Dengan tertatih Syadza akan masuk ke dalam kamarnya. Namun niatnya Ia urungkan ketika Ia ingat bahwa suaminya membawa wanita lain ke dalam kamar mereka. Syadza merubah langkah menuju ruangan Favoritnya. Kemudian Ia duduk di kursi kerjanya dan mulai membuka Laptopnya. Tak ada yang bisa Ia kerjakan, hatinya terlalu sakit malam ini. Air mata Syadza terus berjatuhan. Ia marah, bukan pada Steve, bukan dengan kekasih Steve melainkan dengan dirinya sendiri. Mengapa Ia harus terlahir seperti ini, tak cantik, tak berguna,tak pintar dan tak layak menjadi istri dari seorang steve.
Apakah jatuh hati selalu semenyakitkan ini? Andai Ia memiliki pilihan lain. Ia sungguh ingin berhenti sekarang. Namun tidak bisa, banyak hal yang harus Ia lindungi sebelum Ia pergi.
Banyak hal yang harus Ia titipkan pada Steve, tapi saat ini Syadza justru menjadi ragu apa pilihannya sudah tepat? Ia terus meyakini hatinya bahwa steve adalah orang baik, Steve hanya korban dari ketidakadilan. Steve hanya marah padanya.
Mata sembab Syadza menatap pada barisan huruf dalam laptopnya. Syadza terpaku dan tiba-tiba saja mengingat tentang Januar. Bukan tentang betapa tampannya Januar, tapi tentang bagaimana Januar tau bahwa Ia adalah penulis.
Syadza tau Ia baru mengenal Januar, namun entah mengapa Ini pertama kalinya bagi Syadza tak masalah jika seseorang tau bahwa Ia penulis. Biasanya Syadza akan menutupi hal itu. Ingatan syadza berlanjut pada ucapan Januar yang mengatakan bahwa Steve adalah pria baik, Steve hanya terlalu dingin. Ya, tambahlah satu kekuatan lagi untuk syadza bertahan.
Syadza menutup laptopnya, Ia merebahkan kepalanya di atas tumpukan tangannya. Perlahan Ia memejamkan matanya. Ia sangat lelah hari ini, tubuhnya sakit, hatinya sakit. Barangkali tidur mampu mengobati lelahnya, barangkali waktu akan memulihkan rasa sakitnya.
***
Suara berisik membangun Syadza dari tidurnya. Tubuhnya terasa sangat kaku dan tentu saja nyeri seakan ribuan duri sedang memenuhi tubuhnya. Dengan sekuat tenaga syadza bangun dari duduknya.Hal seperti ini sudah sangat biasa Ia lakukan. Ia harus mulai bersahabat dengan rasa sakitnya.
Syadza keluar dari ruangannya, Ia berjalan menuju dapur dan melihat Steve sedang meniupi tangannya.
"Hei are you ok?" Tanya Syadza
Steve menoleh, hanya dengan melihat wajah Syadza. Steve tentu tau bahwa Syadza pasti menangis semalam. Steve tau Ia cukup kejam, tapi Ia ingin syadza menyerah padanya.
Syadza mendekat dan melihat tangan Steve yang memerah.
"Ya Tuhan Steve.." ucap Syadza. Ia refleks menarik tangan steve menuju wastafel dan mengaliri tangan steve dengan air.
Kecepatan Syadza dalam menarik tangannya membuat Steve tak punya kesempatan untuk menolaknya.
"Biarkan tangan mu di situ" ucap Syadza. Syadza meninggalkan Steve untuk mengambil kotak obat. Tidak terlalu lama dan Ia sudah kembali lagi.
Syadza mengambil tangan Steve dan mengeringkannya sudah tak semerah. Ia mengoleskan sesuatu pada tangan Steve dan Steve hanya diam memperhatikan Syadza.
Harusnya Ia menarik tangannya, entah mengapa Ia seakan lupa melakukan itu.
"Biarkan sampai kering jangan terkena air." Ucap Syadza
Steve menarik tangannya, bukannya berterima kasih Ia justru melawan ucapan Syadza.
"Aku bukan anak kecil. Urus saja urusan mu" ucap Steve dan meninggalkan Syadza.
Seperti biasa Syadza tak mengatan apapun. Ia hanya melihat satu gelas teh yang tumpah dan sampah bungkus teh yang berserakan. Syadza memilih untuk membersihkannya lebih dulu, sebelum membuatkan yang lain untuk steve. Jika pilihan teh Steve camomile
KAMU SEDANG MEMBACA
Purple Land (Complete)
Romance"Ada yang salah dengan kepala mu! Berhentilah sebelum semuanya semakin parah!"