~Happy Reading~
PoV AndraaAir hujan lagi-lagi membasahi buminya, begitu pun air mataku lagi-lagi membasahi pipi mulusku, keheningan, kehampaan selalu menyelimuti, aku bagaikan terhempas dari dunia ke dunia lainnya, aku sendiri didalam pekatnya malam, aku selalu bertanya, di mana bahagiaku? Apakah aku terlahir hanya untuk bersandingan dengan sebuah luka?
Ah, andai aku bisa sekali lagi mengecap pada masa itu, masa di mana aku diselimuti oleh hangatnya perhatian, hangatnya sebuah pelukan, aku benar-benar rindu masa itu.
"Ibu? Dunia Andraa sudah berantakan, masa depan Andraa hancur, lantas masih pantaskah Andraa bertahan di dunia yang sangat Andraa benci? Andraa benci yang namanya kehidupan, di mana keadilan tidak berpihak padaku, Andraa menyesali kehidupan ini, Bolehkah Andraa menjadi orang yang lemah, Andraa tidak bisa menjadi orang kuat seperti ibu," lirihku seraya menggenggam erat ujung bajuku.
Setengah kesadaranku mulai hilang, pandanganku semakin tidak jelas, kepalaku sakit, sangat sakit. Badanku ambruk diatas teras rumahku, semua menjadi sangat gelap.
---
Hangatnya mentari menerobos kesela-sela fentilasi kamarku, cahaya indah mulai menghangatkan tubuhku, aku mengusap kedua mataku dengan lembut.
"Kok bisa ada dikamar?" ucapku dengan suara serak khas bangun tidur.
"Setauku tadi malam aku berada diteras rumah lalu pandanganku menjadi gelap. Ah, apakah aku pingsan?" tanyaku kepada diri sendiri, "tapi siapa yang memindahkan aku?" lagi-lagi hal ini membuat kepalaku semakin pusing.
Setelah nyawaku terkumpul dengan sempurna aku beranjak dari kasur untuk segera membersihkan tubuh, keadaan mulai sedikit membaik, aku berusaha ikhlas dengan jalan takdirku, meski kejadian itu merampas masadepan yang sudah kutata dengan rapi. Aku tidak ingin mengingatnya lagi, dan janganlah kalian bertanya, Aku ke mana dan aku kenapa.
Setibanya di kampus aku menyusuri koridor kampus untuk menuju kelas, dengan mata sembab dan sayu semua mahasiswa menatap ke arahku, bisa dibilang sekarang aku sedang menjadi pusat perhatian di kampus. Mungkin mereka bertanya-tanya ada apa? Aku tidak peduli.
"Andraa?" teriak lantang seorang gadis bergema ditelingaku, aku tidak menolehnya. Sebab, aku tau dia adalah Larissa.
"Draa?" ucapannya memelan kini posisi aku dengannya sudah sejajar, tapi pandanganku masih fokus kedepan tanpa melirik ke arahnya.
"Lo denger gue 'kan?"
"Andraa?"
"DYANDRAA!" sentak Larissa.
"APA!" jawabku tak kalah keras darinya.
"LO KENAPA SIH?"
"BUKAN URUSAN LO!" ujarku lalu kembali melangkahkan kakiku yang sempat terhenti.
"GUE SAHABAT LO, ANDRAA!" pekik Larissa, namun langkahku semakin menjauh dari pandangannya, cairan bening mulai berlinang dipelupuk mataku, lagi dan lagi.
"Maaf Larissa, gue belum siap buat cerita," ucapku dengan sangat pelan. Kini, langkah ku bukan lagi kutujukan kearah kelas namun malah tertuju ke arah taman kampus.
Dan di sinilah di taman ini aku kembali menumpahkan semuanya, ntah itu air mata atau pun luka.
Tanpa aku sadari ada sosok laki-laki tengah duduk disampingku, tapi netraku sama sekali tidak tertarik untuk menoleh.
"Kenapa?" laki-laki itu membuka suaranya.
Aku menoleh dengan derai air mata yang masih membasahi pipiku, "Kak Julian?"
Laki-laki itu menatapku penuh kekhawatiran terlihat jelas dari kedua matanya. Tatapannya membuat ku luluh, ingin rasanya aku menjatuhkan tubuhku yang sudah tak mampu berdiri tegak, mencurahkan semuanya, berkeluh kesah tentang kerasnya hidup ini, berkata jika aku sedang dalam keadaan hancur. Namun, aku tidak berani.
Aku mengusap air mataku, "aku gak papa," tiga kata itulah kebohongan terbesarku. Aku ingin menyembunyikan setiap luka namun air mata selalu menerobos pertahananku.
"Kenapa?" tanyanya lagi.
Aku tidak menjawabnya, ucapan itu sangat menyakitkan untukku, apa yang harus aku jawab. Aku takut semua orang membenciku. Aku takut.
Tangisku kembali pecah namun, dengan cepat Kak Julian membawa tubuhku kedalam pelukannya, dan disini lah air mataku kembali tumpah.
"Cerita padaku."
"Jika aku bercerita kau yakin tidak akan membenciku?" tanyaku dengan suara yang gusar.
Laki-laki yang tengah memelukku itu menggeleng sebagai jawaban.
"Aku takut."
"Takut?"
"Hamil," ucapku dengan pelan namun, masih terdengar olehnya. Tiba-tiba Kak Julian melepaskan pelukannya. Membuatku semakin ketakutan.
"Bagaimana bisa?" tatapan tajamnya membuat nyaliku ciut untuk menceritakan semuanya.
"Jelaskan?"
Aku tidak menjawabnya, aku hanya menunduk, aku sama sekali tidak berani menatap wajahnya.
"JELASKAN!" bentak Julian membuat ku kaget.
"AKU DILECEHKAN! INI BUKAN KEINGINANKU, SUNGGUH!" tegasku lagi-lagi aku menjatuhkan air mata. Ah, betapa lemahnya aku hari ini.
"AKU MENGHILANG KARENA AKU TAKUT! AKU TAKUT AKU HAMIL, KAK JULIAN! AKU SUNGGUH takut." Aku memelankan kata terakhirku, lagi-lagi Kak Julian membawa aku kedalam pelukannya.
"Lepasin! Aku bukan lagi wanita suci."
"Lalu?" tanyanya.
"Tidak seharusnya kau bersikap seperti ini padaku,"
"Aku kotor, masa depanku hancur."
"Aku tidak peduli." sanggah lelaki itu.
"Apa maksudmu?"
"Aku mencintaimu!" tegasnya.
"Bagaimana jika aku hamil?"
"Aku akan menikahimu,"
"Tapi ini bukan darah dagingmu," lirihku.
"AKU MENCINTAIMU, DYAN!" tegasnya lalu mengeratkan pelukannya, membuatku sungguh merasa nyaman.
"Aku mencintaimu, jadilah kekasihku. Tak peduli sebanyak apa kekuranganmu, aku tetap mencintaimu."
Lagi-lagi ucapan Kak Julian membuatku merasa jauh lebih tenang, aku tersenyum dibalik tangisku lalu mengangguk.
"Thank you ...," ucapnya.
"Tidak, harusnya aku yang berterima kasih,"
"Buat?"
"Karena kamu aku merasakan lagi kehangatan yang sempat hilang dari hidupku, Really i love you," tukasku.
Cuppp!
Julian mengecup keningku dengan lembut, lalu berkata, "i love you too,"
Ah, sesingkat itu 'kah kedekatan untuk mereka menjalin hubungan?
"Maaf, aku tak pandai dalam mengungkapkan rasa, aku tidak bisa seperti laki-laki lain yang dengan romantis ketika menyatakan cintanya. Maaf," ucapnya dengan lembut, membuat hatiku tersentuh.
"Terima kasih telah menghangatkan hati yang telah lama membeku," sambungnya.
TBC dinext chapter❤🎉
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Luka [Sudah Terbit]
Teen Fiction"Harusnya kamu cari uang yang banyak, bukan malah menghambur-hamburkan uang, Andraa!" Suara serak itu menginterupsi. Gadis itu terdiam. Sulit, jika dihadapkan dengan seorang ayah yang memiliki sifat tempramental, sejauh ini dia diam bukan berarti t...