding terbalik.

"Hubunganmu dengan Banda sekarang bagaimana?" Kak Arda memulai percakapan dengan bertanya perihal Banda, lagi.

"Udah selesai lah. Bosen, deh nanyanya Banda terus. Kalau ditanya terus kapan move on-nya akuuu." Aku menghentak-hentakkan kaki di bawah kolong meja.

Kak Arda terkekeh. "Iya, saya hanya ingin tahu saja perkembangannya. Takutnya, dia menggangu kamu lagi."

"Udah nggak, Kak. Dia sekarang ganggu mama doang. Dia juga udah nggak pernah telepon aku lagi. Intinya, dia udah nggak pernah neror aku lagi. Hubungan aku sama Banda udah benar-benar berakhir."

"Baguslah, saya tenang sekarang." Kak Arda mengusap-usap puncak kepalaku. "Semoga dia nggak pernah ganggu kamu lagi. Tapi, kalau misalnya dia ganggu. Kamu jangan sungkan buat minta bantuan saya lagi, ya. Oh, iya. Maaf, waktu itu terlambat angkat telepon darimu."

Aku baru sadar kalau orang yang aku telepon saat didatangi Banda waktu itu adalah kak Arda. Jika bukan karena keesokannya dia yang minta maaf, aku tidak akan pernah menyadarinya. Pantas saja waktu itu kak Arda datang ke rumah tiba-tiba mengkhawatirkan aku.

"Terus aja minta maaf. Dari kapan tahu minta maaf terus. Nggak mau minta yang lain apa?"

Laki-laki itu kembali tertawa. Kali ini, jarinya tak tinggal diam dengan mencubiti pipiku gemas. "Minta hati kamu boleh?"

Mataku mengerjap-ngerjap, yang berbicara malah menampakan wajah tanpa dosa. Seakan tak menyadari tingkahnya sudah membuat jantungku tidak tenteram.

"Saya bercanda. Mukamu serius sekali. Saya tidak cocok menggombal, ya?" Kepalanya miring seraya alisnya terangkat sebelah.

Aku menggeleng kuat. "Nggak. Nggak cocok." Jelas dia tidak cocok menggombal, wajahnya yang jarang sekali senyum mana cocok untuk menumpahkan kata-kata receh seperti itu.

Seharusnya, aku pun tidak tergoda oleh kata-katanya itu seperti tadi. Sebab, dia—

"Sayang. Kamu di sini?" Kak Arda menoleh ke samping, tempat seorang wanita berpakaian dress putih selutut berdiri. Kakinya yang putih mulus juga jenjang ia pamerkan dan bertumpu pada heals sepuluh senti. Sudah tinggi tambah tinggi. Belum lagi badannya ramping, pinggangnya sungguh pas saat dipeluk kak Arda seperti sekarang.

Perempuan itu menaruh sebelah tangannya di atas bahu kak Arda yang masih duduk, sebelahnya lagi menahan lengan kak Arda yang berada di pinggangnya. "Lagi ngobrol, ya? Maaf mengganggu." Perempuan itu menatapku sedikit terbungkuk.

"Iya, sama Grahita. Kamu duduk sana." Kak Arda berdiri dan menggeser kursi di sebelahku menyilakan perempuan itu duduk.

"Aku hanya tidak sengaja lewat padahal. Kalau kamu masih ngobrol, lanjutkan aja. Aku mau cari sesuatu dulu."

"Tidak. Duduk saja." Pelan kak Arda menekan bahunya hingga ia terduduk. Setelahnya, giliran laki-laki itu yang duduk di tempat semula. "Grahita, perkenalkan. Dia Ambar, tunanganku."

Aku hanya tersenyum.

"Senang bertemu denganmu, Grahita. Akhirnya, aku bisa melihatmu secara langsung. Arda selalu menceritakan tentangmu, tapi aku tidak pernah tahu kamu yang mana."

"Kalau aku punya foto Grahita, sudah aku tunjukan fotonya, Biy."

"Tapi yang kamu tunjukin malah foto tante Arula yang sering banget kamu puji-puji kecantikannya."

"Hus! Jangan bahas di sini, Biy. Malu tahu."

"Malu karena depan anaknya, ya? Haha...."

Aku hanya memperhatikan interaksi kedua insan itu. Mereka tertawa-tawa di hadapanku seakan tidak ada aku di sini. Huh! Menyebalkan.

Satu fakta lain yang aku tahu setelah mengenal kak Arda cukup lama. Dia sudah memiliki tunangan. Beruntung sekali perempuan itu memiliki kak Arda. Pasti perempuan itu sangat bahagia. Tentu saja, apa yang kurang dari kak Arda? Sosok laki-laki yang perhatian, pekerja keras, penyayang. Dia juga yang berhasil menarik perhatian mama akhir-akhir ini. Pun yang aku tahu, kak Arda bekerja satu perusahaan dengan mama.

Sekalipun kak Arda anak pengusaha yang sukses dan memiliki perusahaan di mana-mana. Hal itu tidak semerta-merta membuat kak Arda bekerja di perusahaan papanya. Ia memilih bekerja di perusahaan orang lain, bisa dibilang lawan papanya sendiri.

Perhatiaan yang kudapat dari kak Arda  hampir membuatku terbawa perasaan. Namun, mengingat ia memiliki tunangan. Hatiku memperingatkan dirinya sendiri. Itulah kenapa aku menahan diri untuk tidak terbawa perasaan saat laki-laki itu melontarkan gombalan seperti tadi. Saat ini, aku hanya perlu fokus untuk move on dari Banda. Itu saja. Titik.

[]

Hai~
Semoga Extra part ini ngga ngawur 😂
Sebelumya terima kasih yang sudah membaca kisah Grahita. Aku senang sekali 💖

Btw, ada satu lagi besok aku publish.

Bandung, 19 Januari 2020

31 DWC | Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang