Extra Part | 2

624 36 6
                                    

"Ma." Aku memberanikan diri membuka suara saat berada di hadapan mama.

Wanita yang delapan belas tahun lalu melahirkanku tengah duduk di balik meja kerjanya. Gaun malam berbahan satin tanpa lengan menampilkan tubuh indahnya yang masih terjaga dengan baik. Rambut sepinggang bergelombang miliknya yang tergerai disampirkan di kedua bahu. Di usianya yang tak lagi muda, dia masih sangat ayu. Terkadang, aku iri dengan kecantikannya.

Tak berselang lama, mama menutup laptopnya dan menatap ke arahku. Kursi yang ia duduki mundur oleh si empunya, badannya kini berdiri tegak. Mama berjalan menuju tempat aku berdiri. "Ada apa?" Ia baru saja melepas kacamatanya kemudian dipegang di tangan kanan.

Aku sudah menunggu lama saat ini tiba. Aku harus mengatakannya sekarang. "Aku ... ada yang mau aku bicarakan, Ma."

Tanpa menanggap, mama berjalan melewatiku. Sepertinya, usahaku untuk berbicara dengan mama hanya akan sia-sia.

"Kenapa masih di situ?" Mataku terbuntang saat membalikan badan melihat mama tengah berdiri di celah pintu. "Katanya mau bicara sesuatu?"

Euh. Mataku mengerjap-ngerjap, buru-buru menghampiri mama dan mengikuti langkah ia selanjutnya setelah menutup pintu ruang kerja. "Mama tidak sibuk?"

Mama menatapku sebentar tanpa menghentikan langkahnya. "Pekerjaanku baru saja selesai."

Mama seperti yang dulu, selalu bicara formal. Ia tak pernah menyebut dirinya 'mama' saat berbicara padaku. Setiap berbicara dengannya, aku seperti berbicara dengan orang dewasa pada umumnya bukan kepada seorang ibu. Bahkan, aku sendiri tidak pernah tahu bagaimana rasanya berbicara dengan seorang ibu seperti yang diceritakan Lala. Ah, aku merindukan anak itu.

Mama menyandarkan tubuhnya di tempat duduk buatannya sendiri—dia membuatnya dari kain yang berisi dakron, berbentuk seperti bantal berukuran besar—pun memanjangkan kakinya di lantai. Aku duduk bersila di samping mama dan memeluk bantal buatannya juga. Semenjak perceraian mama dan papa, ia jadi lebih sering mengerjakan pekerjaan di rumah. Terkadang jika pekerjaannya selesai, ia akan membuat kerajinan DIY.

Sekarang, kami tinggal berdua di rumah kecil yang mama beli setahun lalu. Dia membeli rumah ini karena tak ingin diganggu Banda lagi. Mama juga sempat menyalahkanku karena aku penyebab dirinya diganggu Banda. Pun sebab itu, mama jadi kembali jarang bertegur sapa denganku.

Kami memiliki kesibukan masing-masing, tidak ada percakapan yang berarti. Dia tak pernah menyuruhku merapikan rumah, mama sendiri yang akan merapikannya. Ia akan memasak dan membuat makanan enak. Aku tidak pernah tahu mama bisa melakukan semua itu. Kupikir, dia sepertiku apa-apa mesti dilakukan oleh pelayan. Namun, mama hanya tidak akan merapikan satu tempat, kamarku. Ya, aku yang akan merapikannya sendiri.

Aku seperti tinggal di rumah yang asing meskipun sudah setahun di sini. Mama tidak pernah ke kamarku, mama tidak pernah menyuruhku belajar, mama tidak pernah mengurusi apa-apa lagi soal pendidikanku. Aku lulus setahun lalu dengan nilai terbaik. Sungguh, mama tidak peduli soal itu. Mama pun tidak membahas apa-apa soal kuliah, dia tak menyuruh ataupun menanyakan aku akan kuliah atau tidak.

Mama hanya akan memanggilku saat makan saja. Di meja makan kami akan sibuk dengan makanan masing-masing. Ada hal baru dari mama setiap dia memanggilku. Dia akan memanggil nama lengkapku saat menyuruh makan seperti, "Grahita Jatukrama, makan siang!" atau, "Sarapan sudah siap Grahita Jatukrama!" atau lagi, "Sudah saatnya makan malam Grahita Jatukrama!"

Tidak, tidak. Mama tidak memanggilku dengan lengkap, dia menghilangkan nama tengahku yang berasal dari nama papa. Ini yang terkadang membuatku geli, mama seperti ingin menghapus semua tentang papa termasuk tidak mencantumkan namanya di namaku. Seharusnya ia memanggilku Grahita Adiraja Jatukrama. Terkadang aku tertawa sendiri mengingat itu.

31 DWC | Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang