20 | Banda

321 26 1
                                    

Dalam dua bulan ini Banda berhasil membuatku menurunkan berat badan hingga empat kilo. Dia benar-benar menyuruhku diet ketat. Baju yang sering aku pakai sekarang pun jadi kebesaran, apalagi celana.

Banda sungguhan ingin aku kurus dan memiliki kaki jenjang seperti perempuan yang dilihatnya dua bulan lalu. Tamam, Gemi dan Mina keanehan saat melihatku diet ketat. "Lo udah kurus ngapain diet anjir? Lo mau bikin si Mina makin insinyur?"

"Insecure, Mam. Goblok bat si lu."

"Iya, itu dah."

"Mentang-mentang gue paling gendut di antara kalian, Jingan. Kurang gizi lu pada!" Gemi dan Tamam terbahak mendapati reaksi Mina.

Memang, di antara aku, Tamam dan Gemi, Mina paling berisi—bukan gendut banget sebenarnya.

Aku hanya memperhatikan ketiganya tanpa mau berbicara apa-apa. Mereka memaksaku untuk ikut ke mal, ya ujungnya aku juga yang bayar makanan mereka seperti sekarang. Aku menolak membeli makanan saat Tamam 'berbaik hati' akan memesankan untukku. Maka dari itu Tamam berbicara seperti tadi.

Lagipula aku tak benar-benar ingin diet kalau bukan karena Banda. Pernah sekali aku mengacum diriku untuk memakan makanan berat, tapi rasa bersalah menyelimutiku. Takut Banda mengetahui soal itu dan dietku menjadi gagal.

Perubahan drastis tubuhku bukan hanya disadari mereka, tapi mama pun. Aku tak menyangka dia memperhatikanku juga. Saat pergi tadi, aku berpapasan dengan mama. Dia menahan bahuku untuk berhenti. "Kenapa kamu makin kurus? Kayak mayat hidup saja." Ya, meskipun ujungnya ucapan mama tidak mengenakan hati.

Dia meninggalkanku mematung di ambang pintu sampai kesadaranku dikembalikan oleh kedatangan Tamam, Mina dan Gemi kemudian mengajakku ke sini. Rencananya, kami akan menonton habis makan. Namun, satu jam sudah berlalu mereka masih asik dengan makanannya sedangkan aku hanya menghabiskan satu steak ayam yang aku pesan barusan.

"Kita jadi nonton atau ngga?" Akhirnya aku berusaha.

"Sabar, Ya. Dikit lagi abis nih." Ucapan Tamam disetujui Mina dan Gemi dengan anggukan.

Barulah sepuluh menit berlalu, kami keluar dari food court menuju bioskop. Gemi menggandeng tanganku sambil memainkan ponsel sedang Tamam dan Mina berjalan duluan di depan.

"Eh, Ta. Itu laki lu bukan?" Tamam mundur menyebabkan tangan Gemi terlepas dariku, ia menunjuk seseorang.

Mataku memicing. "Mana? Salah orang kali."

"Mana ada salah orang, jelas-jelas itu laki lu lagi sama cewek. Nggak usah pura-pura buta, deh."

"Sabar, Mam kagak usah ngegas. Legowo." Gemi mengusap-usap punggung Tamam.

"Nih, ya buat buktiin itu Banda atau bukan. Gue samperin dia nih." Mina melangkah. Namun, aku hentikan segera.

"Tunggu nggak usah, biar gue telepon. Dia kemarin-kemarin susah dihubungi karena lagi di kampung katanya. Mungkin itu bajunya cuma mirip." Aku mencari kontak Banda untuk ditelepon.

"Grahita! Itu udah jelas-jelas laki lu. Diliat dari belakang aja udah keliatan jelas itu postur tubuh dia, gimana si lo?!" Sekarang Mina ikut emosi seperti Tamam. Aku masih menahan tangannya seraya mencoba menghubungi Banda.

Seminggu lalu Banda bilang akan ke kampung karena ibu dia sakit. Aku juga ingat pesannya, di kampung akan sulit sinyal. Jadi, seminggu ini aku dan Banda lost contact.

Sebenarnya, aku tahu betul jika laki-laki yang dilihat Tamam adalah Banda. Sekali melirik saja aku sudah tahu itu tubuhnya. Namun, hatiku menampik itu semua. Banda tidak mungkin membohongiku.

"Udah teleponnya? Lihat! Si Banda sekarang jadi pergi, kan sama cewek itu!" Mina kadung emosi sehingga mendorong bahuku membuat handphone tergelincir dari tanganku. Telingaku sempat mendengar kalimat operator untuk kesekian kalinya.

"Nomor yang Anda tuju tidak...."

[]

Day 21 cuy. Yaampuuun 2019 mau ke mana si buru-buru amat.

Yok semangat yok~

21 Desember 2019

31 DWC | Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang