Sesekali saat melihat bagaimana Steve tertawa dengan Tamara membuat Syadza merasa hidup ini tak adil untuknya. Mengapa ada wanita sesempurna seperti Tamara. Cantik, Pintar, Sehat dan dicintai oleh Steve. Sedangkan dirinya?
Syadza menatap ke arah jendela yang basah oleh hujan. Terkadang saat merasa tak adil Syadza ingin sekali untuk menjadi tak tau diri. Ia ingin tau bagaimana rasanya dicintai. Rasanya dapat tertawa bahagia dengan orang yang Ia sayang. Karna perlahan Syadza mulai lupa apa itu bahagia.
Mustahil bagi wanita manapun untuk baik-baik saja melihat suami yang sangat mereka cinta berbagi hati dengan wanita lain. Tidak, Steve tidak berbagi hati. Hati Steve benar-benar hanya untuk Tamara.
Air mata Syadza kembali meleleh, Ia sudah berusaha untuk tak menangis. Berusaha untuk membiasakan hatinya dengan adanya Tamara. Ia mencoba terus mencoba, sungguh Ia sudah mencoba dan tetap saja hatinya terluka.
Mata Syadza terpejam, suara gelak tawa Steve dan Tamara semakin nyaring terdengar. Suara tawa itu layaknya pedang yang terus menikam hati Syadza. Syadza meremas bajunya sendiri, berusaha untuk tetap berdiri namun kakinya pun merasa tak mampu menopang tubuhnya. Syadza terjatuh dan terduduk. Tangisnya pecah.
Ini tak Adil,sangat amat tak adil. Ia ingin bahagia. Bagaimana bisa Ia menerima semua ini.. bagaimana Ia bisa untuk menerima dan bahkan jatuh hati pada sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang membuatnya sangat memiliki keterbatasan. Bagaimana bisa Ia berdamai dengan sesuatu dalam dirinya, jika melewati setiap hari yang berganti semakin sulit. Apa salahnya? Mengapa harus dia? Kenapa dari ribuan jutaan orang didunia. Itu harus dia, kenapa dia? Ia ingin hidup bahagia, Ia ingin bersama Steve dan dicintai oleh Steve. Ia ingin..
Ia ingin sekedar tertawa bersama Steve..
Namun memikirkan hal itu saat ini terlalu serakah untuk syadza yang penuh dengan keterbatasan.
***
Lampu ruang tengah masih menyala, Syadza menghampiri Steve yang tertidur di sofa. Syadza membenarkan posisi Steve, Ia menyelimuti tubuh Steve. Lalu menyusun pekerjaan Steve. Merapikan dengan benar, hal itu tak luput dari perhatian Tamara yang tampak marah. Semakin marah saat Ia melihat Syadza yang diam-diam terus memandang wajah Steve dan menikmati ketampanan Steve cukup lama..
***
Ruangan Syadza di ketuk dengan sangat keras. Belum lagi teriakan Steve yang kalau saja rumah Syadza tak luas pasti sudah terdengar warga Lain."Syadza buka!"
Syadza yang terkejut dari tidurnya di atas kursi pun akan segera bangkit. Namun sialnya punggungnya sungguh tak bersahabat. Syadza benar-benar tak bisa menggerakkannya rasanya begitu sakit.
"Syadza!!" Teriak steve dari luar
"Please..jangan sekarang please.." ucap Syadza pada tubuhnya sendiri. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya. Namun sekali saja Ia bergerak rasa sakit sungguh mencengkramnya.
"Ayolah.. tolong.. " ucap Syadza lagi yang sudah hampir menangis. Tubuhnya benar-benar terasa sakit. Dan Ia tak bisa mengatur tubuhnya sendiri.
Selalu seperti itu, saat Syadza merasa marah dan tak terima sesuatu dalam tubuhnya akan semakin parah.
"Syadza!! Bukan pintunya gak!" Teriak Steve lagi.
"Please..please.." pinta Syadza pada tubuhnya sendiri. Air matanya sudah kembali jatuh. Syadza tau ini tidak akan berhasil. Ia memejamkan matanya mencoba menenangkan diri. Mengontrol setiap rasa sakitnya. Meminta maaf pada tubuhnya sendiri.
"Please.." pinta Syadza pada tubuhnya yang kali ini lebih lembut. Lebih tulus.
Perlahan Syadza mulai bisa menggerakkan tubuhnya, meskipun tetap dengan rasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Purple Land (Complete)
Roman d'amour"Ada yang salah dengan kepala mu! Berhentilah sebelum semuanya semakin parah!"