03 | Anak tetangga

933 73 17
                                    

Selepas arisan itu, mama ada meeting mendadak dengan kliennya. Aku bersyukur, karena saat mama pulang dari meeting, dia tidak membahas apapun soal perkataan tante Anti, alias aku tidak bertemu lagi dengan mama.

Mama sudah berpesan sama bi Iyam agar mengawasi juga menyuruhku untuk berlajar, sekolah saja sudah libur. Persiapan untuk olimpiade, katanya. Malas sekali. Gara-gara hal ini, aku hanya bisa berbalas pesan dengan pacarku lewat sosial media sambil rebahan di atas ranjang. Sesekali berguling-guling mencari posisi yang nyaman.

Aku bingung, kenapa mama suka sekali jemawa atas kepintaranku pada teman-temannya itu. Papa juga tak jauh beda dengan mama. Namun, kecongkakan papa tidak serta-merta membuat dia dijauhi, justru banyak didekati oleh orang-orang.

Kurasa sih, papa hanya dimanfaatkan karena kekayaannya. Sama seperti aku yang dimanfaatkan teman-teman atas kepintaranku dalam mata pelajaran di sekolah. Aku muak.

Saat sedang asik berbalas pesan dengan kekasih hatiku, indra pendengaranku menangkap suara seseorang yang tak asing.

"... dia sedang belajar!"

Tepat saat kata itu diucapkan cukup keras—suara milik mama—pintu kamarku terbuka lebar. Dugaanku benar, itu suara mama. Pasalnya, dia tengah berdiri di ambang pintu sekarang. Tatapannya ... entahlah aku tidak bisa mengartikannya lagi.

Kulihat sosok laki-laki berbadan tegap berdiri di belakangnya. Tubuh gagahnya yang terbalut tuxedo abu berjalan menerobos masuk. Aku segera meloncat dari ranjang dan berdiri di tepian seraya menyembunyikan ponselku di belakang tubuh. Itu papa.

"Mana yang kau bilang belajar? Dia tengah asik bermain ponsel!" Telunjuk papa menunjukku. Urat-urat dari tangan papa sampai muncul. Wajah papa sama sekali tidak menatapku melainkan mama. Aku tidak bisa melihat ekspresinya, yang pasti dia sedang marah besar.

Mama menghampiri dan merebut ponselku secara tiba-tiba sehingga aku tidak melakukan persiapan untuk menahannya. "Mama sudah bilang sama kamu untuk belajar!" Nada tinggi mama dibarengi dengan timbulnya suara ponsel yang dibanting. Kondisi benda tak bersalah itu cukup mengenaskan.

Aku hanya menunduk dan menautkan sepuluh jemariku. Bukan pilihan tepat untuk menjawab perkataan mama, yang kudengar selanjutnya adalah suara papa.

"Kau menyuruhnya? Langsung?

"Aku tidak sempat pulang kemarin, jadi aku menyuruh bibi untuk mengingatkan Grahita belajar."

Suara mama memelan saat berbicara pada papa, beda sekali ketika padaku.

"Tidak pulang lagi? Selalu saja kau sibuk dan tidak memperhatikan Grahita untuk belajar. Uang yang saya beri kurang? Berapa yang kau ingin, Arula!"

"Aku masih memperhatikannya lewat bi Iyem meskipun aku sibuk. Memangnya kamu, tidak memperhatikan sama sekali."

Ck. Ribut terus di depanku. Tidak malu apa? Kepalaku masih bertahan dengan posisi menunduk sampai kulihat kaki mama mundur beberapa langkah juga suara tamparan. Lagi, papa memainkan tangannya.

"Itu urusanmu! Kau ibunya, harusnya kau memperhatikan setiap perkembangan belajarnya. Kalau dia malas-malasan terus, dia tidak akan bisa lolos untuk mengikuti olimpiade itu!"

"Kalau aku tidak sibuk pun, aku akan memperhatikan saat dia belajar. Kali ini, ada hal yang mendesak membuatku tidak bisa menemaninya."

"Alasan! Selalu saja ada perkataan untuk menjawab. Tidak bisakah sebentar saja diam di rumah?! Saya sudah belikan banyak berlian, apa itu tidak cukup untuk membuatmu tak keluar rumah?"

"Harusnya kamu senang mempunyai istri seorang wanita kar—"

"Saya tidak senang! Saya hanya ingin anak saya seperti yang lain, mengikuti olimpiade lalu membawa pulang juara satu! Anak tetangga saja bisa mengapa Grahita tidak? Semua anak teman saya pintar, menang dalam beberapa perlombaan. Bahkan, ada yang sudah berkuliah di usia 14 tahun!"

"Apa usahamu untuk membuat Grahita seperti itu?"

Sunyi. Telingaku hanya menangkap deru napas dari kedua insan ini yang saling memburu. Kemudian, tubuhku terjatuh ke ranjang dan lampu tidur di nakasku menjadi benda tak berdosa selanjutnya yang dibanting papa tepat di sebelah kaki mama.

[]

Sekarang ketahuan darimana sifat sombong Grahita berasal~

Day 4 masih aman~

Bandung, 4 Desember 2019.

31 DWC | Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang